Mohon tunggu...
Isnaini Khomarudin
Isnaini Khomarudin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - penggemar kopi | pemburu buku bekas

peminat bahasa daerah | penggemar kopi | pemburu buku bekas

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Berburu Daun Jati dan Main ke Penggilingan Gabah, Ramadanku Hepi Luar Biasa

2 April 2023   16:00 Diperbarui: 2 April 2023   16:07 1272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pohon jati di makam desa (Foto: dok. pri)

SELALU BERSEMANGAT mengenang Ramadan masa kecil dulu. Banyak cerita lucu dan unik yang sulit ditemukan atau dialami oleh anak-anak zaman now. Apa saja yang berkesan sewaktu kecil sehingga Ramadan menjadi pengalaman menyenangkan luar biasa? 

Mungkin terliihat sederhana bagi pembaca, tapi tidak demikian bagi saya. Setiap fragmen masa lalu tergurat indah sebagai kepingan memori yang layak dikenang kapan saja, lebih-lebih di tengah abad yang kian gegas dengan kecanggihan teknologi masa kini. jadi tantangan tersendiri untuk membentuk pengalaman Ramadan yang berkesan tanpa godaan gawai dan teman-teman.

1. Berburu daun jati

Bulik (adik ibu) mengelola toko kecil di rumahnya. Setiap hari dia pergi ke pasar untuk kulakan aneka sayur, ikan, dan bumbu-bumbu. Kala itu barang dagangan kebanyakan dikemas dengan daun jati. Kadang kertas, tapi sangat jarang. 

Daun jati inilah yang jadi pundi rezeki anak-anak, termasuk saya. Bersama seorang sepupu yang kini sudah almarhum, kami biasanya bergerak ke dua lokasi: telaga dusun dan makam di sebelah barat desa.

Di pinggir telaga yang airnya dipanen warga, ada puluhan pohon jati dengan daun-daun yang lebat. Jika jumlah tak mencukupi, kami bergerak ke area makam desa di mana lebih banyak pohon jati berdiri. Karena lebih lincah, sepupu saya segera naik ke atas sementara saya bertugas di bawah untuk mengumpulkan daun yang dijatuhkan.

Pulang ke rumah, uang pun kami terima. Masa kecil yang menyenangkan, cari cuan cukup gampang. Meluangkan waktu, tenaga, dan ketangkasan. 

2. Memancing

Kalau tak ada pesanan dari bulik atau toko lain, pagi hari selama berpuasa kami biasanya pergi memancing. Memancing di kolam-kolam yang disebut jublang. Jublang ini terletak di belakang rumah warga, biasanya 5 rumah mengandalkan satu jublang untuk mandi atau bercih-bersih.

Namun tempat favorit kami untuk memancing adalah jublang di sebelah utara masjid. Selain luas dan dalam, ikannya berlimpah. Kalau ingin cari suasana lain, kami beringsut ke arah barat yakni di sungai tersier sambil melihat pengendara motor atau petani mengayuh sepeda ke sawah.

Berburu cacing terlebih dahulu, duduk tenang sambil bergurau, pulang dapat ikan untuk dimasak sebagai lauk berbuka. Sedap bukan main!

3. Main ke penggilingan gabah

Selama Ramadan, pengajian Quran ditiadakan. Kami senang bukan kepalang. Biasanya ngaji habis magrib, selama Ramadan kami sibuk berbuka puasa.

Nah, selepas Asar, anak-anak biasa berkumpul di masjid untuk bercengkerama. Menghabiskan waktu untuk bermain apa saja. Entah di serambi atau di halaman masjid, di bawah pohon sawo raksasa yang sangat rindang.

Namun yang berkesan bagi saya adalah kunjungan ke tempat penggilingan gabah. Kebetulan marbut masjid bekerja di sana. Kami bebas menyaksikan pekerja mengolah gabah menjadi beras dengan mesin-mesin bertenaga diesel. Saya menumpang motor anggota rema masjid senior untuk sampai ke sana.

Kalau bosan atau bising karena suara mesin, kami melipir ke tepi jalan raya karena penggilingan ini terletak tepat di pinggir jalan berasapal. Kami lihat lalu lalang kendaraan sambil mendengarkan suara Pak Mudin mencoba mikrofon saat hendak memulai pengajian. 

4. Ikut pengajian sore

Dari penggilingan, saya lantas kembali ke masjid. Tentu saja untuk mengikuti pengajian sore. Tugas kami hanya bersila dan mendengarkan materi dibawakan, biasanya dari kitab yang dikaji selama satu bulan penuh.

Pengajian sore sebelum berbuka (foto: dok. pri)
Pengajian sore sebelum berbuka (foto: dok. pri)

Mudin yang kuingat kala itu bernama Pak Khambali, sahabat ayah yang sama-sama bergiat sebagai pemuka sosial dan agama. Pak Khambali punya suara khas dengan pengetahuan agama mumpuni meskipun humornya sering garing.

Kami senang ikut pengajian sore walau banyak bahasa Jawa dari kitab yang tak kami pahami. Begitu selesai, kami akan duduk berhadapan atau melingkar untuk menyantap nasi dan lauk yang dikirim warga. Ssekali ada kolak atau buah, semua dibagikan merata.

5. Buang air di tambak

Selepas berbuka di rumah, kami biasa kembali ke masjid sebelum azan Isya berkumandang. Walau tak selalu, agenda menyenangkan adalah buang air besar di sebuah tambah tak jauh dari masjid. Masjid kami terletak di ujung barat kampung yang berbatasan langsung dengan hamparan sawah dan aliran sungai.

Tambak disediakan untuk buang hajat. (Foto: dok. pri)
Tambak disediakan untuk buang hajat. (Foto: dok. pri)

Di antara sawah-sawah itu ada sebagian lahan yang masih dimanfaatkan sebagai tambak dengan ikan yang banyak. Pemilik tambak sengaja membangun bilah-bilah bambu sebagai pijakan bagi warga lain yang ingin buang hajat. Dengan begitu, ikannya dapat makanan dan warga bisa puas melepas kebutuhan, hehe.

Entah mengapa kami malah betah dalam kegelapan sambil buang hajat di sini. Mungkin karena kami bisa lepas bercerita apa saja dan bercanda meskipun gigitan nyamuk merajalela. Kadang-kadang kami sengaja berlama-lama agar ketinggalan shalat Isya lantaran rakaat tarawih yang cukup banyak.

Sebelum melepas hajat, ada satu dua teman yang iseng memetik tangkai padi yang menguning. Tangkai itu lantas dipakai untuk menjebak ikan yang muncul saat tahi berjatuhan ke air. Ikan yang tak mencaplok padi akhirnya ikut tertarik hingga ke pematang. 

Namun kami cepat-cepat mengembalikannya, tidak membawanya pulang. Sekadar buat seru-seruan tanpa hasrat memiliki atau memakan.

6. Lalar

Pengalaman lain semasa kecil yang juga mengesankan saat Ramadan adalah saat kami lalar atau di beberapa daerah disebut patrol. Selama Ramadan kami tidur di serambi masjid beramai-ramai. Kakak-kakak yang lebih tua atau marbut lantas membangunkan kami pukul 2 pagi.

Tujuannya untuk berkeliling guna membantu membangunkan warga, terutama ibu-ibu, yang ingin menyiapkan santapan sahur. Kami membawa kentungan yang kami sebut truthukan. Kentungan ini rata-rata terbuat dari bilah bambu yang menghasilkan suara nyaring.

Kecuali kentungan punya saya: alih-alih memanjang, bentuknya justru pendek seolah membentuk kurva. Ini karena kentungan yang saya bawa dibuat dari brungki alias akar bambu yang cukup besar. Masih ada jejak lubang tempat serabut akar menancap.

Kentungan ini berbunyi khas, lebih dalam dan keras suaranya. Biasa dipakai oleh kakek yang ketua RT untuk memanggil warga sekitar ketika hendak menghadiri rapat bulanan. "Truthuk, thuk, thuk...!" Warga pun berduyun-duyun ke asal suara untuk rapat bersama.

Nah, sobat Kompasianer, seru kan pengalaman Ramadan saya sewaktu kecil dulu? Bagaimana dengan Anda semua? Coba bagikan di kolom komentar, apakah seseru atau bahkan lebih seru dari kisah saya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun