Beberapa penelitian mengenai administrasi pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama pernah dilakukan. Cahyono (2008) misalnya, yang berdasarkan penelitiannya di KUA Serpong menemukan, bahwa masih banyak warga yang tidak mau berurusan langsung dengan KUA. Hal ini disebabkan karena ketidakjelasan prosedur pelayanan pencatatan perkawinan yang diterapkan oleh KUA. Sebagian besar dari warga, tidak mengetahui langkah-langkah pendaftaran pencatatan perkawinan dan besaran biaya yang harus dikeluarkan, terutama jika melangsungkan perkawinan di luar KUA. Hal ini karena warga tidak mengetahui atau belum diberitahu oleh pihak KUA besaran biaya yang harus dikeluarkan. Hal-hal tersebut kemudian menimbulkan ketidakpuasan di pihak warga masyarakat terhadap pelayanan pencatatan perkawinan di KUA. (Cahyono, 2008)
Kementerian Agama sendiri juga tidak menutup mata dan telinga terkait keresahan yang dihadapi oleh warga masyarakat, terkait ketidakjelasan pelayanan yang diberikan oleh KUA. Pada tahun 2008 Badan Litbang dan Diklat Agama dan Keagamaan juga pernah melakukan penelitian mengenai unit cost untuk melakukan pencatatan perkawinan di KUA.
Ruhana, (2008) yang melakukan penelitian di wilayah kerja KUA Kecamatan Menteng misalnya, menemukan fakta bahwa besaran biaya pencatatan perkawinan yang dikeluarkan masyarakat bervariasi, mulai dari Rp. 30.000,- hingga Rp. 1.000.000.-. Bervariasinya besaran biaya pencatatan perkawinan yang dibebankan kepada masyarakat, selain karena keterbatasan biaya yang diperoleh KUA untuk operasional kantor dan penghulu, juga karena perilaku masyarakat yang menuruti keinginan mereka mencatatkan perkawinan di luar KUA dan bukan pada jam kerja KUA, dan menggunakan jasa perantara atau calo pada saat melakukan pendaftaran pencatatan perkawinan. Temuan yang sama juga dihasilkan penelitian Abidin (2008) yang meneliti di wilayah kerja KUA Kelapa Gading. Namun hingga kini, tidak ada tindak lanjut atau perubahan yang cukup signifikan terkait carut marutnya biaya pencatatan perkawinan di KUA.
Besaran biaya pencatatan pernikahan sendiri, sebagai salah satu bentuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP), telah diatur oleh Pemerintah dalam Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2004, yaitu sebesar Rp. 30.000,-. Besaran biaya ini, dikembalikan lagi kepada KUA sebagai anggaran operasional. Jika mengacu pada Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. PER-32/PB/2009 Pasal 2 ayat 2, maka paling besar Kementerian Agama melalui Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota dapat menarik kembali adalah 80% dari total keseluruhan jumlah dana yang diterima dari sekian n peristiwa nikah. Dari dana kembali yang sebesar itu maka, sesuai Peraturan Menteri Agama No. 71 tahun 2009, KUA hanya menerima paling besar 80%, karena harus dibagi dua dengan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.
Jika mengacu pada kondisi perekonomian saat ini dan telah terjadinya beberapa kali kenaikan bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik, maka besaran biaya tersebut tentunya tidak memadai untuk biaya operasional KUA. Namun demikian, apakah dengan kondisi yang pelik tersebut kemudian masyarakat yang dilimpahkan beban untuk menanggung itu semua? Berdasarkan penjelasan di atas, maka penelitian yang benar-benar memfokuskan kajian pada pencarian besaran ideal biaya pencatatan perkawinan di KUA untuk saat ini perlu dilakukan.
1.2. Permasalahan Penelitian
Permasalahan yang hendak diteliti dalam penelitian ini dibatasai pada;
1. Dasar hukum KUA dalam menetapkan besaran biaya pencatatan perkawinan dan besaran biaya riil pencatatan perkawinan yang ditetapkan pemerintah
2. Besaran biaya faktual yang dikeluarkan masyarakat pada saat melakukan pencatatan perkawinan
3. Penyebab terjadinya pembengkakan biaya administrasi pernikahan di KUA yang umum dialami masyarakat dan berapa biaya pernikahan yang ideal di KUA
1.3. Tujuan Penelitian