NGABUBURIT sudah jadi idiom populer di Indonesia, bukan hanya di Jawa Barat tempat kata ini berasal tetapi juga di berbagai daerah baik kota maupun desa.
Masifnya teknologi digital makin mendekatkan istilah ini di banyak lapisan masyarakat, lebih-lebih selama bulan Ramadan. Ngabuburit awalnya memang bermakna bersantai menunggu sore. Lalu kata ini akrab untuk menggambarkan momen menanti azan magrib guna membatalkan puasa.
Banyak cara orang beraktivitas dalam ngabuburit. Mungkin karena dalam ngabuburit terdapat pengertian santai, maka tak heran jika kebanyakan orang betul-betul lepas saat ngabuburit. Tak perlu direncakan dengan serius atau mendetail, cukuplah jadi aktivitas pembunuh waktu bahkan mungkin membuang waktu lantaran tak paham harus ngapain menjelang berbuka.
"Kok kayak sengaja buang waktu gitu ya orang pas ngabuburit? Ga tahu harus ngapain," begitu ujar seorang sahabat suatu sore.
Apa pun pengertian dan tafsiran orang tentang ngabuburit, yang jelas pilihan pun akhirnya beragam. Bebas sesuai orang yang menjalani, juga sesuai dengan tradisi daerah setempat. Ada yang berburu kuliner di pasar takjil, ada yang naik motor atau menggowes bareng komunitas, ada yang sekadar bercengkerama bersama keluarga di rumah, dan ada pula yang menghabiskan waktu di masjid untuk mendengarkan kajian.
Tiga masjid tempat ngabuburit
Hal terakhir itulah yang ingin saya ceritakan. Selama hampir tujuh tahun di Lamongan selepas meninggalkan Bogor, ada tiga masjid yang biasa kami kunjungi pada momen menjelang berbuka. Ketiganya punya ciri khas yang membuat kami betah berulang-ulang ke sana secara bergiliran.
Menuturkan ngabuburit di masjid memang berpotensi menimbulkan kecenderungan riya, tapi tak apalah--siapa tahu ada yang terinspirasi untuk melakukan hal serupa atau mengelola masjid di tempat mereka ala ketiga masjid yang biasa kami kunjungi ini.
1 | Masjid Namira
Masjid yang terletak di  Desa Jotosanur Kecamatan Tikung ini menjadi masjid pertama yang kami kunjungi saat Ramadan begitu kami menetap di Lamongan. Masjidnya besar, megah, dengan banyak kegiatan menarik dan suasana yang selalu hidup--apalagi di saat bulan Ramadan.
Menjelang magrib, jemaah berdatangan di area sebelah utara dekat parkiran untuk mendengarkan kajian. Sebelum duduk di karpet yang disediakan, jemaah akan diberi kartu tipis mirip ATM sebagai kartu pass untuk mengambil makanan selepas magrib. Selain itu, petugas juga mengulurkan segelas air mineral plus sedotan dan tiga butir kurma (bagi jemaah dewasa) atau Beng-Beng (bagi pengunjung anak-anak).
Ngabuburit di sini asyik karena penceramah beragam, dihadirkan dari berbagai kota, bahkan tak jarang dari luar negeri misalnya Palestina atau Yaman. Lokasi kajian yang luas di sebelah areal persawahan membuat suasana sejuk, terlebih saat hujan turun. Tanpa pendingin pun sudah semriwing.
Hal menarik lainnya, sesekali penceramah membuat kuis bagi jemaah dengan imbalan buku/kitab hingga uang tunai. Banyaknya jemaah yang hadir juga kian membuat suasana meriah, setiap keluarga jadi betah bertahan hingga tuntas shalat tarawih. Tak kurang 2.000-3.000 paket nasi dibagikan setiap harinya di masjid ini. Â
Akan lebih sempurna kalau selama 10 hari terakhir Ramadan kita bisa ikut beriktikaf di Masjid Namira. Selain buka puasa gratis, jemaah akan dijamu dengan menu prasmanan yang lezat selama bersantap sahur. Bahkan mereka yang mendaftar untuk menginap di sana tanpa pulang akan diberi layanan londri cuma-cuma.
2 | Masjid Agung Kota Lamongan
Masjid yang terletak di tengah kota, di seberang alun-alun ini tentu tak boleh dilewatkan. Masjidnya terus berbenah, baik dari segi bangunan fisik maupun program kegiatan. Namun karena dikelola oleh yayasan umum (pemda) tentu berbeda dengan Namira yang dikelola oleh swasta.
Kajian sebelum magrib saat Ramadan juga dipenuhi jemaah. Mirip Namira, jemaah yang datang akan disambut oleh petugas dengan selembar kupon tipis mirip ATM sebagai syarat pengambilan nasi kotak setelah shalat magrib. Juga satu kantung plastik kecil berisi tiga butir kurma.
Yang agak beda di sini adalah mereka yang datang terlambat di kajian dan tak kebagian kartu akan dipersilakan untuk mengantre di pintu paling selatan guna mendapatkan makanan. Untung-untungan, kadang dapat nasi kotak, nasi bungkus, atau sekadar camilan--tergantung persediaan.Â
3 | Masjid Al-Mustajabah
Masjid ini terbilang baru, setidaknya dibanding Namira apalagi Masjid Agung kota. Sebagaimana Namira, Masjid Al-Mustajabah dimiliki dan dikelola secara pribadi dengan manajemen yang juga rapi.
Selepas shalat Jumat pada bulan non-Ramadan, jemaah akan dijamu dengan sebungkus roti dan kopi panas yang boleh diambil sesuai kebutuhan masing-masing.
Pun saat Ramadan, Mustajabah pun memanjakan jemaah dengan kajian menjelang berbuka secara berbeda. Dibanding dua masjid sebelumnya, Mustajabah mungkin lebih lengkap. Saat azan magrib berkumandang, jemaah lantas keluar masjid untuk mencicipi aneka takjil yang tersedia di meja: gorengan, kue-kue, dan kopi panas atau teh hangat manis.
Setelah shalat magrib dikerjakan, jemaah bergegas merapat ke meja yang sama untuk mengambil nasi kotak. Tanpa kupon atau kartu khusus sebagaimana Namira dan Masjid Agung kota. Petugas yang berjaga akan membantu mengambilkan.
Lantaran tidak seramai dua masjid sebelumnya, masjid yang terletak di Kecamatan Sukodadi ini relatif bisa menjamin ketercukupan nasi untuk semua jemaah. Bahkan tak jarang, musafir yang kebetulan numpan shalat magrib di Mustajabah pun kebagian nasi kotak meskipun tak ikut mendengarkan kajian saat ngabuburit.
Panitia mempersilakan mengambilkan bahkan untuk satu keluarga selama persediaan masih ada. Karena terletak di pinggir jalan raya, walaupun di ruas kota, Mustajabah memang ramai oleh musafir yang istirahat shalat baik pada Jumat maupun magrib Ramadan.
Si bungsu yang kerap shalat di sini pun ketagihan ngabuburit di Masjid Al-Mustajabah. Selain petugas ramah, masjidnya tak terlalu ramai. Apalagi di tampah itu selalu tersedia tahu isi dan ote-ote (bakwan) kesukaannya. Plus teh hangat manis yang belum ditemukan di masjid lainnya.
Begitulah sepenggal kisah ngabuburit ala kami. Dari masjid ke masjid bukan sekadar tertarik oleh makanan yang tersedia, melainkan maraknya kajian dengan penceramah yang beragam. Lebih dari itu, suasana batin di antara jemaah yang terbangun diharapkan akan meningkatkan koneksi dengan Tuhan. Ya, ada wawasan spiritual yang tergali agar kami lebih sadar dan bijaksana.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H