Mohon tunggu...
Isna Noor Fitria
Isna Noor Fitria Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Banjarmasin - Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sama-sama Kasus Pidana, Mengapa Sidang Jessica Terbuka dan Ahok Tertutup?

3 Januari 2017   19:07 Diperbarui: 3 Januari 2017   19:16 2204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salam 2 jari dari Ahok saat memasuki ruang persidangan pada saat sidang keempat atas dugaan penistaan agama (Selasa, 03 Januari 2017). Sumber: Republika.co.id

Sepanjang tahun 2016, ada satu kasus yang begitu menghebohkan dan menyedot perhatian banyak pihak. Di awal kemunculannya, berbagai analisa dan spekulasi bermunculan. Mulai dari kasusnya yang serupa dengan salah satu scenedalam komik Detektif Conan, dugaan cinta segitiga, indikasi cinta sesama jenis, sehingga membuat kasus ini layaknya sebuah drama. Tak kurang dari 30 kali persidangan, ditambah disiarkan secara live di salah satu stasiun TV, hingga akhirnya berujung pada hukuman pidana 20 tahun kepada terdakwa Jessica yang membuat statusnya resmi menjadi terpidana.

Setelah kasus kopi sianida, kasus Gubernur DKI Jakarta non aktif menjadi pengganti highlight media. Ada tuduhan ‘penistaan agama’ dengan diksi ‘dibodohi’ saat Ahok menyampaikan kampanye dengan mengutip surat Al-Ma’idah ayat 51 di Kepulauan Seribu. Tak pelak, statement ini bagaikan bensin yang disiramkan ke api yang berkobar. Sosial media terasa panas, terbagi menjadi dua kubu; ada yang mendukung, ada pula yang mati-matian menghujat. Akan tetapi, saya menandai aspek positif dari kasus ini. Apalagi kalau bukan aksi 212 di mana lebih dari 4 juta masyarakat muslim shalat Jum’at bersama, di bawah rintikan hujan, mendoakan kedamaian dan keberkahan di Jakarta khususnya, di Indonesia umumnya. Amboi! Indah nian!

Walaupun genre kedua kasus ini berbeda, di mana Jessica dan Mirna murni ditetapkan sebagai delik pembunuhan berencana sedangkan Ahok didakwa atas dugaan penistaan agama, kedua kasus ini mempunyai akar yang sama, yakni kasus pidana.

Berbeda dengan sidang Jessica yang SEMUANYA disiarkan secara live, baru memasuki putaran keempat, sidang Ahok hari ini dengan agenda pembuktian (mendengarkan keterangan Saksi dari pihak JPU), tertanggal Selasa, 03 Januari 2017, dinyatakan tertutup oleh Majelis Hakim. Pada awalnya, sidang dinyatakan terbuka untuk umum oleh majelis hakim. Sesaat kemudian, Ahok memasuki ruang persidangan, dan kemudian sidang dinyatakan tertutup. Sempat terjadi pertentangan dengan Majelis Hakim dan pihak kepolisian, akhirnya seluruh awak media, baik cetak, internet maupun televisi dipersilakan meninggalkan ruang persidangan. Tak ketinggalan, ruang sidang Ahok di Kementerian Pertanian kali ini juga ditutupi dengan korden sehingga tidak bisa diintip dari luar.

Banyak pihak yang kecewa, terutama wartawan yang sudah datang sejak subuh hanya untuk meliput persidangan. Tanggapan nyindir seperti hakim tidak adil, adanya intervensi, serta ketakutan akan tidak transparannya persidangan menghiasi timeline berbagai sosial media. Hingga detik ini, tidak ada tanda-tanda sidang akan dibuka untuk umum.

Before you assume, learn the facts. Before you judge, understand why. Before you speak, think.

Pada dasarnya, persidangan memiliki asas “terbuka untuk umum” kecuali ditentukan lain dalam undang-undang. Hal ini termaktub dalam Pasal 153 ayat 3 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).  

Pengecualian sidang terbuka untuk umum sehingga sidang dinyatakan tertutup untuk umum pada umumnya adalah untuk kasus-kasus dalam ranah hukum keluarga, pidana anak, kasus kesusilaan dan beberapa kasus tertentu sebagaimana diatur dalam beberapa ketentuan berikut:

Pasal 70 ayat (2) UU PTUN: Apabila Majelis Hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum;

Pasal 80 ayat (2) UU Peradilan Agama, sidang pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan secara tertutup;

Pasal 141 ayat (2) dan ayat (3) UU Peradilan Militer, perkara yang menyangkut kesusilaan, rahasia militer dan/atau rahasia negara disidangkan secara tertutup;

Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pada dasarnya sidang pengadilan anak dilakukan secara tertutup, tetapi untuk perkara tertentu hakim dapat menyatakan sidang terbuka untuk umum (dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (2), contoh perkara tertentu adalah pelanggaran lalu lintas). Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 51 UU Sistem Peradilan Pidana Anak yang telah disahkan DPR bahwa Hakim memeriksa perkara Anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum.

Jelas dari pengecualian tersebut, sengketa dugaan penistaan agama bukanlah termasuk persidangan yang dinyatakan tertutup. Lalu, mengapa akhirnya Majelis Hakim memutuskan sidang Ahok dilaksanakan secara tertutup?

Belajar dari proses persidangan live Jessica, persidangan yang ditayangkan secara langsung ternyata menimbulkan polemik dan perdebatan di kalangan masyarakat, terutama ketika proses pemeriksaan saksi dan ahli. Live report, lengkap dengan segala gerak-gerik orang yang ada di dalamnya adalah buah dari tafsir elastis terhadap konsep “keterbukaan” dalam persidangan. Lantaran ada frasa “terbuka untuk umum”, seolah-olah siapapun bisa mengakses jalannya persidangan. Dengan adanya peliputan masif oleh media, ditambah penyiaran langsung berjam-jam, dibumbui tanggapan para komentator, tak pelak terjadi trial by press atau penghakiman oleh media. Asas praduga tak bersalah hilang sudah. Terjadi penggiringan opini publik bahwa Jessica bersalah padahal sidang masih jauh jalannya.

Hal inilah yang ditakutkan akan terjadi pada kasus Ahok. Apalagi kasus ini begitu sensitif, mengangkat tema agama yang dibungkus dengan politik atau sebaliknya (?) Belum persidangan saja, sudah memantik aksi turun ke jalan besar-besaran. Penyiaran secara livemungkin akan berakhir persis dengan kasus Jessica; pembentukan opini publik dan juga disintegrasi bangsa. Implikasi lebih jauh juga akan berakibat pada pencemaran alat-alat bukti. Dalam Pasal 159 KUHAP jelas dikatakan bahwa antar saksi dilarang saling berhubungan sebelum memberi keterangan di persidangan, dikarenakan kekhawatiran akan terpengaruh. Alhasil, seorang saksi bisa saja mengubah keterangannya setelah melihat persidangan secara langsung di TV.

Lantas, bagaimana harusnya masyarakat mengawal jalannya persidangan? Tindakan Majelis Hakim pada awalnya yang mengizinkan awak media masuk, tanpa membawa kamera serta alat perekam adalah tindakan solutif menurut saya. Publik harus bisa menjaga agar aparat penegak hukum yang menangani perkara benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Hakim, jaksa, dan polisi harus memastikan perkara yang mereka tangani sudah berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan. Untuk memastikan itu tak perlu live.

Pada akhirnya, seperti kata Profesor Jimly Asshidiqie, biarkan kasus dugaan penistaan agama ini diserahkan pada proses hukum. Perdebatan, baik pro dan kontra, biarlah terjadi dalam persidangan. Selayaknya kita percaya, Majelis Hakim yang bertugas akan memutus perkara dengan seadil-adilnya, tanpa adanya intervensi dari berbagai golongan, tanpa memandang latar agama dan politik terdakwa.

Tabik!

Isna Noor Fitria

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun