Mohon tunggu...
Israruddin
Israruddin Mohon Tunggu... -

Life is not only for Bread

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

 Jangan Jadi Seperti "Gelas"

12 Februari 2016   02:05 Diperbarui: 18 Februari 2016   15:11 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya lebih senang mengibaratkan seperti kita mengetuk pintu. Ketuklah pintu sebanyak mungkin, biarkan Allah menentukan pintu mana yang terbuka dapat kita masuki.

Kabar gembira datang di akhir bulan April. Saya di nyatakan lulus SNMPTN Undangan di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.  Tentu senang, meskipun gagal di pilihan pertama namun pilihan ke-2 ini sudah cukup bagus menurut saya (Mengacu pada *). Satu kesalahan saya ketika itu adalah tidak berhitung. Saya tidak pernah berhitung ketika mendaftar, misalnya berapa uang pangkalnya, biasa SPP, biaya kosan, biaya makan, tiket pesawat, biaya buku, dan lain-lain. Hal ini yang membuat saya menjadi ketar-ketir. Masalah pertama muncul ketika saya mendapatkan informasi di group FH Undip mengenai besaran uang pangkal yang jumlahnya belasa juta rupiah. Alhasil sudah bisa ditebak, seluruh keluarga belum berani memberikan lampu hijau.

Terkadang bantuan Tuhan datang dengan cara yang tidak dapat kita duga-duga. Tuhan menghadirkan banyak orang baik dalam kehidupan kita dan mengajarkan kita bagaimana menjadi bermanfaat bagi orang lain. Saya mulai menghubungi satu persatu orang baik untuk membantu saya kembali berdiri. Hasilnya, saya akan di dampingi oleh senior BEM FH Undip untuk mendapatkan keringanan pembayaran uang pangkal, mendapatkan tempat tinggal di asrama aceh semarang, mendapatkan tiket pesawat dan uang persiapan dari sanak keluarga, dan bahkan seseorang menawarkan saya uang jajan 300ribu setiap bulannya sampai saya bisa mandiri (Special Thanks buat yang ini, this credit goes to Buk Jem). Upaya ini dilakukan setelah usaha mendapatkan Bidik Misi terkendala karena latar belakang orang tua saya sebagai PNS. Rumornya keluarga PNS sedikit lebih sulit mendapatkan bidik misi (Memberi dengan syarat, ini pandangan pribadi lo ya).

Dengan semua upaya yang sudah saya lakukan untuk memperjuangkan possibility melanjutkan kuliah di Semarang, keluarga saya masih belum yakin saya bisa survive tanpa beasiswa. Puncaknya, ketika dalam perjalanan ke Luar Kota (Cuma ke lhoksemawe, jarak 52 KM, ga percaya ukur aja atau tanya sama kenet BE, Kenet BE ? yang ga ngerti mari kita heningkan cipta) untuk mengambil uang tiket buat ke Semarang saya terlibat adu argument dengan Abang. Klimaks yang membuat saya tidak jadi nekat kabur ke Semarang. Akhirnya peristiwa ini sangat saya syukuri. Terkadang butuh sedikit spaning untuk membuat semua jadi lebih woles.

1 Hari, 3 Pilihan, 1 Cinta (yang terakhir ngaco)

31 Mei 2011 adalah hari terpenting setelah 25 januari (ulang tahun) dalam hidup saya. Hari itu saya harus memutuskan 3 pilihan besar. Pertama, Berada di Semarang untuk daftar ulang SNMPTN Undangan (Wajib), jika tidak hadir di anggap mengundurkan diri. Kedua, berada di Hotel Oasis Banda Aceh untuk interview Beasiswa Paramadina Fellowship 2011 yang peluang lulusnya sangat kecil. Ketiga, Ikutan SNMPTN Tulis yang sudah di persiapkan sampai celup-celup (baca di atas) dan ngambil pilihan kuliah yang biayanya tidak terlalu mahal.

Jadi manusia itu harus punya sikap, enggak boleh lemah dalam bersikap apalagi galau (Seperti Nyai Ontosoroh dalam Tetralogi Buru-nya Pram). Namun, berhubung saat itu masih labil dan kondisi psikis yang kacau jadinya sikap gua lebih tepatnya kayak tokoh Minke (Masih dalam Tetralogi Buru). Saya percaya hidup memang seni menentukan pilihan dan berjuang untuk membuktikan kalau pilihan yang diambil itu baik adanya. Ketika itu banyak sekali komentar yang datang silih berganti. Rata-rata orang menganjurkan untuk mengambil pilihan pertama. Kalau dipikir-pikir memang yang paling pasti adalah pilihan pertama. Saya pribadi sebenarnya tidak terlalu setuju dengan istilah benar/salah dalam menentukan pilihan hidup karena pada hakekat-nya itu memang sudah di tentukan oleh Allah. Apapun pilihan hidup kita, toh masih bisa kita perbaiki dalam perjalanannya (ngerti ora ? Kulo juga mboten).

1 hari sebelumnya sudah berada di kota Banda Aceh bersama teman-teman seangkatan yang akan mengikuti SNMPTN tulis di kota Banda Aceh. Pagi-pagi sekali kita semua sudah siap, karena rumor-nya, kalau hari SNMPTN Banda Aceh bisa macet seperti senin pagi di Gatot Subroto sebelum fly over sisi selatan kuningan dibuat. Bagi saya bukan hal, kerena jelas tujuan saya bukan Darussalam, melainkan hotel Oasis di Lung Bata.

Tentu saja saya sudah mempersiapkan diri hingga 120% untuk seleksi (ini tebakan saja). Detailnya sudah lupa, tapi yang pasti saya sudah berkali-kali latihan wawancara dikaca hingga mencoba belajar tari saman (kemudian sadar, kalau badan saya kaku ga bisa diajak kerjasama). Namun, persiapan yang 120% runtuh ketika bertemu teman-teman lain yang ikutan seleksi. Bahkan ada yang memakai jas, dan membaca koran dalam bahasa inggris. Setelah basa basi, akhirnya ketahuan kalau mereka itu outstanding banget. Namun, semua terlihat cair ketika semua peserta yang berjumlah 11 orang disuruh masuk ke ruangan interview. If I am not mistaken, ada 14 orang yang lulus ke tahap 2 dari Aceh, yang hadir hanya 11 orang (Asumsi, 3 orang lebih memilih bertarung di SNMPTN Tulis). Seleksi berjalan dengan kurang lancar, Listening PEPT (Semacam TOEFL Buat anak Parmad) harus di ulang 2 kali. Untungnya Pak Subhi baik maklum kita-kita yang jarang menyentuh hal-hal beginian (Entah gua doang, entah semua yang minta diulang, udah lupa).

Interview, seperti seleksi beasiswa pada umumnya, biasanya ini yang paling menentukan. Persisnya saya kurang begitu yakin, namun ini interview terlama yang pernah saya lalui. Mungkin bisa mencapai 2-3 jam. Maybe, that the most important 3 hours in my life tho. Saya diinterview oleh Ibu Kurniawaty Yusuf (Bunda Nara), direktur beasiswa Paramadina Fellowship, dosen ilmu komunikasi, sekaligus dosen pembimbing skripsi. Dalam waktu 3 jam, beliau serasa tahu saya luar dalam. Tak terhitung berapa pertanyaan. Kasihan teman yang ikut SNMPTN harus nunggu di luar ruangan interview gara-gara kunci rumah kebawa (apologize credit to Poe and Bayu)

Selesai Interview saya merasa tidak yakin sama sekali bisa lulus. Sedikitpun tidak yakin. Saya percaya, hakekat manusia hidup dalam ketidakpastian. Dalam ketidakpastian, kita bisa mengenal siapa diri kita dan merasa bahwa kita tidak ada apa-apa di hadapan-Nya. Justru, uncertainty itu yang membentuk karakter kita sebagai orang yang hebat. Selama kita masih punya harapan dan dukungan orang-orang terkasih yakinlah mata hati kita akan terbuka untuk melihat berbagai kemungkinan yang dapat menjadi pilihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun