Sepanjang tahun 2016, ada satu kasus yang begitu menghebohkan dan menyedot perhatian banyak pihak. Di awal kemunculannya, berbagai analisa dan spekulasi bermunculan. Mulai dari kasusnya yang serupa dengan salah satu scenedalam komik Detektif Conan, dugaan cinta segitiga, indikasi cinta sesama jenis, sehingga membuat kasus ini layaknya sebuah drama. Tak kurang dari 30 kali persidangan, ditambah disiarkan secara live di salah satu stasiun TV, hingga akhirnya berujung pada hukuman pidana 20 tahun kepada terdakwa Jessica yang membuat statusnya resmi menjadi terpidana.
Setelah kasus kopi sianida, kasus Gubernur DKI Jakarta non aktif menjadi pengganti highlight media. Ada tuduhan ‘penistaan agama’ dengan diksi ‘dibodohi’ saat Ahok menyampaikan kampanye dengan mengutip surat Al-Ma’idah ayat 51 di Kepulauan Seribu. Tak pelak, statement ini bagaikan bensin yang disiramkan ke api yang berkobar. Sosial media terasa panas, terbagi menjadi dua kubu; ada yang mendukung, ada pula yang mati-matian menghujat. Akan tetapi, saya menandai aspek positif dari kasus ini. Apalagi kalau bukan aksi 212 di mana lebih dari 4 juta masyarakat muslim shalat Jum’at bersama, di bawah rintikan hujan, mendoakan kedamaian dan keberkahan di Jakarta khususnya, di Indonesia umumnya. Amboi! Indah nian!
Walaupun genre kedua kasus ini berbeda, di mana Jessica dan Mirna murni ditetapkan sebagai delik pembunuhan berencana sedangkan Ahok didakwa atas dugaan penistaan agama, kedua kasus ini mempunyai akar yang sama, yakni kasus pidana.
Berbeda dengan sidang Jessica yang SEMUANYA disiarkan secara live, baru memasuki putaran keempat, sidang Ahok hari ini dengan agenda pembuktian (mendengarkan keterangan Saksi dari pihak JPU), tertanggal Selasa, 03 Januari 2017, dinyatakan tertutup oleh Majelis Hakim. Pada awalnya, sidang dinyatakan terbuka untuk umum oleh majelis hakim. Sesaat kemudian, Ahok memasuki ruang persidangan, dan kemudian sidang dinyatakan tertutup. Sempat terjadi pertentangan dengan Majelis Hakim dan pihak kepolisian, akhirnya seluruh awak media, baik cetak, internet maupun televisi dipersilakan meninggalkan ruang persidangan. Tak ketinggalan, ruang sidang Ahok di Kementerian Pertanian kali ini juga ditutupi dengan korden sehingga tidak bisa diintip dari luar.
Banyak pihak yang kecewa, terutama wartawan yang sudah datang sejak subuh hanya untuk meliput persidangan. Tanggapan nyindir seperti hakim tidak adil, adanya intervensi, serta ketakutan akan tidak transparannya persidangan menghiasi timeline berbagai sosial media. Hingga detik ini, tidak ada tanda-tanda sidang akan dibuka untuk umum.
Before you assume, learn the facts. Before you judge, understand why. Before you speak, think.
Pada dasarnya, persidangan memiliki asas “terbuka untuk umum” kecuali ditentukan lain dalam undang-undang. Hal ini termaktub dalam Pasal 153 ayat 3 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pengecualian sidang terbuka untuk umum sehingga sidang dinyatakan tertutup untuk umum pada umumnya adalah untuk kasus-kasus dalam ranah hukum keluarga, pidana anak, kasus kesusilaan dan beberapa kasus tertentu sebagaimana diatur dalam beberapa ketentuan berikut:
Pasal 70 ayat (2) UU PTUN: Apabila Majelis Hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum;
Pasal 80 ayat (2) UU Peradilan Agama, sidang pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan secara tertutup;
Pasal 141 ayat (2) dan ayat (3) UU Peradilan Militer, perkara yang menyangkut kesusilaan, rahasia militer dan/atau rahasia negara disidangkan secara tertutup;