Penulis bergabung menjadi Perawat Jiwa sejak tahun 2005. Saat itu belum bertugas di Rumah Sakit Jiwa, namun sebagai Perawat Jiwa di komunitas yang juga bekerja sama dengan Rumah Sakit Jiwa selain dengan Dinas Kesehatan dan Puskesmas. Profesi sebagai Perawat jiwa dimulai saat bergabung pada sebuah NGO pasca musibah Tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam.Â
Setelah lebih kurang lima belas tahun bekerja merawat Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), saya mengalami berbagai kesan dan pengalaman yang unik.
Pengalaman saat menjadi Perawat Jiwa di komunitas tentu saja berbeda dengan pengalaman merawat ODGJ di Rumah Sakit Jiwa. Di komunitas kami bergabung dalam Community Mental Health Nursing (CMHN).
Anggota CMHN ini terdiri dari perawat-perawat dari Puskesmas yang dibekali dengan ilmu keperawatan jiwa. Merawat ODGJ beda dengan merawat pasien yang sakit secara fisik.
Merawat ODGJ susah-susah gampang. Teori yang kita pelajari meliputi berbagai Asuhan Keperawatan (Askep) untuk pasien dengan Gangguan Kejiwaan, pada penerapannya saat kita memberi Asuhan Keperawatan bisa keluar dari jalur teoritis yang kita pelajari.Â
Seperti pada Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasi Pendengaran, Strategi Pelaksanaan (SP) pertama secara teori adalah Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara menghardik halusinasi.
Demikian juga dengan pasien Resiko Prilaku Kekerasan, SP pertamanya, melatih pasien mengontrol marah dengan cara fisik satu (tarik nafas dalam) dan cara fisik dua (pukul bantal/kasur).
Tapi saat kita memberikan Asuhan Keperawatan, belum tentu kita bisa menerapkan sesuai aturan teoritis. Karena Masing-masing pasien, antara pasien satu dengan pasien lainnya berbeda kondisi nya.Â
Berbicara merawat ODGJ, tentu tidak terlepas dari resiko di serang secara tiba-tiba oleh ODGJ. Kita harus selalu bersikap waspada, meskipun kita lihat mereka sedang tenang. Jika tiba-tiba halusinasi pendengaran nya muncul, secara spontan mereka bisa memukul, menjambak, mendorong dan kelakuan menyerang lainnya.Â
Seperti pengalaman saya, saat itu saya sedang memberikan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Risiko Prilaku Kekerasan (di rumah pasien) untuk mengontrol marah dengan cara tarik nafas dalam, tapi pasiennya marah-marah terus tidak mau diam, pasien merusak barang-barang di rumah, memaki-maki orangtuanya, melempar dengan barang yang bisa dilempar jika ada yang mendekat.
Saya ambil alternatif melatih pasien mengontrol marah secara spiritual (Sp 4). Saya mengucapkan Bismillah dan berdoa pada Allah agar pasien bisa tenang, dengan tetap waspada dan menjaga jarak, saya bimbing pasien ber istighfar, sambil mulut saya juga ikut istighfar.Â