Mohon tunggu...
Islah oodi
Islah oodi Mohon Tunggu... Penulis - Wong Ndeso

Penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Malam

21 Februari 2021   18:05 Diperbarui: 21 Februari 2021   18:17 1176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar:Pixabay.

Seperti biasa, sore itu aku pulang dari kantor kerjaan melewati taman kota S. Sore kali ini di taman berbeda, ada pemandangan yang tak biasa aku lihat. Seorang perempuan duduk di bangku taman sendirian menatap temaram senja yang perlahan sirna tergulung gelapnya mayapada. 

Siapa perempuan itu? Sedang apakah ia sendiri duduk di bangku taman di senja hari seperti ini? Mobilku tetap terus melaju. Taman terlewati dan pandangan tentang perempuan itu terganti dengan ruko-ruko pinggir jalan yang telah tutup.

Aku tak begitu peduli dengan perempuan yang duduk di bangku taman sendiri. Namun, rasa penasaran kini hadir dalam hati saat saban hari ketika kulewati taman, perempuan itu duduk di bangku yang sama, sendiri dan entah apa yang ia nanti. Pernah sesekali kuhentikan mobilku di sisi jalan taman dan aku hampiri seorang abang-abang penjual jajanan yang sedang mangka di tepi taman.

"Bang, bolehkah aku bertanya?"

"Boleh," jawab Abang penjual jajanan.

"Anda tahu siapa perempuan itu yang duduk di tengah taman samping tanaman bunga-bunga?" Tanyaku sambil telunjuk menunjuk perempuan yang aku maksud.

"Oh, dia. Memang sudah lama ia sering duduk sendiri hingga larut malam di sana. Itu permpuan malam, Mas." Jawab abang penjual jajanan.
"Maksudnya perempuan penjual diri, Bang?"

"Iya, bisa dibilang begitu. Tapi, aku sendiri kurang tahu siapa dia, hanya saja memang setiap hari ia terus duduk di sana hingga larut malam sediri."

Informasi yang aku peroleh dari abang-abang penjual jajanan tak membuat aku puas. Aku tak percaya jika perempuan yang berada di taman itu sedang mangkal menanti para lelaki hidung belang. Tapi, untuk apa ia setiap hari di sana? Entah. Mungkin jika aku langsung bertanya pada perempuan itu, rasa penasaran yang ada dalam jiwaku dapat terobati. Baiklah, aku akan bertanya langsung saja. Kulangkahkan kaki ini mendekati bangku yang ia duduki.

"Maaf, Mba, bolehkah aku duduk di sini?"

"Oh, silahkan, Mas." Perempuan itu mempersilahkan aku duduk di sampingnya. Aku baru tahu ternyata saat kupandang wajahnya lebih dekat ia berwajah cantik, ditambah lagi dengan gigi gingsulnya yang tampak saat tadi ia tersenyum tipis.

"Mba, setiap hari saya lihat kamu duduk di sini." Basa-basi kuawali obrolan sore ini di bangku taman berdua bersama perempuan yang telah membuatku terus penasaran.

"Bukannya kamu telah bertanya pada abang-abang penjual jajanan di seberang jalan itu? Seharusnya kamu sudah tahu untuk apa aku saban hari duduk di bangku taman ini."

"Bagaimana kamu tahu aku bertanya tentang dirimu pada abang-abang itu?" tanyaku penasaran.

"Aku hanya menduga." Singkat ia menjawab.

"Tapi, dugaanmu benar adanya."

"Terus untuk apa kamu bertanya sesuatu yang telah kamu tahu?"

Aku terdiam tak mampu menjawab pertanyaannya. Sebenarnya bisa saja menjawab, namun hati merasa menolak. Aku tak mungkin mengatakan bahwa informasi yang kuperoleh dari abang-abang penjual jajanan bahwa kamu itu perempuan malam. Ah, rasanya tak etis. Kutinggalkan dia, perempuan itu yang duduk di bangku taman sendiri.

Senja kian memucat. Warna keemesan bercampur jingga pada cakrawala kian pula luntur dan lenyap berganti selimut malam yang perlahan terbentang. Aku kembali pulang ke rumah.

Keesokan hari, seperti biasa aku berangkat kerja mengendarai mobil pribadi melewati taman kota waktu pagi, tak ada dia perempuan yang membuatku terus penasaran. Perempuan itu hanya datang ke taman saat sore hari, duduk, terus duduk, dan duduk hingga larut malam. Pantas saja orang-orang yang sering di sekitar taman menyebut perempuan itu dengan sebutan perempuan malam. Tapi, aku masih tak percaya sepenuhnya bahwa perempuan yang tempo hari berbincang-bincang sebangku bersamaku adalah perempuan malam yang menjual dirinya. Untuk mengobati rasa penasaranku biarlah nanti aku akan duduk semalaman di taman.

Sore kali ini aku pulang tak mengendarai mobil sendiri. Mobil aku biarka terparkir di pelataran kantor dan pulang naik kendaraan umum. Lagipula aku tak langsung pulang ke rumah, aku niat untuk mampir ke taman kota. Saat aku sampai taman, perempuan itu telah duduk di bangku yang sama seperti biasanya. Lalu, aku mencari tempat duduk lain yang sekiranya dapat untuk memata-matai perempuan malam itu.

Tak kulihat hal istimewa darinya kecuali ia hanya termenung menghadap langit barat menyaksikan senja yang perlahan lenyap. Namun, saat azan Magrib berkumandang perempuan itu bangkit dari tempat duduknya.

Rasa penasaran baru kini hadir masuk dalam relung kalbu. Hendak pergi kemana perempuan malam itu? Apakah ia akan melaksanakan salat? Rasanya tidak mungkin. Tapi, kata orang-orang perempuan itu tak akan pergi sebelum larut malam? Ah, kata orang, buktinya belum sampai malam pun ia sudah pulang.

Aku masih termenung di bangku taman kota sambil mendengarkan kumandang ikamah tanda salat akan segera dilaksanakan. Entah sudah berapa tahun keningku ini tak menyentuh sajadah luruh sujud pada-Nya. Tak terasa butir bening menganak sungai di netra. Toh, untuk apa aku penasaran dengan perempuan malam itu dan menduga-duga ia sebagai perempuan jalang berlumpur dosa, sedang diriku pun telah lama tak menjalankan perinta-Nya.

Sekitar setengah jam setelah ikamah saat aku beranjak kembali ke rumah, perempuan itu datang kembali dan duduk pada bangku yang sama seperti biasanya. Ia kembali menghentikan niat hatiku saat tadi beranjakk pergi. Sebenarnya ia baru dari mana? Jika benar ia perempun malam apakah mungkin masih menyempatkan diri bersujud pada Tuhan? Ah, entahlah. Aku akan terus duduk di bangku ini hingga tahu dan melihat sendiri bahwa perempuan cantik bergigi gingsul itu benar seorang perempuan malam atau bukan.

Waktu pelan terus merayap. Kini azan Isya mulai berkumandang dari masjid-masjid kota. Perempuan itu pun beranjak dari tempat duduknya dan berlalu pergi. Daripada aku terus penasaran lebih baik aku ikuti dari belakang kemana ia pergi. Ternyata perempuan itu pergi ke masjid jauh di ujung jalan. Walaupun di samping taman juga ada masjid, tapi mengapa ia memilih masjid yang jauh? Aku berdiri di bawah pohon palem yang tumbuh di halaman masjid saat perempuan itu masuk. Terlihat kala salat dimulai ia pun turut berjamaah salat.

Kini, dugaanku bahwa ia perempuan malam yang menjual dirinya perlahan sirna. Mungkin semalaman ia di taman karena sedang bertafakur memikirkan keagungan alam ciptaan-Nya atau sekedar menghirup udara segar. Aku kembali ke taman dan duduk pada bangku yang sama seperti tadi. Dari jauh perempuan itu kembali. Aku kira ia akan duduk di bangku yang sama seperti biasa, ternyata ia malah menghampiriku.

"Masih penasaran dengankuu?"

Tak kujawab pertanyaanya. Aku hanya menggelengkan kepala dan terdiam tanpa bersuara sambil tertunduk. Ada rasa malu dalam kalbu, sungkan dan beberapa rasa yang tak bisa aku ungkapkan.

"Kamu sudah tak penasaran denganku? Aku akan membuat kamu terus penasaran denganku. Mari ikut aku." Aku kaget tak karuan saat ia pegang tanganku dan menuntunku tanpa ada perlawanan seperti menunutun karbau yang dicucuk hidungnya. Ternyata ia membawaku di bangku biasa yang ia duduki.

"Duduklah di sini bersamaku," tawarnya. Aku tak menjawab dengan perkataan, namun ragaku menuruti apa yang ia mau. Aku duduk di sampungnya. Ia kembali terdiam menatap pemandangan alam malam taman kota. Aku pun turut terdiam tak berani sekedar menyapanya. Malam semakin larut. Beberapa orang-orang yang sedari tadi berkumpul di taman satu persatu kembali ke rumah masing-masing. Hingga tengah malam kini hanya ada kami berdua dalam taman.

"Aku telah di sampingmu. Tak inginkah kamu bertanya sesuatu?" Tanyanya.

"Sia-sia saja," jawabku singkat.

"Sia-sia bagaiaman?"

"Sia-sia aku bertanya padamu, toh, itu tak akan membuat rasa penasaranku hilang sebab kamu sendiri yang tetap membuat aku penasaran."

Ia malah tertawa. Saat ia tertawa kutatap wajahnya. "Oh, Tuhan cantik nian perempuan ini," batinku.

"Kamu tahu kenapa terus penasaran denganku?"

Aku menggeleng kepala.

"Karena kamu jatuh cinta padaku." Ia jawab sendiri disusul tawanya yang pecah kembali. Aku tatap wajahnya lagi saat ia masih tertawa. Benar! Hatiku merasakan sesuatu yang asing. Ada rasa kenyamanan saat di dekatnya dan ada rasa kebahagiaan saat melihat ia tetawa bahagia, sebuah rasa yang selama ini tak pernah kujumapi dalam hati.

"Dan rasa penasaranmu tak akan terobati kecuali kamu dapatkan dan miliki ia yang membuatmu penasaran. Itulah cinta," pungkasnya.

Aku tetap terdiam. Mungkin ia benar segala rasa penasaranku selama ini tak lain karena ada rasa cinta yang kurasa. Jika tanpa rasa cinta mungkin tak sampai aku memata-matainya hingga sampai seperti ini.

"Tetaplah di sini. Tunggulah, akan ada sesuatu yang membuatmu tambah penasaran dan terus bertambah."

Kembali diam. Suasana taman semakin sepi. Tak ada lagi lalu lalang orang-orang yang terlihat di sekitar sini. Melihat jam tangan yang melingkar di pergelanganku ternyata telah menunjukan jam setengah dua dini hari. Lalu, apa lagi yang harus ditunggu? Segala pertanyaanku seketika sirna saat dari jauh tampak perempuan tua yang mendekati kami. Perempuan itu mendekati , semakin dekat dan tepat kini berdiri di depan kami.

"Maaf telat."

"Tidak apa. Ini bawa, semoga bisa membantu," ucap perempuan yang duduk di sampingku sambil tangannya menyodorkan amplop yang entah apa isinya. Seketika perempuan tua tadi berbalik badan dan berkali-kali menciumi tangan perempun yang duduk di sampingku, lalu berlalu pergi.

"Siapa dia?" Tanyaku.

"Aku tak akan memberi tahu kamu, agar kamu terus penasaran denganku."
Ia menatapku sambil tersenyum. Aku tertunduk tak sanggup bertatap mata.

"Kenali aku sebagai wanita malam. Apa yang akan kamu dapati dari malam? mungkin tak ada, kecuali hanya petang. Namun, lebih fokuskan pandanganmu pada malam dan lihatah jauh nun di atas sana akan kamu temui jutaan keindahan yang tak tampak di kala siang. Karena aku ... wanita malam."

Aku menyimak betul apa yang ia ucapkan dan ucapannya terhenti saat sebuah mobil di samping jalan taman terhenti serta dari dalam mobil keluar beberapa gadis-gadis remaja berbusana rapi berjilbab seragam warna putih. Salah satu dari meraka berakata, "Ayo, Ning, pulang. Ummi di ndalem[1] nyuruh kami menyusul." Perempuan malam itu pun bangkit dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan aku sendiri. 

Tapi, tunggu dulu. Kenapa gadis-gadis berseragam itu memanggil perempuan malam dengan sebutan Ning? Bukannya sebutan Ning itu biasa berlaku untuk putri seorang kyai yang memiliki pondok pesantren? Atau jangan-jangan ia? Ah, aku benar-benar sekarat dalam rasa penasaran dengannya.

Catatan:
1.Ndalem adalah istilah khusus bagi santri untuk menyebut kediaman pengasuh pesantrennya.

Cilacap:21-Februari-2k21.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun