Mohon tunggu...
Isnaini Khomarudin
Isnaini Khomarudin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - editor lepas dan bloger penuh waktu

peminat bahasa daerah | penggemar kopi | pemburu buku bekas

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Bu Louis dan Martabak Manis: Fragmen Toleransi di Lingkup Mini

17 April 2022   14:44 Diperbarui: 17 April 2022   14:51 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toleransi beragama bisa dilakukan dengan mudah. (Foto: freepik)

Setiap kali membaca kata toleransi, saya selalu teringat pada sepenggal fragmen masa lalu yang saya alami. Momen ini saya kenang sebagai bagian dari masa perantauan yang menyenangkan, bahkan saya ceritakan kepada anak-anak agar dijadikan teladan.

Suatu pagi pada tahun 2016, ketika hendak menjemput si sulung di TK, saya dan istri mampir ke RSUD Kota Bogor di Jl. Dr. Sumeru, tak jauh dari sekolah anak kami. Setelah memarkir kendaraan, saya bergegas mengunjungi teman yang sedang dirawat sementara istri menunggu di luar karena pengunjung dibatasi.

"Bu," saya menyapa singkat ketika pengunjung lain usai berpamitan.

Wanita yang akrab kami panggil Bu Louis atau Oma itu terduduk lesu di atas ranjang. Di dalam kamar itu ada dua orang pasien. Bu Louis tampak kaget, jelas tak menyangka saya akan datang. Namun tak lama berselang, ketika saya mendekat ia segera mengenaliku.

"Eh, Rudi. Kau rupanya!" jawabnya juga singkat dalam logat Batak yang kental. Rona keceriaan menghiasi wajahnya yang sudah keriput. Perban di kepalanya sesekali ia elus di sela rambutnya yang nyaris rata beruban.

Peristiwa nahas sepekan sebelumnya pun ia ceritakan. Sepulang dari gereja, Bu Louis bermaksud menyeberang jalan seperti biasa menuju perumahan tempat ia tinggal. Lalu lintas di depan kompleks memang selalu padat, apalagi sejak dibangun Bogor Outer Ring Road (BORR).

Semua berlangsung dengan cepat ketika seorang pemotor menabraknya. Ia pun jatuh terjengkang yang menyebabkan kepalanya terantuk aspal hingga berdarah cukup banyak. Singkat cerita ia kemudian dilarikan ke RSUD dan alhamdulillah terselamatkan hingga kami bersua pagi itu.

"Saya datang sama istri, Bu," ujar saya kemudian dengan maksud ingin pamit. "Dia nunggu di luar. Mohon maaf ya saya enggak bisa lama. Sekalian mau jemput anak."

Saya mengulurkan amplop putih dan dia menerimanya dengan muka berseri. Usianya mungkin 65 tahunan kala itu dan saya seolah melihat nenek sendiri yang sudah tiada.

Lapak kue pembawa berkah

Bu Louis adalah seorang janda asal Medan yang tinggal di Bogor bersama putra tunggalnya. Sejak suaminya berpulang, ia aktif memproduksi makanan kecil untuk dijual sebagai sumber pendapatan. Setiap hari, pagi-pagi sekali, ia akan berjalan kaki kira-kira sejauh 1 km dari rumah ke lapak kue yang rame.

Di sanalah kami bertemu. Jika Bu Louis memproduksi martabak manis, maka saya menitipkan wingko khas Babat Lamogan di lapak yang sama. Saya akui, usia tak menghalangi produktivitasnya. Setiap kali bersua, ia selalu bersemangat membagikan cerita, mulai dari ibadah di gereja, aktivitas memasak, hingga perjalanan ke Tanah Sucinya.

Martabak mini manifestasi toleransi

Martabak manis bertabur cokelat dan keju buatannya terkenal lezat tiada duanya. Saya pernah mencicipi martabak sejenis di lapak lain tapi rasanya mengecewakan. Walau bentuknya mini, tetapi aroma, rasa, dan teksturnya sangat terjaga.

Martabak mini, lezatnya menyatukan seluruh negeri. (Foto: kompas.com)
Martabak mini, lezatnya menyatukan seluruh negeri. (Foto: kompas.com)

Dengan pertimbangan itulah saya memintanya agar mau menitipkan martabak manis buatannya di beberapa toko kue selain lapak kue langganan di kompleksnya. Saya yakin martabaknya bisa laris dan akan berdampak pada meningkatnya omzet penjualan.

Karena toko-toko yang saya maksud itu tak bisa ia jangkau dengan jalan kaki, maka saya menawarinya sebagai kurir. Dia gembira luar biasa sebab keluarganya belum punya kendaraan, termasuk motor seperti yang saya miliki. Dia makin senang karena saya tak mengambil margin dari harga jual sehingga keuntungannya tetap utuh.

Sebenarnya dia membolehkan saya menurunkan harga sehingga selisihnya bisa saya ambil, tapi saya rasa itu tak perlu. Bukan berarti saya tak butuh uang, tapi ingin sekali menolongnya karena kondisinya. Dengan atau tanpa margin itu, saya toh tetap akan menyambangi toko-toko untuk menaruh wingko saya sehingga ongkos BBM tetap sama.

Kami adalah bineka

"Saya tahu kita beda agama ya, tapi kita bisa sama-sama Indonesia," ujarnya sewaktu saya berkunjung ke rumah sakit pagi itu. Bukan hanya keyakinan yang berbeda, tapi suku kami pun tak sama. Dia seorang kristiani, sedangkan saya muslim. Saya asli Jawa, dia bersuku Batak.

Namun dalam konteks Indonesia, kami adalah wujud kebinekaan. Kami sama-sama menghirup oksigen di Bumi Pertiwi, sama-sama warga negara yang berusaha mengais rezeki. Kami menghormati keyakinan masing-masing tanpa mengganggu urusan ekonomi.

Karena saya dimudahkan 

Jadi ketika martabak manisnya ternyata lebih laris daripada wingko, saya tetap gembira. Saya bersyukur mendapat rahmat berupa sepeda motor dari Allah SWT. Dan fasilitas itu, yang tak dimiliki Bu Louis, membuat saya mudah dan leluasa bergerak---terutama dalam mendistribusikan dagangan. Jadi tak ada kerugian ketika saya membantunya karena faktanya saya lebih dimudahkan oleh Tuhan untuk bergerak.

Ketika kami akhirnya pindah ke Jawa, tentu sedih yang melingkupi. Tak ada lagi martabak manis berbentuk mini dengan parutan keju dan meises yang lezat. Tak ada lagi momen menyambangi rumahnya ketika ada pesanan atau sekadar menyerahkan hasil penjualan setiap pekan.

Setiap orang punya hak untuk memeluk agama tanpa paksaan dari orang lain. Sebagaimana kebebasan untuk menentukan barang dagangan asalkan tidak bertentangan dengan aturan agama dan negara.

Berawal dari yang kecil

Toleransi beragama sudah diatur dalam UUD 1945 dan adalah kewajiban kita semua untuk menjaganya dalam bentuk yang paling ideal sesuai kemampuan dan kondisi. Ada yang menjalin kerukunan antarumat beragama lewat semangat merawat lingkungan dan ada pula yang menjaganya lewat aktivitas ekonomi.

Martabak manis buatan Bu Louis yang saya bawa ke toko-toko mungkin hanya langkah kecil dalam skala sosial yang lebih besar. Namun sesuatu yang besar bukankah dibentuk oleh entitas-entitas yang kecil?

Semoga Ramadan mendorong kita mengasah empati dan toleransi dalam pengertian yang seimbang dan saling menguntungkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun