No. 323
Tanggal delapan dibulan April itu biasanya kutunggu. Istimewa. Tapi kali ini, ''hwaaaaaaaaa, ini kali pertama aku tak suka tanggal ini hadir. Usiaku bertambah satu tahun lagi!''
Bukan wajah yang semakin menua yang aku takutkan, keriput di mata, atau apalah yang biasa ditakutkan perempuan kebanyakan jika bertambah umur. Ah, di usia 19 tahun tanda-tanda penuaan seperti itu belum terpikirkan. Tapi aku takut hilangnya beberapa hak dan munculnya beberapa kewajiban. Hak yang mana? Kewajiban apa?
Ibu, kau ajukan sienam huruf yang ternyata masih begitu berat bagiku. Satu kata yang menuntutku terlalu banyak. Harus bisa ini, mesti pandai itu. Tidak boleh ini, dilarang itu. Dewasa, lebih dewasa, harus dewasa. kata-kata itu menghantuiku.
''Ra, dah mahasiswi loh, bukan anak-anak lagi. Harus bisa ngurus urusan sendiri, lebih dewasa.'' nasihat Ibu sembari turut berbaring disebelahku yang tengah sibuk dengan game dilaptop.
Mungkin maksud Ibu sifat lupaku. Selama ini, segala hal mesti diingatkan. Jika tidak, ada saja yang tertinggal dan terlupa. Laptop tertinggal di travel juga pernah, KTP yang hilang dan masih banyak hal-hal lain yang membuat Ibu dan Ayah tak begitu percaya denganku.
''Iya, Bu. Siap sedia!'' Kumembulatkan suara ala tentara.
''Masak sana gi, bentar lagi jam makan.''
Masak? Kok masak? Serta merta aku langsung mengalihkan pandangan ke arah ibu, mengabaikan game yang lupa aku pause-kan. ''Aku yang masak, Bu?'' kedua alisku bertemu, heran. Memperhatikan wajah Ibu dengan seksama, namun tak aku temukan kesan bercanda diwajah itu.
''Iya, kok masih bengong? Masak sana,'' suara Ibu terdengar tegas, sepertinya ini benar-benar perintah.
''Kok masak sih, Bu? Kan biasanya Ibu yang masak?''Masih berharap Ibu tengah bercanda kali ini.