Mohon tunggu...
isra khasyyatillah
isra khasyyatillah Mohon Tunggu... -

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Dewasa di Mata Ibu

23 Desember 2013   19:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:34 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

''Bu, pengen pisang goreng,''pintaku, terbayang pisang-pisang dari kebun yang baru di panen nenek telah menjelma menjadi gorengan yang gurih.

''Masaklah.'' Ibu menimpali singkat.

''Masakin,''pintaku kembali. Rindu masakan Ibu.

''Masak pisang goreng enggak bisa?''

''Pengen dimasakin,'' waktu itu manjaku kambuh, Bu. Tapi Ibu tetap tak mau memasakkan untukku. sementara aku juga tak bergeming, berkeras hati tak mau masak. Aku rindu buatan Ibu. Tahukah? Saat Ibu pergi keluar sebentar, aku masak pisang goreng itu dengan pipi  kebanjiran. Sedih, di hatiku berkecamuk, dipikirankupun begitu. Ibu setega itu padaku? Ibu tak sayang lagi? Ah, segala pikiran-pikran buruk bermunculan dibenakku.

''Bu, masakin sarden dong''

''Masaklah! Dah besar gini kok masih minta dimasakin''lagi-lagi begini jawaban Ibu. Masaklah! Ah, tidakkah Ibu tahu, aku rindu masakan Ibu. Kalau aku yang masak tak seenak buatan Ibu. Dewasa oh dewasa. ''Ukuran dewasakan nggak cuma masak, Bu,'' gumamku berlalu semakin sedih.

Beberapa hari ini aku tak punya motivasi lagi untuk memasak. Aku pikir Ibu memintaku memasak karena tak sayang lagi padaku, membuatkan pisang gorengpun sudah tak mau. Masak sendiri, begitu katanya. Dewasa itu memang tak asik, menyusahkan, menghilangkan kasih sayang. Ibu, kalau begini  lebih baik aku  jadi putri kecilmu lagi. Di satu sisi menjadi anak kecil itu lebih menyenangkan, ingin apa-apa tinggal bilang. ''Ibu... aku lapar.''

Tingkat kerajinanku naik turun. Kadang tinggi, kadang rendah. Kali ini sepertinya berada di zona bawah. Lebih kupilih keroncongan daripada harus masak sendiri. benar-benar keras kepala! Terlalu ego! Aku ingin Ibu yang memasakannya untukku. Sementara yang terhidang di meja semuanya berkuah.

Hingga tengah hari, pertahananku melemah, suara perutku semakin gemuruh. Makan, makan, makan, beri kami makan, mungkin begitu maksud gemuruhnya. Diam-diamku ke dapur nyeplok telur. Sungguh kelaparan tak makan dari malam.

''Ehem, akhirnya masak juga,''duh, Ibu menangkap basah kukasak-kusuk di dapur. ''Gitu dong, masak sendiri,'' tambah Ibu lagi. Kurasa Ibu tengah senyam-senyum, bahagia berhasil membuatku ke dapur juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun