"Tidak apa. Ini bawa, semoga bisa membantu," ucap perempuan yang duduk di sampingku sambil tangannya menyodorkan amplop yang entah apa isinya. Seketika perempuan tua tadi berbalik badan dan berkali-kali menciumi tangan perempun yang duduk di sampingku, lalu berlalu pergi.
"Siapa dia?" Tanyaku.
"Aku tak akan memberi tahu kamu, agar kamu terus penasaran denganku."
Ia menatapku sambil tersenyum. Aku tertunduk tak sanggup bertatap mata.
"Kenali aku sebagai wanita malam. Apa yang akan kamu dapati dari malam? mungkin tak ada, kecuali hanya petang. Namun, lebih fokuskan pandanganmu pada malam dan lihatah jauh nun di atas sana akan kamu temui jutaan keindahan yang tak tampak di kala siang. Karena aku ... wanita malam."
Aku menyimak betul apa yang ia ucapkan dan ucapannya terhenti saat sebuah mobil di samping jalan taman terhenti serta dari dalam mobil keluar beberapa gadis-gadis remaja berbusana rapi berjilbab seragam warna putih. Salah satu dari meraka berakata, "Ayo, Ning, pulang. Ummi di ndalem[1] nyuruh kami menyusul." Perempuan malam itu pun bangkit dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan aku sendiri.Â
Tapi, tunggu dulu. Kenapa gadis-gadis berseragam itu memanggil perempuan malam dengan sebutan Ning? Bukannya sebutan Ning itu biasa berlaku untuk putri seorang kyai yang memiliki pondok pesantren? Atau jangan-jangan ia? Ah, aku benar-benar sekarat dalam rasa penasaran dengannya.
Catatan:
1.Ndalem adalah istilah khusus bagi santri untuk menyebut kediaman pengasuh pesantrennya.
Cilacap:21-Februari-2k21.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H