Mohon tunggu...
Isnaini Khomarudin
Isnaini Khomarudin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - editor lepas dan bloger penuh waktu

peminat bahasa daerah | penggemar kopi | pemburu buku bekas

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Bu Louis dan Martabak Manis: Fragmen Toleransi di Lingkup Mini

17 April 2022   14:44 Diperbarui: 17 April 2022   14:51 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sanalah kami bertemu. Jika Bu Louis memproduksi martabak manis, maka saya menitipkan wingko khas Babat Lamogan di lapak yang sama. Saya akui, usia tak menghalangi produktivitasnya. Setiap kali bersua, ia selalu bersemangat membagikan cerita, mulai dari ibadah di gereja, aktivitas memasak, hingga perjalanan ke Tanah Sucinya.

Martabak mini manifestasi toleransi

Martabak manis bertabur cokelat dan keju buatannya terkenal lezat tiada duanya. Saya pernah mencicipi martabak sejenis di lapak lain tapi rasanya mengecewakan. Walau bentuknya mini, tetapi aroma, rasa, dan teksturnya sangat terjaga.

Martabak mini, lezatnya menyatukan seluruh negeri. (Foto: kompas.com)
Martabak mini, lezatnya menyatukan seluruh negeri. (Foto: kompas.com)

Dengan pertimbangan itulah saya memintanya agar mau menitipkan martabak manis buatannya di beberapa toko kue selain lapak kue langganan di kompleksnya. Saya yakin martabaknya bisa laris dan akan berdampak pada meningkatnya omzet penjualan.

Karena toko-toko yang saya maksud itu tak bisa ia jangkau dengan jalan kaki, maka saya menawarinya sebagai kurir. Dia gembira luar biasa sebab keluarganya belum punya kendaraan, termasuk motor seperti yang saya miliki. Dia makin senang karena saya tak mengambil margin dari harga jual sehingga keuntungannya tetap utuh.

Sebenarnya dia membolehkan saya menurunkan harga sehingga selisihnya bisa saya ambil, tapi saya rasa itu tak perlu. Bukan berarti saya tak butuh uang, tapi ingin sekali menolongnya karena kondisinya. Dengan atau tanpa margin itu, saya toh tetap akan menyambangi toko-toko untuk menaruh wingko saya sehingga ongkos BBM tetap sama.

Kami adalah bineka

"Saya tahu kita beda agama ya, tapi kita bisa sama-sama Indonesia," ujarnya sewaktu saya berkunjung ke rumah sakit pagi itu. Bukan hanya keyakinan yang berbeda, tapi suku kami pun tak sama. Dia seorang kristiani, sedangkan saya muslim. Saya asli Jawa, dia bersuku Batak.

Namun dalam konteks Indonesia, kami adalah wujud kebinekaan. Kami sama-sama menghirup oksigen di Bumi Pertiwi, sama-sama warga negara yang berusaha mengais rezeki. Kami menghormati keyakinan masing-masing tanpa mengganggu urusan ekonomi.

Karena saya dimudahkan 

Jadi ketika martabak manisnya ternyata lebih laris daripada wingko, saya tetap gembira. Saya bersyukur mendapat rahmat berupa sepeda motor dari Allah SWT. Dan fasilitas itu, yang tak dimiliki Bu Louis, membuat saya mudah dan leluasa bergerak---terutama dalam mendistribusikan dagangan. Jadi tak ada kerugian ketika saya membantunya karena faktanya saya lebih dimudahkan oleh Tuhan untuk bergerak.

Ketika kami akhirnya pindah ke Jawa, tentu sedih yang melingkupi. Tak ada lagi martabak manis berbentuk mini dengan parutan keju dan meises yang lezat. Tak ada lagi momen menyambangi rumahnya ketika ada pesanan atau sekadar menyerahkan hasil penjualan setiap pekan.

Setiap orang punya hak untuk memeluk agama tanpa paksaan dari orang lain. Sebagaimana kebebasan untuk menentukan barang dagangan asalkan tidak bertentangan dengan aturan agama dan negara.

Berawal dari yang kecil

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun