Mohon tunggu...
Ismuziani ita
Ismuziani ita Mohon Tunggu... Perawat - Mental Health Nurse

Selalu bersyukur pada Allah.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Saya dan Pengalaman Merawat Orang dengan Gangguan Jiwa

12 Oktober 2020   00:39 Diperbarui: 12 Oktober 2020   04:48 1400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis bergabung menjadi Perawat Jiwa sejak tahun 2005. Saat itu belum bertugas di Rumah Sakit Jiwa, namun sebagai Perawat Jiwa di komunitas yang juga bekerja sama dengan Rumah Sakit Jiwa selain dengan Dinas Kesehatan dan Puskesmas. Profesi sebagai Perawat jiwa dimulai saat bergabung pada sebuah NGO pasca musibah Tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam. 

Setelah lebih kurang lima belas tahun bekerja merawat Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), saya mengalami berbagai kesan dan pengalaman yang unik.

Pengalaman saat menjadi Perawat Jiwa di komunitas tentu saja berbeda dengan pengalaman merawat ODGJ di Rumah Sakit Jiwa. Di komunitas kami bergabung dalam Community Mental Health Nursing (CMHN).

Anggota CMHN ini terdiri dari perawat-perawat dari Puskesmas yang dibekali dengan ilmu keperawatan jiwa. Merawat ODGJ beda dengan merawat pasien yang sakit secara fisik.

Merawat ODGJ susah-susah gampang. Teori yang kita pelajari meliputi berbagai Asuhan Keperawatan (Askep) untuk pasien dengan Gangguan Kejiwaan, pada penerapannya saat kita memberi Asuhan Keperawatan bisa keluar dari jalur teoritis yang kita pelajari. 

Seperti pada Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasi Pendengaran, Strategi Pelaksanaan (SP) pertama secara teori adalah Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara menghardik halusinasi.

Demikian juga dengan pasien Resiko Prilaku Kekerasan, SP pertamanya, melatih pasien mengontrol marah dengan cara fisik satu (tarik nafas dalam) dan cara fisik dua (pukul bantal/kasur).

Tapi saat kita memberikan Asuhan Keperawatan, belum tentu kita bisa menerapkan sesuai aturan teoritis. Karena Masing-masing pasien, antara pasien satu dengan pasien lainnya berbeda kondisi nya. 

Berbicara merawat ODGJ, tentu tidak terlepas dari resiko di serang secara tiba-tiba oleh ODGJ. Kita harus selalu bersikap waspada, meskipun kita lihat mereka sedang tenang. Jika tiba-tiba halusinasi pendengaran nya muncul, secara spontan mereka bisa memukul, menjambak, mendorong dan kelakuan menyerang lainnya. 

Seperti pengalaman saya, saat itu saya sedang memberikan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Risiko Prilaku Kekerasan (di rumah pasien) untuk mengontrol marah dengan cara tarik nafas dalam, tapi pasiennya marah-marah terus tidak mau diam, pasien merusak barang-barang di rumah, memaki-maki orangtuanya, melempar dengan barang yang bisa dilempar jika ada yang mendekat.

Saya ambil alternatif melatih pasien mengontrol marah secara spiritual (Sp 4). Saya mengucapkan Bismillah dan berdoa pada Allah agar pasien bisa tenang, dengan tetap waspada dan menjaga jarak, saya bimbing pasien ber istighfar, sambil mulut saya juga ikut istighfar. 

"Astaghfirullah," suara pasien terdengar pelan.

Melihat pasien merespons ajakan saya, saya mendekat pelan-pelan dan terus membimbing pasien istighfar sampai pasien tenang. 

Ada beberapa orang sering bertanya pada saya, "Kamu gak takut sama orang gila?"

"Jangan sebut mereka gila," sanggahan saya pada mereka yang sering bertanya pada saya. "Sebut mereka orang dengan gangguan jiwa," selalu saya sarankan seperti itu.

Ada lagi yang bertanya pada saya, "Kamu pernah gak diserang sama pasienmu itu?"

Foto : Kegiatan Olah Raga Bersama Pasien (Dokumen Penulis)
Foto : Kegiatan Olah Raga Bersama Pasien (Dokumen Penulis)

Saya pernah beberapa kali diserang tiba-tiba oleh pasien karena kelalaian saya yang kurang berhati-hati.

Ceritanya, pada saat itu saya sedang menerima keluarga pasien yang berkunjung menjenguk pasien di RSJ. Saat itu saya bertugas di ruang rawat wanita.

Pasiennya sudah tenang, secara klinis sudah di izinkan pulang oleh DPJP (Dokter Penanggung Jawab Pelayanan).

Karenanya Kepala Ruangan menelpon keluarga untuk menjemput pasien. Karena kondisi pasien sudah tenang, saya mengeluarkan pasien dari kamar dan mengizinkan keluarga pasien untuk menjumpai pasien.

Saya mengulang kembali apa yang disampaikan oleh Kepala Ruangan, bahwa pasien sudah boleh dikembalikan kepada keluarga. Keluarga enggan membawa pulang pasien, salah satu orang dari anggota keluarga berbicara pada saya, belum siap untuk membawa pulang pasien.

Tiba-tiba pasiennya marah, saat keluarganya bilang tidak pulang hari ini, tapi minggu depan.

Saya tidak memperhatikan pasien mendekati saya dan menarik kerudung saya. Pasien wanita tersebut posturnya tinggi besar, menyerang saya sambil berkata dengan suara besar

"Semua gara-gara kamu, ya, kamu yang tidak mengizinkan saya pulang, kamu sukanya saya di penjarakan di sini".

Saya yang pada saat itu sedang dalam kondisi hamil, langsung merunduk melindungi perut saya, keluarga pasien menarik pasien menjauh.

Teman saya yang sama-sama sedang shift jaga saat itu segera menghubungi pihak keamanan dan pasien diamankan di ruang isolasi. 

Saya menenangkan diri di Nurse Station, kawan saya melanjutkan memberi pengertian pada keluarga pasien, kondisi pasien yang sudah tenang tapi tiba-tiba menyerang, karena pasien putus asa. Pasien kembali merasa curiga bahwa tidak jadi pulang kerumah kemungkinan karena perawat jaga tidak mengizinkan. 

Kesediaan keluarga pasien merawat pasien di komunitas juga merupakan salah satu kendala dan hambatan selama ini. Tidak semua keluarga bisa menerima anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa.

Sehingga, banyak keluarga setelah mengantarkan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa ke RSJ mereka enggan untuk menjemput kembali setelah pasien dinyatakan sembuh secara klinis oleh dokter yang menangani pasien. 

Di sini lagi tugas dari perawat jiwa komunitas untuk memberikan pengertian pada keluarga dan membantu keluarga merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa baik yang selesai rawatan dari RSJ maupun pasien yang hanya di rawat di Puskesmas.

Apa bisa ODGJ hanya dirawat di Puskesmas bukan di RSJ?

Jawabannya " BISA "

Karena ODGJ yang kondisinya tenang dan mengalami gejala-gejala yang ringan cukup di rawat di Puskesmas saja, hampir seluruh Puskesmas sekarang ada CMHN dan GP+.

GP+ adalah Dokter Umum yang telah mengikuti Pelatihan dasar tentang kesehatan jiwa dan teknik mengobati ODGJ. Menurut pengalaman kami perawat jiwa selama ini, tingkat kesembuhan pasien juga dipengaruhi oleh ada tidaknya kepedulian keluarga terhadap ODGJ.

Sementara ODGJ yang mempunyai keluarga yang peduli ikut memberikan suport akan lebih cepat proses penyembuhan nya. Jika kepedulian keluarga kurang, ODGJ yang sudah sembuh pun bisa menurun kondisinya bertambah buruk. 

Ah.... Seandainya semua kita peduli dengan ODGJ, keluarga dan masyarakat tidak men stigma jelek terhadap ODGJ, kemungkinan mereka yang sudah sembuh secara klinis, dan hidup dalam masyarakat bisa beraktivitas normal. Sehingga angka kambuh ulang ODGJ bisa menurun. 

Memangnya ODGJ bisa bekerja di masyarakat?

"YA BISA LAH"

Beberapa tahun yang lalu, RSJ Aceh pernah bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, Pasien RSJ yang secara klinis gejala-gejala beratnya sudah hilang, pasien yang sudah tenang dan sudah mengerti jika diarahkan dan dilatih, di rawat di RSUD Aceh Besar di Kota Jantho. Di sana selain diberikan Asuhan Keperawatan Jiwa, ODGJ juga dilatih berkebun di lahan Rumah Sakit.

Saya juga ikut sebagai salah satu perawat yang bertugas di Ruang Fillial Jiwa Jantho (nama program rehabilitasi ODGJ kerjasama RSJ dengan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar) saat itu. Selama lebih kurang tiga tahun saya bertugas di Ruang Fillial Jantho, kami jarang menemukan pasien bingung, gelisah, berkelahi sesama pasien dan hal-hal lain yang biasanya kita temukan pada pasien yang dirawat secara terkurung di ruang rawatan di RSJ. 

Di ruang Fillial Jantho, ODGJ pagi dan sore hari dilatih berkebun, bumi Jantho yang subur menghasilkan berbagai sayuran hasil kebun dari ODGJ yang dilatih dan dibimbing oleh perawat.

Hasil kebun yang kemudian bisa dijual di pasar, dan menghasilkan uang jajan untuk ODGJ. Jadi ODGJ yang sudah tenang dan sudah bisa hidup di masyarakat, jika diberikan kepercayaan untuk melakukan aktivitas sesuai dengan keahliannya, bisa mengurangi resiko kambuh kembali. 

Semoga kita semua bisa menerima ODGJ beraktivitas dimasyarakat, tidak menjauhi mereka tapi sama-sama membimbing mereka.

Jika mereka butuh pertolongan, kita bisa memberitahu kan pada kader-kader kesehatan jiwa yang ada disetiap Desa, yang nanti kader kesehatan jiwa akan menghubungi perawat CMHN Puskesmas untuk memberikan Asuhan Keperawatan Jiwa pada ODGJ. 

Salam sehat jiwa!

Sehat jiwa dimulai dari Keluarga. 

***

Banda Aceh, 11 Oktober 2020
Penulis,
Ismuziani, A.Md.Kep
Perawat Pelaksana RSJ Aceh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun