Mohon tunggu...
Ismi Nur Baeti
Ismi Nur Baeti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Content Writer

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pemerintah Izinkan Kembali Ekspor Pasir Laut Selama 20 Tahun Vakum

10 Juni 2023   14:42 Diperbarui: 10 Juni 2023   14:47 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebijakan kontroversial pemerintah soal ekspor pasir laut mengundang banyak kecaman. Kecaman tersebut datang dari berbagai pihak, mulai dari tokoh politik, aktivis lingkungan, dan lainnya. Organisasi pemerhati lingkungan seperti Greenpeace dan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menolak Peraturan Pemerintah (PP) soal hal tersebut dan siap menggugatnya.

Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Aturan yang diundangkan pada 15 Mei 2023 ini memuat sejumlah kebijakan. Salah satunya adalah keran ekspor pasir laut yang kini dibuka kembali setelah dilarang selama 20 tahun.

Pada Pasal 9 PP Nomor 26 Tahun 2023 disebutkan bahwa pasir laut dan/atau material sedimen lain berupa lumpur merupakan hasil sedimentasi di laut yang dapat dimanfaatkan. Pasir laut untuk reklamasi Khusus untuk pasir laut, dapat digunakan untuk tujuan reklamasi dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, dan pembangunan prasarana oleh pelaku usaha.

Dalam sejarahnya, Pemerintah Indonesia di era Megawati Soekarnoputri telah melarang ekspor pasir laut sejak 2003 melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Dalam SK yang ditandatangani Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Sumarno pada 28 Februari 2003 disebutkan alasan pelarangan ekspor untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas.

Kerusakan lingkungan yang dimaksud berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia di Kepulauan Riau sebagai akibat penambangan pasir laut. Alasan lainnya yang disebutkan dalam SK tersebut adalah belum diselesaikannya batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura. Proyek reklamasi di Singapura yang mendapatkan bahan bakunya dari pasir laut perairan Riau pun dikhawatirkan memengaruhi batas wilayah antara kedua negara.

Pelarangan tersebut hanya bersifat sementara sampai ditinjau kembali setelah tersusunnya program pencegahan kerusakan terhadap pesisir dan pulau kecil. Larangan ekspor pasir laut kemudian dipertegas kembali pada 2007 pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjabat melalui Freddy Numberi yang saat itu menjabat Menteri KKP. Freddy mengungkap bahwa Indonesia harus kehilangan dua pulau yakni Pulau Nipah dan Sebatik. Pulau Nipah yang ada dikeruk dan hasil ekstrasi pasir laut dijual ke Singapura.

Reuters bahkan mencatat bahwa Indonesia sebagai eksportir utama pasir laut ke Singapura. Sebelum dilarang, Indonesia menjadi pemasok utama pasir laut Singapura untuk perluasan lahan, dengan pengiriman rata-rata lebih dari 53 juta ton per tahun antara 1997 hingga 2002.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2019 melaporkan Singapura adalah importir pasir laut terbesar di dunia, sebagaimana dilansir dari Suara.com, Jumat, 2 Juni 2023. Singapura mengimpor 517 juta ton pasir laut dari para negara tetangganya, Indonesia dan Malaysia selama 20 tahun.

Mengingat kerusakan lingkungan menjadi salah satu alasan mengapa Indonesia tak lagi mengekspor pasir laut, keputusan Jokowi yang terasa mendadak dan tergesa-gesa untuk kembali menjual pasir laut Indonesia ke negara lain menimbulkan pertanyaan besar.

Pemerintah sendiri mengklaim bahwa kebijakan ini diambil untuk mengendalikan sedimentasi laut dan diyakini tidak akan merusak lingkungan. Namun, apakah hal tersebut benar? Dan apakah ada motif tertentu dari keputusan pengambilan kebijakan ini?

Dampak negatif ekspor pasir laut

Mengutip Deepoceanfact, hal ini terkait dengan kerusakan ekosistem laut dalam waktu yang sangat lama dan waktu pemulihannya tidak cepat. Penambangan ini akan meningkatkan abrasi pantai dan erosi pantai, mengurangi kualitas lingkungan laut serta meningkatnya pencemaran di daerah pesisir.

Dampak lainnya adalah penurunan kualitas air yang menyebabkan air laut semakin keruh, serta menyebabkan turbulensi sehingga terjadi peningkatan kadar padatan tersuspensi di dasar perairan. Selain itu, bisa meningkatnya intensitas banjir rob terutama di wilayah pesisir yang terdapat penambangan pasir laut serta merusak ekosistem terumbu karang dan fauna yang menghuni ekosistem tersebut.

Alasannya lainnya larangan ekspor laut ketika itu, mengutip laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), adalah berkaitan dengan kedaulatan negara. Sebab pasir yang banyak diekspor ke Singapura digunakan untuk memperluas wilayahnya. Bahkan dari pasir laut Indonesia, Singapura berhasil memperpanjang bibir pantainya sejauh 12 kilometer.

Tak hanya itu, banyak pulau kecil di Kepulauan Riau yang tenggelam karena pasirnya telah diambil. Sejumlah negara di Asia Tenggara juga telah melarang ekspor pasir ke Singapura ini, seperti Kamboja dan Malaysia pada 2018.

Penolakan kebijakan dari para aktivis lingkungan hingga politisi

Sementara itu, organisasi lingkungan Greenpeace justru menyebut bahwa pemerintah sedang melakukan praktek Greenwashing. Greenwashing sendiri adalah sebuah istilah dan konsep yang menjelaskan tindakan dari suatu pihak yang yang secara publik menyatakan produk atau kegiatannya ramah lingkungan, namun sebenarnya tidak. Tujuan dari tindakan ini agar mereka mendapat kesan dan persepsi yang positif dari masyarakat soal penghijauan.

WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan Greenpeace sendiri menolak PP ini karena beberapa alasan. Selain dampak buruk pada lingkungan berupa hilangnya pulau-pulau kecil, menurut mereka tidak ada alasan kuat dari pemerintah untuk mengizinkan kegiatan ekspor pasir laut. Mereka sendiri menolak klaim pemerintah bahwa sedimentasi laut berbahaya bagi pelayaran, karena tidak ada data dan fakta yang mendukungnya.

Mantan Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti menolak keras keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pemberian izin kapal asing untuk mengeruk pasir laut Indonesia dan diekspornya. Dalam cuitannya diakun Twitter-nya @susipudjiastuti dirinya memprotes keras kebijakan tersebut.

"Semoga keputusan ini dibatalkan. Kerugian lingkungan akan jauh lebih besar. Climate change sudah terasakan dan berdampak. Janganlah diperparah dengan penambangan pasir laut,"

Selain itu Susi Pudjiastuti juga memberikan sebuah tautan berita yang diterbitkan oleh theguardian.com dengan judul "Is the world running out of sand? The truth behind stolen beaches and dredged islands"(Apakah dunia kehabisan pasir? Kebenaran di balik pantai yang dicuri dan pulau yang dikeruk).

Dalam artikel berita tersebut dijelaskan beberapa hal terkait penambangan pasir pantai dan dampak buruknya bagi lingkungan. Bahkan yang membuat banyaknya orang yang masih melakukan penambang pasir pantai adalah karena tidak ada yang tahu berapa banyak kerusakan yang terjadi pada lingkungan. Kurangnya penelitian atas dampak aktivitas penambangan pasir pantai tersebut dikarenakan sebagian besar ancamannya tersembunyi dan sering terjadi di tempat-tempat terpencil.

Siapa yang diuntungkan dengan kebijakan ini?

Dilansir dari tempo.com, Direktur Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman menilai Singapura adalah negara yang paling diuntungkan dari kebijakan ekspor pasir laut Indonesia. Seperti diketahui Indonesia kembali membuka keran ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Dia berujar reklamasi Singapura saat ini sangat membutuhkan banyak pasir laut dari Indonesia karena berkualitasnya sangat baik. Sebab, beberapa negara telah menyetop ekspornya.

"Kebutuhan total pasir laut untuk kebutuhan reklamasi Singapura hingga tahun 2030, adalah sekitar 4 miliar kubik," ujar Yusri melalui keterangannya kepada Tempo, Selasa, 6 Juni 2023. Adapun dia menyebut harga kontrak Johor Baru ke Jurong Town Corporation (JTC) sekitar 15 dolar Singapura (SGD) per meter kubik. Sedangkan dari Vietnam sekitar SGD 35 hingga US$ 38 per meter kubik FOB Singapore.

Jika dibandingkan dari sisi kualitas pasir, dia menjelaskan jarak suplai dan harga jual yang didapatkan Singapura dari Indonesia sudah pasti lebih baik. Karena itu, menurutnya, dapat dipastikan Singapura akan memilih pasir laut dari Kepulauan Riau, dibandingkan dari Vietnam, Kamboja,  Myanmar, Thailand dan Filipina.

Dengan demikian, dia menilai jika Indonesia bisa mengatur sistem satu pintu dalam penjualan ke Singapura, target harga bisa mencapai berkisar SGD 18 hingga SGD 21 per meter kubik FOB Singapore. Sistem yang ia maksud adalah mekanisme negosiasi tanpa tender ke JTC dan BUMN tambang yang ditunjuk sebagai pimpinan konsorsium.

Partisipasi Publik diabaikan

Sejumlah kalangan menilai kebijakan ekspor pasir laut dinilai minim melibatkan peran publik. Padahal, masyarakat pesisir dan nelayan paling berdampak pada kerusakan lingkungan akibat eksploitasi pasir laut.

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyebutkan penambangan pasir laut berpotensi meningkatkan pencemaran pantai yang juga akan berdampak terhadap ekonomi nelayan dan masyarakat pesisir. Selain itu, penambangan pasir laut juga dapat merusak wilayah pemijahan ikan dan nursery ground, merusak ekosistem mangrove dan menganggu lahan pertambakan, mengubah pola arus laut yang sudah dipahami secara turun menurun oleh masyarakat pesisir dan nelayan, hingga kerentanan terhadap bencana di perkampungan nelayan.

Dalam pengelolaannya negara seharusnya menegakan good governance, yakni akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi. Alasan dibukanya kembali kebijakan ekspor pasir laut seharusnya bisa dipertanggungjawabkan, bukan dengan asumsi-asumsi liar. Alasan izin ekspor laut tidak semata demi kepentingan ekonomi. Kepentingan lingkungan dan ekosistem laut jauh lebih penting.

Demikian pula terkait dengan aspek transparansi, kebijakan ekspor pasir laut harus dibuka secara terang-terangan. Gelar diskusi publik, sejauh mana kebutuhan kita untuk mengekspor pasir laut serta seberapa besar pendangkalan laut mengganggu pelayaran nasional. Begitu pun aspek partisipasi, itu sangat menentukan dukungan publik terhadap kebijakan ekspor laut. Pemerintah harus membuka seluas-luasnya partisipasi publik terhadap kebijakan pengerukan dan ekspor pasir laut. Pasalnya, setiap kebijakan pemerintah sejatinya dilakukan demi kemaslahatan rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun