Tidak biasanya teman saya selugas itu. Lewat WhatsApp, dia memuji cerita pengalaman naik pesawat presiden yang saya tayangkan di Kompasiana. Platform blog ini memang sudah lama jadi media yang menggiurkan buat banyak penulis dan pewarta. Setiap hari, ada saja konten bagus yang menyedot perhatian banyak orang, salah satunya ya si teman tadi.
Dia mengikuti cerita-cerita yang saya bagikan untuk khalayak pembaca di dunia maya. Senior yang sekarang berprofesi sebagai motivator ini meminta saya mengolah naskah bukunya dengan gaya narasi seperti itu. "Ana punya bahan buku berisi pengalaman umroh pingin diedit seperti itu sdrku...," tulisnya.
Saya katakan kepadanya, cerita liputan kunjungan kerja Presiden Jokowi, termasuk cerita saat menikmati kemewahan di dalam kabin pesawat kepresidenan, saya garap dengan cara bertutur, dengan gaya mendongeng, alias storytelling.
Mendongeng sejatinya merupakan bentuk kesenian paling kuno dan paling ekspresif yang masih dikenal luas di dunia seni. Storytelling sendiri didefinisikan sebagai seni interaktif yang menggunakan bahasa tutur, vokalisasi (menyuarakan bacaan), gerakan tubuh dan gerak-isyarat, untuk memunculkan elemen dan gambaran sebuah cerita sambil merangsang imajinasi pendengar atau pemirsa.
Di dunia tulis-menulis, saya sudah cukup lama mengenal istilah storytelling dan menikmatinya dari media massa luar negeri sekaliber The Guardian dan The New York Times. Beberapa artikel di dalamnya disajikan dengan cara bercerita panjang kali lebar, melibatkan nara sumber dan juga penulisnya. Semua orang yang berkontribusi dalam jalinan cerita menjadi tokoh di dalamnya.
Dari situ saya melihat, storytelling tidak dimonopoli oleh pegiat seni di panggung-panggung kesenian, tapi sudah lama dipraktekkan oleh para jurnalis lewat karya-karya aktual mereka. Kontennya tentu tidak lagi berbentuk cerita fiksi atau dongeng, tapi berpijak pada pengalaman si penulis. Pada fakta yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Pada kisah yang diceritakan oleh teman. Pada perasaan yang diutarakan oleh para nara sumber.
Beberapa buku non-fiksi yang saya suka, seperti Outliers-nya Malcolm Gladwell, menggunakan pendekatan yang sama. Buku motivasi hidup ini tidak ditulis berdasarkan teori-teori. Tapi berdasarkan cerita banyak orang, kajian banyak peristiwa, dan pencarian cerita lain yang memperkuat isi buku. Lalu pada akhirnya, saya terkesima dengan cerita si penulis buku, pengalaman hidup seorang Gladwell, yang dalam sekali baca menjadi kisah paling kuat dalam menggambarkan apa dan bagaimana Outliers mengambil peran penting dalam rantai kesuksesan manusia.
Gaya bercerita yang digunakan Yann Martel dalam novel terkenal “Life of Pi” juga menjadi contoh apik storytelling—dalam bentuk fiksi. Sang novelis tidak hanya menceritakan kisah hidup Pi, tapi menyisipkan cerita di balik cerita. Sebuah kisah yang mempertemukan dirinya dengan kisah hidup Pi, yang ditulis panjang-lebar di awal cerita, lalu diceritakan terus setiap kali pembaca akan memasuki bab baru dari kisah hidup Pi.
Pada titik ini, terlihat jelas bagaimana sebuah cerita menjadi cerita paling bercerita untuk setiap cerita yang sedang diceritakan lewat media tulisan.
Selama mempraktekkan storytelling di media sosial Kompasiana, saya menuangkan banyak cerita yang berasal dari pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain: Cerita perjalanan, cerita liputan, cerita ledakan, cerita keseharian, dan banyak cerita-cerita lain. Saya pun tidak mengenal batasan sumber.
Cerita bisa berasal dari mana saja. Bahkan membuat sebuah cerita tidak harus meminta orang lain bicara. Sumbernya tidak harus ditemui dalam sesi bertatap muka.
Dari Facebook, saya pernah menulis dua cerita, satu dari negeri jiran, satu lagi berasal dari dalam negeri. Sebelum menuangkan kedua cerita tersebut, saya membaca dulu konten dan interaksi di dalamnya. Setelah itu, barulah meminta izin kepada si empunya untuk menceritakannya kembali di Kompasiana. Ada yang saya hubungi lewat jalur pribadi, misalnya untuk menanyakan dan mengkonfirmasi sesuatu, atau untuk sekedar meminta izin menayangkan foto sambil memastikan nama pemiliknya.
Cerita pertama tentang pertemuan seorang buruh migran Indonesia (BMI) dengan putri keduanya bernama Ayu Shakira, yang di media jurnalis diberitakan sebagai kisah perjuangan seorang ibu bertemu anaknya, tapi di media warga justru diceritakan dalam bingkai penganiayaan seorang ibu terhadap anaknya, seperti ditulis oleh Monica, salah seorang staf KJRI Kuching, Malaysia.
Sedangkan cerita kedua berasal dari foto Ali Amin, seorang teman almamater, yang bertanya ke saya dan beberapa teman lainnya, apakah benar Panji Hilmansyah yang dulu jadi santrinya di Gontor 2 adalah putra Menteri Susi yang baru saja meninggal dunia. Cerita itu mendapat respon yang jauh lebih besar dibandingkan cerita pertama, tentunya karena faktor ketokohan Susi Pudjiastuti yang menjadi media darling sejak dirinya didapuk sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Dalam dunia pers, storytelling sudah lama dipraktekkan ke dalam beragam produk jurnalistik, mulai dari sesederhana feature news, seserius investigative journalism, sampai semewah multimedia journalism. Tapi pesan yang ingin saya sampaikan lewat cerita ini adalah, setiap cerita akan lebih hidup jika diceritakan dengan gaya mendongeng.
Dan tidak ada larangan bagi penulis cerita untuk menjadi tokoh dalam cerita yang sedang diceritakan.
Blogger, dalam konteks ini, punya modal besar untuk bercerita, karena dia menulis dari sudut pandangnya sendiri, bukan dari sudut pandang atau sudut kepentingan media tempat kontennya ditayangkan.
Setelah bercakap-cakap lewat jempol seputar kesibukan yang sedang saya jalani dan posisi naskah saat ini, saya pun menyanggupi permintaan teman tadi. “Ana coba ya ust. Mudah2an emotional touch-nya dapat berhubung ana belum pernah umroh….”
“Baik ust.. Mudah2an antum segera umroh.”
Amin….
Mau belajar nulis? Gabung aja di sini. #ayonulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H