Mohon tunggu...
Islah oodi
Islah oodi Mohon Tunggu... Penulis - Wong Ndeso

Penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelarian

17 Februari 2021   20:06 Diperbarui: 17 Februari 2021   20:15 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Diam di tempat!" Baron terkejut setengah mati. Sekitar jarak dua puluh meter dari dirinya yang kini sedang melakukan transaksi dengan pembeli barang haram, beberapa orang berseragam sudah memergoki. Tanpa aba-aba Baron berlari sekuat tenaga kabur dari tangkapan polisi. Ia tak peduli dengan si pembeli yang mungkin kini ditangkap dan sedang digelandang bak hewan, yang ada dalam pikiran Baron hanya bagaimana agar ia selamat."Berhenti!" Teriakan dari jauh terdengar bersamaan dengan lepasnya peluru ke udara tanda peringatan. Tapi Baron tetap terus berlari menyusuri gang perumahan sempit yang gelap.

"Bangsat! Sial ... Tolong aku, Tuhan." Baron menggerutu kesal. Ia tetap terus berlari. Beberapa kali suara tembakan peringatan terus terdengar jauh dari belakang. Baron tak peduli. Ia terus berlari ... Terus dan terus berlari. Terngiang-ngiang dalam benaknya sang istri yang kini mengandung tua, mungkin beberapa hari lagi istrinya melahirkan dan ia harus punya uang untuk biaya melahirkan istrinya.

"Jika aku selamat, Tuhan, aku tak akan melakukan pekerjaan haram ini lagi." Ia menggerutu kembali. Andai satu bulan yang lalu ia dapatkan pekerjaan, mungkin ia tak akan terjerembap pada perdagangan barang haram. Beberapa kali Baron mencari pekerjaan tak juga ada yang mau menerima menggunakan jasanya.

Pernah Baron bertanya kerja sebagai kuli bangunan pada temannya, si Romy. Tapi katanya proyek lagi sepi. Ada juga lowongan kerja yang Baron cari lewat grup-grup di media sosial, tapi persyaratannya minimal harus lulus SMA atau sederajat. Sedang ia hanya lulusan Sekolah Dasar, jelas tidak akan diterima. Ada yang tidak dengan persyaratan lulusan sekolah, tapi di luar pulau. Tak mungkin ia tinggalkan istrinya yang sedang mengandung tua ditinggal merantau jauh.

Tenaga Baron terkuras. Kakinya yang sedari tadi berlari mulai terasa lemas. Jauh dari belakang suara teriakan polisi masih terus mengikuti. Baron membelokkan larinya ke gang sempit yang lain. Aduh! Apes ... Ternyata buntu. Hanya ada bangunan rumah yang belum selesai dikerjakan, lebih baik sembunyi di situ, mungkin aman.

Kini Baron telah masuk. Matanya jelalatan ke sana-kemari mencari tempat sembunyi, "Tak ada yang strategis," pikirnya. Lalu ia naik ke loteng bagian atas yang masih berupa dak beton bersembunyi di balik tumpukan material bangunan. Suasana gelap sebab memang tak dipasangi lampu. Mata Baron melihat ke langit, terlihat kelap-kelip cahaya bintang menghiasi cakrawala malam.

Baron ngos-ngosan, napasnya tak karuan. Ada rasa takut, kesal, lelah bercampur dalam diri. Benar-benar kini ia menyesal. Jika selamat, ia akan menemui Bonang bandar barang haram sebagai juragannya dan pekerjaan laknat ini akan ia sudahi. Hasil uang pekerjaan sebagai pengedar barang haram nantinya lebih baik untuk pulang kampung dan untuk biaya melahirkan istrinya.

"Andai aku dapat memutar waktu, aku tak akan mau mencari uang dengan cara seperti ini," keluhnya dalam batin. Tapi bagaimana dengan kebutuhan keluarga? Mau meminjam uang pada si Parno tetangga kampung yang sama-sama merantau pun tak bisa sebab tiga bulan yang lalu ia sudah berhutang untuk membayar kontrakan juga Parno hanya bekerja sebagai kuli bangunan sama seperti dirinya. Mau pulang kampung juga butuh ongkos perjalanan.
***
"Udahlah daripada bingung lebih baik kerja sama dengan saya saja," ucap Bonang kala itu.

"Tapi aku takut. Nanti ke tangkap polisi."

"Makanya hati-hati. Lihat saja si Brodin udah hampir satu tahun mengedarkan barang-barangku. Buktinya aman-aman saja kan? Untungnya gede loh" Si Bonang meyakinkan.

"Berapa untungnya?" Tanya Baron.

"Satu kali transaksi cukup untuk biaya melahirkan istrimu."

Baron tergiur dengan iming-iming untung besar. Hanya cukup sebagai pengedar--satu kali transaksi bisa mengantongi uang biaya melahirkan istri. Walaupun awalnya Baron ragu, tapi mengingat kebutuhan mau tak mau akhirnya ia lakoni juga pekerjaan haram itu.
***
"Kalian bertiga kejar ke sana! Kau ... Kau dan kau ikut saya ke gang sini," Pekik suara polisi terdengar di gang perumahan memberi instruksi pada rekan polisi yang lain. Suara deru sepatu semakin terdengar jelas.

"Jalan buntu, Ndan," ucap salah satu polisi.

"Bagaimana ini? Kita kembali saja atau apa, Ndan?" Suara yang lain menanggapi. Sepertinya polisi-polisi itu kebingungan. Semoga saja mereka kembali.

"Tunggu! Lihat itu ada bangunan belum jadi. Ayo, periksa. Mungkin dia di sana."

Tubuh Baron menggigil ketakutan. Keringat dingin semakin mengucur deras membasahi kaos oblong yang ia kenakan. Tangannya gemetar ketakutan. Baron pegang erat-erat tas kecil yang di dalamnya berisi barang-barang haram dan uang hasil transaksi. Deru suara sepatu semakin jelas terdengar mendekati bangunan tempat ia bersembunyi. Dan polisi-polisi kini telah berada di ruang bawah mencari dirinya.

"Bagaimana?"

"Nihil, Ndan. Tapi ada tangga menuju ke loteng atas ini, Ndan."

"Cepat cek!" Pekik lelaki yang disebut komandan.

Suara langkah kaki mulai naik ke atas bangunan. Celorot cahaya senter menerangi sisi bagian-bagian loteng bangunan tempat Baron bersembunyi. Baron panik tak karuan. Otaknya berpikir keras mau terus sembunyi yang jelas tak lama lagi kemungkinan besar akan dipergoki atau ia berlari? Tapi mau berlari ke mana sedang posisinya kini benar-benar terpojok. Suara langkah polisi semakin mendekati. Hingga cahaya senter mengenai punggung Baron yang sedari tadi jongkok bersembunyi. Baron menengok ke belakang dan ....

"Diam! Jangan bergerak!" Teriak polisi berperut buncit yang memergoki. Baron panik dan berusaha kabur lagi. Tapi, belum sempat Baron berlari terdengar letupan senjata api bersamaan dengan kaki kiri Baron terasa panas dan sakit, lalu sejurus kemudian Baron tersungkur di tepi loteng. Ia mencoba berdiri, tapi satu kakinya yang telah ditembus peluru tak kuat menopang tubuhnya dan Baron terpelanting jatuh ke bawah dari loteng bangunan.

Kepala Baron menghantam tumpukan batu belah sisa fondasi. Darah memuncrat dan perlahan-lahan rasa sakit peluru yang bersemayam dalam kakinya hilang terganti pandangan matanya yang semakin gelap ... Gelap dan gelap. Baron tak sadarkan diri. Baron sempat melihat beberapa polisi telah mengerumuni dirinya hingga perlahan gambaran-gambaran polisi sirna seiring raga Baron diam tak lagi bergerak untuk selama-lamanya.
***
Sedang jauh dari tubuh Baron yang kini bersimbah darah seorang wanita berbaring di atas ranjang dalam ruang dua kali dua meter sama juga sedang berjuang mempertaruhkan nyawanya melahirkan darah daging buah hati dari suaminya yang bernama Baron dibantu oleh bidan yang didatangkan oleh ibu-ibu tetangga kontrakan. Tak lama tangis bayi suci terdengar memecah keheningan malam.

"Bayinya perempuan. Cantik seperti ibunya," ucap Bidan pada istri Baron yang masih berbaring lemah. Matanya berkaca-kaca bahagia sambil menatap genteng-genteng dinding rumah kontrakannya. Dalam hatinya berbisik dan berdoa, "di mana kini, Bang Baron? Ia janji tidak sampai tengah malam akan pulang ke rumah. Bang Baron pulanglah cepat, anak kita sudah lahir. Ya Tuhan, semoga Engkau lindungi suamiku dari segala macam mara bahaya."

Cilacap: 17-Feb-21

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun