Terdapat banyak acuan yang bisa dipergunakan untuk menentukan besaran biaya pelayanan publik. Penentuan harga pelayanan yang paling sederhana biasanya hanya memerhitungkan besaran biaya untuk menyediakan pelayanan (operasional). (Rizal & Rahmansyah, 2004) Meski paling sederhana sekalipun, acuan ini mengalami banyak kendala dalam penerapannya. Kendala yang paling utama adalah pertama, sulit sekali menentukan secara tepat berapa keseluruhan biaya pelayanan (full cost) dalam menyediakan pelayanan publik. Kedua, sulit untuk menentukan besaran biaya pelayanan karena konsumsi masing-masing individu terhadap pelayanan berbeda. Sehingga pada akhirnya akan terjadi perbedaan besaran biaya. Ketiga, cara ini mengabaikan kemampuan ekonomi masyarakat tidak mampu. Dan keempat, sulit menentukan apakah besaran biaya yang dibebankan kepada masyarakat hanya biaya operasional (current operation cost) atau juga masyarakat menanggung biaya modal (capital cost). (Rizal & Rahmansyah, 2004)
Acuan lain adalah dengan menggunakan model two-part tarrifs; yaitu mengombinasikan model fixed charge, yaitu pembebanan biaya yang mengacu beban biaya paling rendah yang hanya untuk menutupi biaya infrastruktur (overhead) dan konsumsi (variable charge) dengan model peak-load tarrifs, pembebanan biaya berdasarkan tarif tertinggi setelah menghitung marginal cost atau biaya kegiatan atau peralatan penunjang. (Rizal & Rahmansyah, 2004)
Selain kedua acuan penetapan harga di atas, Kotler (1997, dalam Cahyono, 2008) menjelaskan, bahwa tarif harga pelayanan publik juga dapat ditentukan dengan menghitung empat faktor penting berikut;
1. Moneter, adalah harga pelayanan atau ongkos menuju ke pelayanan
2. Waktu, adalah lama waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan pelayanan dan lamanya waktu pelayanan
3. Tenaga, adalah tingkat kelelahan saat menunggu mendapat pelayanan dan selama mendapatkan pelayanan, dan
4. Psikis, adalah tingkat kesulitan dalam memenuhi persyaratan pelayanan dan tingkat kesulitan dalam menjalankan prosedur pelayanan
Penetapan harga yang dilakukan oleh pemerintah, lanjut Kotler (1997), juga harus memertimbangkan keadaan sosial ekonomi masyarakat yang menggunakan jasa. (Cahyono, 2010) Selain itu, pertimbangan kondisi geografis juga perlu diperhitungkan dalam menetapkan besaran biaya pelayanan publik yang akan dibebankan kepada masyarakat. (Aaberge, et al., 2008)
1. ADMINISTRASI PENCATATAN PERKAWINAN DI PROPINSI DKI JAKARTA
1.1. Gambaran Umum Propinsi DKI Jakarta
Jakarta terdiri dari dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi 6°12' Lintang Selatan dan 106°48' Bujur Timur. Berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 1227 Tahun 1989, luas wilayah Provinsi DKI Jakarta adalah 7.659,02 km2, terdiri dari daratan seluas 661,52 km2, termasuk 110 pulau di Kepulauan Seribu, dan lautan seluas 6.997,50 km2. Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah kotamadya dan satu kabupaten administratif, yakni: Kotamadya Jakarta Pusat dengan luas 47,90 km2, Jakarta Utara dengan luas 142,20 km2, Jakarta Barat dengan luas 126,15 km2, Jakarta Selatan dengan luas 145,73 km2, dan Kotamadya Jakarta Timur dengan luas 187,73 km2, serta Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu dengan luas 11,81 km2. Kondisi geografis yang terdiri dari daratan dan kepualauan seperti ini membuat Propinsi DKI Jakarta menjadi daerah yang sangat unik.