Sebelum melepas hajat, ada satu dua teman yang iseng memetik tangkai padi yang menguning. Tangkai itu lantas dipakai untuk menjebak ikan yang muncul saat tahi berjatuhan ke air. Ikan yang tak mencaplok padi akhirnya ikut tertarik hingga ke pematang.Â
Namun kami cepat-cepat mengembalikannya, tidak membawanya pulang. Sekadar buat seru-seruan tanpa hasrat memiliki atau memakan.
6. Lalar
Pengalaman lain semasa kecil yang juga mengesankan saat Ramadan adalah saat kami lalar atau di beberapa daerah disebut patrol. Selama Ramadan kami tidur di serambi masjid beramai-ramai. Kakak-kakak yang lebih tua atau marbut lantas membangunkan kami pukul 2 pagi.
Tujuannya untuk berkeliling guna membantu membangunkan warga, terutama ibu-ibu, yang ingin menyiapkan santapan sahur. Kami membawa kentungan yang kami sebut truthukan. Kentungan ini rata-rata terbuat dari bilah bambu yang menghasilkan suara nyaring.
Kecuali kentungan punya saya: alih-alih memanjang, bentuknya justru pendek seolah membentuk kurva. Ini karena kentungan yang saya bawa dibuat dari brungki alias akar bambu yang cukup besar. Masih ada jejak lubang tempat serabut akar menancap.
Kentungan ini berbunyi khas, lebih dalam dan keras suaranya. Biasa dipakai oleh kakek yang ketua RT untuk memanggil warga sekitar ketika hendak menghadiri rapat bulanan. "Truthuk, thuk, thuk...!" Warga pun berduyun-duyun ke asal suara untuk rapat bersama.
Nah, sobat Kompasianer, seru kan pengalaman Ramadan saya sewaktu kecil dulu? Bagaimana dengan Anda semua? Coba bagikan di kolom komentar, apakah seseru atau bahkan lebih seru dari kisah saya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H