Akibat bocornya data pribadi 50 juta Facebooker yang digunakan Cambridge Analytica (CA) untuk pemenangan Donald Trump di Pilpres 2016, saham Facebook anjlok hingga 6,8 persen. Dan nampaknya Facebook terancam bubar. Perjalanan menuruni puncak kejayaan media sosial raksasa ini sedang dimulai.
Betapa tidak. Di usianya yang ke 11, Facebook mengalami kasus pembocoran data paling besar dalam sejarah media sosial. Penerobosan terhadap 50 juta data pribadi secara ilegal tersebut, seperti diungkap The New York Times, memungkinkan Cambridge mengekploitasi interaksi digital puluhan juta penggunanya, mengidentifikasi kepribadian mereka selaku pemilih dan mempengaruhi perilaku puluhan juta orang ini---sampai akhirnya berdampak pada apa yang mereka lakukan di bilik suara.
Gejala bubarnya FB kelak semakin menguat saat Mark tidak berhasil meyakinkan 2 miliar penggunanya bahwa data pribadi mereka yang tersimpan dalam database FB aman dan tidak disalahgunakan oleh pihak mana pun.
Baca juga: Kita Tidak Bisa Lepas dari Dunia Facebook, Sampai Kapan Main-main di Sini?
Ketika kasus ini diungkap ke publik, Sabtu (17/3) lalu, Mark memilih diam dan 'menghilang'. Tapi hari ini, beberapa jam lalu, Mark akhirnya angkat suara. Dia mengaku bersalah dan berjanji akan memperbaiki produknya agar kebocoran data pengguna tidak terulang di kemudian hari.
 "Kami memiliki tanggung jawab untuk melindungi data anda, dan jika kita tidak bisa maka kami tidak layak untuk melayani anda," tulis Zuckerberg di akun Facebooknya.
Mark juga merasa perlu merinci kembali kronologi pencurian data oleh Cambridge Analytica yang bersumber dari sebuah aplikasi kuis kepribadian ciptaan Aleksandr Kogan.
Aplikasi berbasis Facebook itu sukses menarik minat 300 ribu Facebooker yang dengan sukarela mengizinkan akses ke semua data pribadi mereka, termasuk beberapa data pribadi teman-temannya, sehingga total data yang terkumpul dalam database aplikasi itu mencapai puluhan juta akun!
Harusnya ini selesai di 2015!
Sebenarnya, pada tahun 2015, tiga tahun sebelum Christopher Wylie mengungkapkan kasus ini ke media pers, Mark sudah diberitahu oleh jurnalis The Guardian (dia tidak menyebutkan detil pembicaraannya dengan media pers terkemuka Inggris ini) bahwa Kogan menyerahkan data yang dimilikinya tersebut ke Cambridge Analytica (CA).
Baca juga: Jangan Kirim Undangan Nikah lewat Medsos atau Grup Percakapan!
Langkah yang diambil Facebook pada waktu itu adalah menuntut agar Kogan dan CA menghapus semua data pribadi pengguna Facebook. Dan mereka memenuhi tuntutan tersebut. Kasus ditutup. Selesai di 2015.
Tapi yah, namanya juga data, mana bisa dihapus begitu saja. Cerita tiga tahun itu terdengar naif, karena tidak melibatkan penegak hukum yang dapat mencegah penggunaan data untuk melakukan kecurangan dalam pemilihan presiden paling menegangkan antara Donald Trump vs Hillary Clinton.
Akhir pekan lalu, Mark mengaku baru ngeh, ternyata dia sudah dipecundangi oleh CA yang menggunakan data di tangan untuk pemenangan Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat 2016.
O iya, buat Anda yang tidak mengikuti kehebohan ini, Christopher Wylie adalah peniup peluitnya. Dia ikut membantu Cambridge Analytica dalam mendapatkan data pribadi 50 juta Facebooker dan bekerja di sana sampai tahun 2014.
Kepada Observer Wylie mengungkapkan rahasia hitam yang terjadi di Cambridge Analytica dan bagaimana firma analis data itu mengeksploitasi big data dari Facebook.
"We exploited Facebook to harvest millions of people's profiles. And built models to exploit what we knew about them and target their inner demons. That was the basis the entire company was built on."
Sama seperti yang sedang terjadi di Indonesia, waktu itu Wylie sedang berada dalam sebuah perang besar. Wylie bilang, petinggi Cambridge Analytica menghalalkan semua cara untuk memenangkan perang tersebut. Termasuk menghimpun dan mengekploitasi data puluhan juta pengguna Facebook.
Tujuan akhirnya satu: menghasilkan sebuah mesin yang dapat mengidentifikasi kepribadian para pemilih Amerika Serikat dan mempengaruhi perilaku mereka.
Negara Digital yang Terancam
Sebagai sebuah media jejaring tertutup, Facebook sebenarnya sudah sangat ketat dalam menerapkan peraturan yang melindungi privasi pengguna. Edukasi pun terus dilakukan untuk memastikan pengguna mengenali mana wilayah publik dan mana wilayah privasi di Facebook. Dan bagaimana pengguna bisa memproteksi informasi seputar mereka, sambil menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh informasi tersebut.
Baca juga: Bank Indonesia, Bank Sentral Paling Gaul di Twitter
Pembatasan dan pengetatan itu mulai dilakukan Facebook pada tahun 2014---sebelum kasus Cambridge Analytica terjadi.
Tapi apa lacur, seperempat penduduk bumi yang setiap hari berinteraksi di sini tidak memiliki kapasitas dan kemampuan yang sama dalam berinteraksi dan berkomunikasi di dunia digital. Maka terwujudlah sebuah dunia yang organik, yang diisi oleh orang-orang polos, orang-orang pintar dan orang-orang jahat di satu wadah besar. Mereka semua melakukan interaksi digital skala super besar yang tidak bisa dikontrol satu per satu.
Tak bisa dipungkiri, Facebook sudah menjadi negara digital. Dan layaknya sebuah negara, salah satu tuntutan masyarakat adalah terciptanya rasa aman dan nyaman, bebas dari gangguan dan kejahatan orang lain yang diam-diam menyelinap masuk ke dalam rumah.
Kita paham bahwa Mark dan Facebook bukanlah orang jahat di sini. Tapi fakta bahwa puluhan juta data pribadi bisa dieksplotasi untuk tujuan tertentu sudah cukup bagi para Facebooker untuk memikirkan apa yang harus mereka lakukan selanjutnya di Facebook.
Semoga ancaman itu tidak menjadi kenyataan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H