PENDAHULUAN
Di bawah hukum Islam, perzinahan adalah ketika seorang pria dan seorang wanita berhubungan seks tanpa kontrak pernikahan yang sah. Hubungan tersebut terlepas dari apakah orang yang melakukannya adalah wanita muda, anak kecil, pasangan atau janda, istri atau pria lajang.
Larangan zina dalam hukum Islam sudah sangat jelas. Larangan bijak berupa tindakan preventif mencegah untuk tidak mendekati zina bahkan sebelum perbuatan itu dilakukan. Perintah Allah SWT menegaskanb: dan janganlah kamu mendekati zina, sungguh zina itu suatu perbuatan yang sangat keji, dan suatu jalan yang buruk. ( QS: Al-Isra 32) Segala sesuatu yang dapat menimbulkan zina adalah haram hukumnya dalam ayat ini.
Zina biasanya dilakukan Setelah melakukan perbuatan seperti menyentuh, berpelukan, berciuman, dan sebagainya, zina adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang terkutuk. Oleh karena itu, manusia normal yang menyadari bahwa dirinya adalah makhluk terindah dan paling mulia yang Allah ciptakan, niscaya akan percaya bahwa hubungan seks bebas adalah perilaku binatang.
Perzinahan, yang berujung pada kehamilan di luar nikah, sering terjadi akibat pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan. kecemasan di tengah-tengah masyarakat, khususnya di kalangan anggota keluarga dan orang tua yang bersangkutan.
Dari segi sosiologis, karena malu, orang tua yang mempunyai putri yang hamil di luar nikah berusaha sekuat tenaga agar cucunya punya ayah. Mereka berusaha menikahkan putri mereka dengan seorang pria yang menghamili maupun bukan. Sangat penting untuk membicarakan praktik semacam ini karena memang terjadi, sehingga kita dapat melihat bagaimana hukum Islam memandang masalah ini.
PEMBAHASAN
1. Alasan pernikahan Wanita hamil terjadi dalam mayarakat
Kejadian saat ini banyak wanita yang hamil karena zina. Salah satu alasannya karena factor terlalu bebasnya pergaulan antar pria dan wanita sehingga melakukan perzinan tanpa memikirkan konsekuensinya. Di bawah hukum Islam, zina adalah hukuman karena berhubungan seks di luar nikah. Dalam konteks inilah banyak perempuan hamil yang mulai menikah, baik oleh laki-laki yang melahirkannya maupun oleh laki-laki yang tidak melahirkan.
Karena baik pihak perempuan maupun orang tuanya malu dengan apa yang menimpa perempuan tersebut, maka mereka berusaha menutupi rasa malu tersebut dengan menikahkan perempuan tersebut secepatnya, khususnya saat ia hamil, agar masyarakat tidak mencemooh perempuan tersebut jika melahirkan. tanpa sosok suami.
Sebenarnya, apa yang akan terjadi pada seorang anak jika perempuan tersebut menikah dengan laki-laki yang tidak melahirkannya? Bagaimana perasaannya ketika menyadari bahwa sosok ayah di hadapannya bukanlah benar-benar ayahnya? Hal-hal seperti inilah yang nantinya membuat sang anak kecewa, mengakibatkan kurangnya kepercayaan kepada orang tuanya. Akibatnya, anak bisa saja menghindari orang tuanya, kabur dari rumah, dan tidak bisa mengontrol interaksi sosialnya akibat kebohongan yang selama ini disembunyikan darinya. Hal lain yang juga berkontribusi terhadap terulangnya fase zina adalah maraknya praktik menikahi wanita hamil.
2. Yang menjadi penyebab terjadi penikahan Wanita hamil
Dapat ditekankan bahwa masyarakat memiliki karakter budaya yang khas. Dengan keunikannya Kemudahan masyarakat mudah sekali dipengaruhi oleh budaya yang baru. Dan sedikit sekali budaya lama yang masih dipengang
Mayoritas pasangan yang menikahi wanita hamil melakukannya karena perzinahan. Perselingkuhan ini sudah menjadi hal biasa akhir-akhir ini, terutama ketika tidak sulit untuk mengakui budaya asing yang membebaskan perselingkuhan. Contohnya termasuk kehidupan malam yang berkembang pesat, penggunaan narkoba, dan budaya seks bebas. Tidak dapat dipungkiri bahwa kasus-kasus yang dihadapi oleh generasi muda selama ini tidak lepas dari ketiga faktor tersebut.
Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap kedudukan hukum Islam sebagai pedoman perilaku hidup, di sisi lain, menjadi faktor ketidak pahaman masyarakat terhadap sumber-sumber hukum Islam. Meskipun hal ini tidak terjadi di semua masyarakat, banyak orang sebenarnya memiliki pemahaman yang sempit tentang apa artinya mengikuti hukum Islam. Daripada meneliti dan mempelajari hukum Islam dari sumber-sumber hukum Islam yang lebih signifikan, seperti Al-Qur'an dan al-Hadits, cukup banyak orang yang lebih suka mengikuti setiap kata yang diucapkan oleh ulama atau merujuk pada buku-buku yang ditulis oleh ulama. Pada saat KHI berdiri, praktik inipun sudah ada. Selain itu, kenaikan ini menunjukkan bahwa perkawinan ibu hamil akibat perzinahan tidak lagi tabu bahkan telah menumbuhkan asumsi keadilan di masyarakat.
3. Pandangan para ulama mengenai pernikahan wanita hamila
a) Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal
Dikatakan bahwa laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh menikahi wanita yang sedang hamil kecuali wanita tersebut telah melahirkan dan masa 'iddahnya telah berakhir. Selain itu, Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi: si wanita harus mengakui dosa zinanya. Dia tidak bisa menikah lagi jika dia tidak memaafkan dirinya sendiri karena perzinahan.
b) Pendapat Imam Asy-Syafi'i
yang menjelaskan bahwa dia boleh menikah dengan laki-laki yang sedang hamil maupun tidak. tanpa perlu menunggu kelahiran anak. Mazhab Syafi'i mengatakan bahwa wanita boleh menikah meskipun sedang hamil asalkan pernikahan tersebut memenuhi syarat nikah dan ada ijab qabul. Jika seorang wanita hamil karena zina, dia tidak diwajibkan oleh hukum untuk 'iddah, dan tidak apa-apa untuk melakukan hubungan seksual dengannya.
c. Menurut pendapat Imam Hanafiyah
seorang wanita hamil boleh menikah dengan laki-laki jika laki-laki itu yang menghamilinya. Akan tetapi, jika laki-laki yang dinikahinya bukan yang menghamilinya, maka ia tidak dapat berhubungan badan dengan suaminya sebelum anak yang dikandungnya lahir.
d. Pendapat Imam Abu Hanifah
yang menjelaskan bahwa hukumnya boleh jika laki-laki yang menikahi wanita hamil adalah juga laki-laki yang menghamilinya. Sementara itu, jika laki-laki yang menikahinya bukan yang menghamilinya, maka laki-laki itu tidak bisa menyentuhnya sampai wanita tersebut melahirkan.
e. Pendapat Imam An-Nawawi
Menurut Imam An-Nawawi, wanita yang hamil karena zina boleh dinikahi. Para ulama ini berpendapat bahwa wanita yang hamil akibat zina tidak tunduk pada ketentuan hukum pernikahan yang sah secara syariat. Sedangkan tujuan iddah adalah untuk menghormati sperma dan menjaga kesucian nasab. Namun, dalam hal ini, sperma pezina laki-laki tidak dihargai, dan nasabnya dengan ibunya ditetapkan dengan kehamilan yang terjadi di luar nikah.
4. Tinjauan secara sosiologis, religious dan yuridis pernikahan wanita hamil
Dalam kajian sosiologis perkawinan wanita hamil, perkawinan tanpa kesiapan atau MBA dapat berdampak pada perkembangan keluarga yang harmonis berupa munculnya persoalan kemiskinan. Hal ini juga dapat berdampak pada kesehatan mental ibu dan anak akibat kurangnya pengetahuan tentang kesehatan. Biasanya, wanita hamil ini menikah dengan anak di bawah umur, yang menyebabkan tingginya angka putus sekolah, berkurangnya interaksi dengan teman sebaya, terbatasnya kesempatan untuk mencari pekerjaan, dan meningkatnya risiko tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Tinjauan religius Menurut hukum Islam, pernikahan disebut sebagai "mitsaaqan gholiizhan," yang diterjemahkan menjadi "akad yang sangat kuat untuk mematuhi perintah Allah dan melaksanakannya." Oleh karena itu, perkawinan lebih dari sekedar pengesahan hidup bersama antara laki-laki dan perempuan, itu juga merupakan ikatan lahir dan batin yang memupuk kehidupan keluarga. Perkawinan dianggap sah menurut hukum Islam jika dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat-syarat hukum Islam. Suatu perbuatan hukum ditentukan oleh rukun-rukun dan syarat-syaratnya, terutama yang berkaitan dengan sah atau tidaknya suatu perbuatan.
Tinjauan yuridis, Perbuatan mengawinkan wanita yang hamil di luar nikah, baik oleh laki-laki yang melahirkannya maupun oleh laki-laki yang tidak melahirkannya, dikenal dengan perkawinan hamil. Dengan kata lain, perkawinan wanita hamil adalah perkawinan yang terjadi sebelum adanya sebab zina yang mengakibatkan kehamilan di luar perkawinan yang sah. Menurut Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, "perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan", perkawinan wanita hamil hanya diatur secara implisit. atau dengan kata lain, ketentuan perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak berlaku bagi wanita hamil yang tidak menikah. Artinya, suatu perkawinan dianggap sah apabila semua syarat dan rukun hukum agama terpenuhi.
5. yang harus dilakukan oleh generasi muda atau pasangan muda dalam membangun keluarga yang sesuai dengan regulasi dan hukum agama islam
a) Menanamkan nilai-nilai keimanan dalam keluarga agar selalu mengikuti ajaran agama.
b) Berikan contoh mengenai akhlak, terutama dengan mencontohkan perilaku yang baik, khususnya dari orang tua ke anak-anaknya. Karakter yang terpuji ini sangat penting bagi keluarga sakinah untuk menjadi teladan bagi keluarga lainnya.
c) Memberikan kesadaran kepada pasangan muda akan peran, tanggung jawab, dan hak mereka. Hal ini dimaksudkan agar suami dan istri dapat melaksanakan tanggung jawabnya secara wajar dan adil.
d) Tanamkan keharmonisan dalam pernikahan antar pasangan agar selalu hidup bahagia bersama.
e) Menanamkan gaya hidup sederhana dan hemat, dengan membuat perencanaan penggunaan uang yang teratur.
f) Tetapkan tujuan yang baik untuk membangun rumah yang baik.
g) Menjunjung tinggi asas perkawinan
h) Memenuhi hak dan kewajiban masing-masing dan Selalu mengingatkan satu sama lain untuk beribadah kepada Allah
i) Ciptakan lingkungan yang damai dan harmonis. Dan menanamkan nilai-nilai akidah dalam keluarga, agar senantiasa taat dalam memahami agama.
Disusun Oleh HKI 4E:
1. Ahmad Husain (212121182)Â
2. Muhammad Abdul Latief (212121168)Â
3. Muhammad Naufal (212121175)Â
4. Putri Cahya Permatasari (212121160)Â
5. Ismia Hanny Kharomah (212121153)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H