Mohon tunggu...
Israruddin
Israruddin Mohon Tunggu... -

Life is not only for Bread

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

 Jangan Jadi Seperti "Gelas"

12 Februari 2016   02:05 Diperbarui: 18 Februari 2016   15:11 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita ini sebenarnya sudah ada beberapa tahun silam, namun saya rasa ketika itu belum saatnya untuk dibagikan. Kebetulan dua hari ini saya sedang tidak enak badan dan beristirahat di rumah jadinya saya memiliki waktu yang banyak untuk melihat kembali apa yang menjadi renungan saya selama ini.

Kadang kita begitu cepat waktu berjalan. Peristiwa 5 tahun lalu, seakan baru berlangsung 4 minggu sebelumnya. Menjadi anak SMA itu baru aja terjadi 2 minggu sebelumnya, padahal itu 5 tahun yang lalu. Entah waktu yang berjalan cepat, kita yang masih terjebak di kenangan itu, bisa jadi keduanya.

Saya berasal di sebuah kota bernama Bireuen (Well, sebenarnya saya tinggal di Kecamatan, jaraknya 5 KM + 100 M dari kota), sekitar 218 KM arah timur kota Banda Aceh atau 408 KM arah barat kota Medan. Nama kecamatan saya Juli (Sebelum kalian tanya, enggak ada kecamatan lain yang namanya Juni, Agustus, atau Januari di Bireuen). Sebagai anak kampung tentu saja saya punya mimpi yang cukup sederhana ketika itu. Saya ingin sekolah di Pulau Jawa. Entahlah, sejak kapan muncul keinginan itu tapi kalau tidak salah ketika kelas 2 SMA. Kuliah di Jawa bagi anak SMA di Jawa itu biasa aja, it something that they take it for granted. Tapi bagi sebagian anak-anak di Daerah khususnya di Aceh, itu complicated banget dan penuh drama. Kalau di bedah banyak behind the scene yang berdarah-darah. Ada yang yang terlalu indah buat dikenang, tapi enggak mau untuk diulangi. Ada juga sih yang santai-santai aja, eh tiba-tiba udah kuliah aja di kampus kece di Jawa. Sayangnya saya buka tipe yang terakhir ini. 

Tahun 2011 menjadi tahun yang penting bagi anak-anak angkatan 2011 ( ya iya lah). Rata-rata pada panik menjelang UN dan penentuan kampus masa depan. Pembahasan anak-anak cuma berkisar seputar kenangan masa lalu dan rencana masa depan. Yang dulu keliatan nyantai-nyantai jadi semakin rajin, yang dulu keliatan rajin jadi nyantai (Enggaklah). Rata-rata sudah memiliki Kampus Idaman masing-masing. Yang paling aman adalah perempuan yang sudah siap di lamar, ga usah ribet mikirin UN dan SNMPTN ( Kayaknya anak Sukma lakunya secepat ini)

Ketika itu muncul beberapa kriteria jurusan dan kampus dalam benak saya. Awalnya saya ingin kuliah di Kedokteran, tapi karena jurusan SMA saya IPS pilihannya langsung di coret (yang ini becanda) Di ujung-ujung sebelum pendaftaran kampus akhirnya saya mulai realistis dan siap untuk kuliah di jurusan apa saja (yang penting jangan rumpun Ilmu Hayati)* Tapi harus di Jawa. Ketika itu usaha semakin di perkencang dan doa semakin di perkuat. Semoga mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya (Ya enggaklah, di kampus yang bagus)

Bagi saya masa-masa itu tidak mudah. Ayah saya baru saja meninggal akhir tahun 2010 (Mohon doa agar di Lapangkan Kuburnya, Amin YRA). Kondisi keluarga secara psikologis dan financial sedang dalam kondisi yang tidak stabil. Namun, bagaimanapun saya tidak boleh mundur. Di satu sisi, saya tidak ingin membebankan keluarga dengan cita-cita untuk kuliah di Jawa, tapi disisi lain (masih terlalu banyak variabel yang belum kejawab waktu itu).

Tendangan Pertama

Target utama saya adalah bisa tembus di salah satu kampus Negeri di Pulau Jawa, lalu mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Aceh dan saya kuliah tanpa membebankan keluarga. Namun, harapan itu hancur bahkan sebelum genderang perang di bunyikan. Entahlah apa penyebabnya, beasiswa yang biasanya ada setiap tahunnya itu di Stop untuk anggaran tahun 2011. Tentu saja hal ini tidak membuat saya surut, sedikitpun. Saya selalu percaya bahwa Dialah Maha yang mengatur dan memiliki rencana.

Hal itu justru membuat saya belajar semakin keras. Di tambah sekitar bulan Maret saya mengikuti salah satu kompetesi Ekonomi sebagai penutup ke-isengan saya selama SMA. Saya masih ingat bagaimana saya belum berhenti belajar sebelum jam 2 malam, dan kaki saya celupkan kepada air agar tidak mengantuk (Patut di coba). Prinsip saya ketika itu “ Going Extramile dan pushing beyond my limit”. Karena pada dasarnya saya bukan orang yang pintar dan bisa menangkap pelajaran dengan mudah, jadinya saya harus berusaha lebih dari orang lain. Terserah hasilnya akan seperti apa yang penting saya sudah berusaha (#bijak).

Terkadang, terlalu percaya diri dengan rencana yang kita buat justru membuat kita menjadi sombong. Percayalah, keputusan terbesar itu ada di tangan-Nya.

Pintu terbuka namun tidak dapat di masuki

Saya lebih senang mengibaratkan seperti kita mengetuk pintu. Ketuklah pintu sebanyak mungkin, biarkan Allah menentukan pintu mana yang terbuka dapat kita masuki.

Kabar gembira datang di akhir bulan April. Saya di nyatakan lulus SNMPTN Undangan di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.  Tentu senang, meskipun gagal di pilihan pertama namun pilihan ke-2 ini sudah cukup bagus menurut saya (Mengacu pada *). Satu kesalahan saya ketika itu adalah tidak berhitung. Saya tidak pernah berhitung ketika mendaftar, misalnya berapa uang pangkalnya, biasa SPP, biaya kosan, biaya makan, tiket pesawat, biaya buku, dan lain-lain. Hal ini yang membuat saya menjadi ketar-ketir. Masalah pertama muncul ketika saya mendapatkan informasi di group FH Undip mengenai besaran uang pangkal yang jumlahnya belasa juta rupiah. Alhasil sudah bisa ditebak, seluruh keluarga belum berani memberikan lampu hijau.

Terkadang bantuan Tuhan datang dengan cara yang tidak dapat kita duga-duga. Tuhan menghadirkan banyak orang baik dalam kehidupan kita dan mengajarkan kita bagaimana menjadi bermanfaat bagi orang lain. Saya mulai menghubungi satu persatu orang baik untuk membantu saya kembali berdiri. Hasilnya, saya akan di dampingi oleh senior BEM FH Undip untuk mendapatkan keringanan pembayaran uang pangkal, mendapatkan tempat tinggal di asrama aceh semarang, mendapatkan tiket pesawat dan uang persiapan dari sanak keluarga, dan bahkan seseorang menawarkan saya uang jajan 300ribu setiap bulannya sampai saya bisa mandiri (Special Thanks buat yang ini, this credit goes to Buk Jem). Upaya ini dilakukan setelah usaha mendapatkan Bidik Misi terkendala karena latar belakang orang tua saya sebagai PNS. Rumornya keluarga PNS sedikit lebih sulit mendapatkan bidik misi (Memberi dengan syarat, ini pandangan pribadi lo ya).

Dengan semua upaya yang sudah saya lakukan untuk memperjuangkan possibility melanjutkan kuliah di Semarang, keluarga saya masih belum yakin saya bisa survive tanpa beasiswa. Puncaknya, ketika dalam perjalanan ke Luar Kota (Cuma ke lhoksemawe, jarak 52 KM, ga percaya ukur aja atau tanya sama kenet BE, Kenet BE ? yang ga ngerti mari kita heningkan cipta) untuk mengambil uang tiket buat ke Semarang saya terlibat adu argument dengan Abang. Klimaks yang membuat saya tidak jadi nekat kabur ke Semarang. Akhirnya peristiwa ini sangat saya syukuri. Terkadang butuh sedikit spaning untuk membuat semua jadi lebih woles.

1 Hari, 3 Pilihan, 1 Cinta (yang terakhir ngaco)

31 Mei 2011 adalah hari terpenting setelah 25 januari (ulang tahun) dalam hidup saya. Hari itu saya harus memutuskan 3 pilihan besar. Pertama, Berada di Semarang untuk daftar ulang SNMPTN Undangan (Wajib), jika tidak hadir di anggap mengundurkan diri. Kedua, berada di Hotel Oasis Banda Aceh untuk interview Beasiswa Paramadina Fellowship 2011 yang peluang lulusnya sangat kecil. Ketiga, Ikutan SNMPTN Tulis yang sudah di persiapkan sampai celup-celup (baca di atas) dan ngambil pilihan kuliah yang biayanya tidak terlalu mahal.

Jadi manusia itu harus punya sikap, enggak boleh lemah dalam bersikap apalagi galau (Seperti Nyai Ontosoroh dalam Tetralogi Buru-nya Pram). Namun, berhubung saat itu masih labil dan kondisi psikis yang kacau jadinya sikap gua lebih tepatnya kayak tokoh Minke (Masih dalam Tetralogi Buru). Saya percaya hidup memang seni menentukan pilihan dan berjuang untuk membuktikan kalau pilihan yang diambil itu baik adanya. Ketika itu banyak sekali komentar yang datang silih berganti. Rata-rata orang menganjurkan untuk mengambil pilihan pertama. Kalau dipikir-pikir memang yang paling pasti adalah pilihan pertama. Saya pribadi sebenarnya tidak terlalu setuju dengan istilah benar/salah dalam menentukan pilihan hidup karena pada hakekat-nya itu memang sudah di tentukan oleh Allah. Apapun pilihan hidup kita, toh masih bisa kita perbaiki dalam perjalanannya (ngerti ora ? Kulo juga mboten).

1 hari sebelumnya sudah berada di kota Banda Aceh bersama teman-teman seangkatan yang akan mengikuti SNMPTN tulis di kota Banda Aceh. Pagi-pagi sekali kita semua sudah siap, karena rumor-nya, kalau hari SNMPTN Banda Aceh bisa macet seperti senin pagi di Gatot Subroto sebelum fly over sisi selatan kuningan dibuat. Bagi saya bukan hal, kerena jelas tujuan saya bukan Darussalam, melainkan hotel Oasis di Lung Bata.

Tentu saja saya sudah mempersiapkan diri hingga 120% untuk seleksi (ini tebakan saja). Detailnya sudah lupa, tapi yang pasti saya sudah berkali-kali latihan wawancara dikaca hingga mencoba belajar tari saman (kemudian sadar, kalau badan saya kaku ga bisa diajak kerjasama). Namun, persiapan yang 120% runtuh ketika bertemu teman-teman lain yang ikutan seleksi. Bahkan ada yang memakai jas, dan membaca koran dalam bahasa inggris. Setelah basa basi, akhirnya ketahuan kalau mereka itu outstanding banget. Namun, semua terlihat cair ketika semua peserta yang berjumlah 11 orang disuruh masuk ke ruangan interview. If I am not mistaken, ada 14 orang yang lulus ke tahap 2 dari Aceh, yang hadir hanya 11 orang (Asumsi, 3 orang lebih memilih bertarung di SNMPTN Tulis). Seleksi berjalan dengan kurang lancar, Listening PEPT (Semacam TOEFL Buat anak Parmad) harus di ulang 2 kali. Untungnya Pak Subhi baik maklum kita-kita yang jarang menyentuh hal-hal beginian (Entah gua doang, entah semua yang minta diulang, udah lupa).

Interview, seperti seleksi beasiswa pada umumnya, biasanya ini yang paling menentukan. Persisnya saya kurang begitu yakin, namun ini interview terlama yang pernah saya lalui. Mungkin bisa mencapai 2-3 jam. Maybe, that the most important 3 hours in my life tho. Saya diinterview oleh Ibu Kurniawaty Yusuf (Bunda Nara), direktur beasiswa Paramadina Fellowship, dosen ilmu komunikasi, sekaligus dosen pembimbing skripsi. Dalam waktu 3 jam, beliau serasa tahu saya luar dalam. Tak terhitung berapa pertanyaan. Kasihan teman yang ikut SNMPTN harus nunggu di luar ruangan interview gara-gara kunci rumah kebawa (apologize credit to Poe and Bayu)

Selesai Interview saya merasa tidak yakin sama sekali bisa lulus. Sedikitpun tidak yakin. Saya percaya, hakekat manusia hidup dalam ketidakpastian. Dalam ketidakpastian, kita bisa mengenal siapa diri kita dan merasa bahwa kita tidak ada apa-apa di hadapan-Nya. Justru, uncertainty itu yang membentuk karakter kita sebagai orang yang hebat. Selama kita masih punya harapan dan dukungan orang-orang terkasih yakinlah mata hati kita akan terbuka untuk melihat berbagai kemungkinan yang dapat menjadi pilihan.

Tendangan terakhir

Terkadang, kita harus bijak menentukan garis batas antara ambisi dan realitas. Saya sadar, bahwa kuliah di Jawa lebih merupakan ambisi pribadi tanpa pertimbangan kondisi yang keluarga saya alami. Tentu saja, ini seperti standar ganda. Disatu sisi, kita harus berjuang demi mimpi kita namun disisi lain kita harus sadar resource yang kita miliki. Pikir saya, saya baru saja kehilangan sosok terpenting dalam hidup saya. Keluarga kita ketika itu berada dititik yang sama sekali tidak pernah saya bayangkan. Mungkin bagi kalian yang pernah merasakan kehilangan lebih paham, seperti apa rasa berada di titik itu. Mempertahankan ambisi untuk kuliah di Jawa tanpa beasiswa sama artinya membuat kondisi keluarga saya menjadi serba rumit. Bukan berarti saya nekat, saya bisa kehilangan mereka secara emosi tentunya. Ini adalah pelajaran mengendalikan Ego yang tidak pernah saya dapatkan dalam training atau buku apapun. Mengalah secara ego tidak pernah membuat kita lemah, justru kekuatan dapat didefinisikan dengan cara demikian (setidaknya menurut saya).

Tendangan terakhir saya sudah di persiapkan, saya memilih di Universitas Sumatra Utara (USU), jurusan ilmu administrasi bisnis (mengacu pada *). Akhirnya lengkap sudah semua perjuangan yang sudah saya buat. Sisanya hanya menunggu keputusan. Jujur, saya lebih dari siap apapun keputusannya. Bahkan untuk menganggur selama 1 tahun, bekerja dan melanjutkan di tahun berikutnya pun saya sudah siap.

Tuhan selalu bekerja dengan cara yang tidak pernah kita duga.

Pertengahan agustus, pengumuman Paramadina Fellowship 2011 di informasikan. Berbekal HP nokia E63 (Hasil menjaga Abang yang terserang DBD, tentu saja bekas dia pakai ) saya membuka list penerima beasiswa yang paling kece se Indonesia Raya ini. Mungkin sekedar mendeskripsikan dalam kalimat di tulisan ini tidak pernah mewakili bagaimana perasaan saya ketika itu. Moment ketika hal ini saya beritahukan kepada Ibu saya pun, sulit untuk diungkapkan. Karena pada akhirnya kata-kata tidak pernah dapat mewakili moment itu. Mungkin bagi sebagian teman-teman, yang mendapatkan beasiswa kuliah sarjana di dalam maupun di luar negeri, moment seperti ini seperti angin lalu. Namun, bagi saya hari itu seakan memutar arah hidup saya. Mematikan keragu-raguan saya tentang mimpi-mimpi kecil saya. Yang terpenting, membuat saya selalu yakin bahwa Allah tidak pernah tidur. Dia selalu melihat dan mendengarkan setiap doa yang terpanjat.

Biar nyambung ama judulnya...

Intinya jika persoalan hidup itu adalah garam, maka diri kita adalah air. Coba taburkan segenggam garam itu ke gelas yang berisi air. Maka air tersebut akan jadi asin. Tetapi coba taburkan garam tersebut ke dalam air sebuah Danau yang besar, garam takkan membuat air jadi asin. Allah tidak akan memberikan garam yang berlebihan, batasnya hanya segenggam tangan kita saja. Namun kita bebas memilih untuk menjadi air dalam gelas atau menjadi air di Danau yang luas. Jadilah air dalam danau, agar ketika ujian datang hidupmu tidak terasa asin. Besarkan hatimu dalam menghadapi segala macam ujian. #selfreminder

 

Informasi beasiswa Paramadina Fellowship: http://www.paramadina.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1569%3Aparamadina-fellowship-2016&catid=74%3Aberita-a-informasi&Itemid=221&lang=en

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun