“Inilah the power of informal economy. Apa pun yang informal selalu bisa ditingkatkan dengan teknologi.” – Nadiem Makarim, Pendiri Gojek.
Pernyataan Nadiem yang dikutip pada paragraf terakhir berita KOMPAScom itu memberikan wawasan paling kuat sepanjang penelusuran saya dalam memahami Gojek dan bagaimana wajah bisnis ini ke depannya.
Bicara soal sektor bisnis informal, Indonesia adalah salah satu jagoannya. Atau bisa disimpulkan, kekuatan ekonomi negara-negara berkembang masih didominasi oleh para pelaku bisnis informal ini. Yaitu mereka yang menjalankan usaha yang tidak diatur oleh pemerintah. Usaha yang dijalankan di luar sistem. Bisnis yang tidak terjangkau oleh sistem keuangan dan tidak masuk radar pajak.
Para pedagang jalanan. Pemilik Warung Tegal dan Nasi Padang. Warung-warung kelontong di samping rumah. Toko-toko di sepanjang jalan dan di pasar. Pengusaha minyak goreng curah. Pedagang tekstil di Tanah Abang. Dan masih banyak contoh usaha tanpa merek lainnya.
Dalam sebuah presentasi di TED, Robert Neuwirth, pengarang buku “Stealth of Nations”, memaparkan bagaimana kekuatan ekonomi informal menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Bukunya itu sendiri mengulas tuntas roda perekonomian informal, hasil penelitian empat tahun yang melibatkan PKL, produsen barang-barang bajakan, penyelundup, sampai penjiplak merek-merek ternama sebagai narasumbernya.
Menurut Neuwirth, para pengusaha dan konglomerasi di seluruh belahan dunia saat ini hanya fokus dan ‘terbuai’ pada ekonomi mewah yang, berdasarkan laporan terbaru Financial Times, menghasilkan perputaran uang sebesar US$ 1,5 trilyun.
Tapi sebenarnya bisnis kelas A itu hanya melibatkan 1/3 pekerja dunia, dan dari segi volume bisnis, tidak ada apa-apanya dibandingkan bisnis informal yang menghasilkan US$ 10 triliun per tahun di dunia. Dan sepanjang 15 tahun ke depan, kota-kota di negara berkembang seperti Jakarta, Medan, Surabaya, akan memberikan kontribusi 50 persen pertumbuhan ekonomi global.
Tantangan ke depan adalah, lanjut Neuwirth, bukan bagaimana mengakhiri kota-kota berpenghuni liar atau menutup pasar abu-abu tadi. Tapi bagaimana merangkul dan memberdayakan mereka yang hidup dan bekerja di dalamnya.
Dan tantangan inilah yang sedang dipraktekkan oleh Nadiem di lahan kosong bernama ojek.
Mengapa saya bilang ojek adalah lahan kosong? Karena ini merupakan bisnis informal yang belum ada satu pengusaha pun yang berani masuk ke dalamnya.
Seperti saya ulas di level pertama rangkaian tulisan ini, ojek tidak diakui oleh Undang-undang. Atau dalam bahasa formalnya, hanya mobil (penumpang, bus, barang) yang bisa dijadikan sebagai angkutan pribadi maupun angkutan umum. Sedangkan sepeda motor dan kendaraan khusus tidak dimasukkan ke dalam kategori angkutan umum.
Tapi setelah saya baca Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan No 22 Tahun 2009, tidak ada sanksi yang ditetapkan untuk sepeda motor yang dijadikan angkutan umum. UU hanya mewajibkan pemilik kendaraan untuk lapor ke polisi jika ingin mengubah fungsi kendaraan baik dari kendaraan pribadi menjadi angkutan umum atau sebaliknya (Pasal 71).
Artinya, hanya ada satu pasal yang membuat sepeda motor tidak boleh dijadikan angkutan umum. Dan pasal ini pun tidak secara eksplisit melarang sepeda motor dijadikan angkutan umum isinya hanya mengatur soal Fungsi Kendaraan seperti diatur dalam Pasal 47 Ayat 2 dan 3 berikut:
(2) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelompokkan berdasarkan jenis:
- sepeda motor;
- mobil penumpang;
- mobil bus;
- mobil barang; dan
- kendaraan khusus.
(3) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d dikelompokkan berdasarkan fungsi:
- Kendaraan Bermotor Perseorangan; dan
- Kendaraan Bermotor Umum.
Nah, agar sepeda motor jadi bagian dari kendaraan bermotor umum, cukup tambahkan huruf a pada pasal ketiga di atas, bukan?
Diserbu Tukang Ojek
Tak bisa dipungkiri, Gojek semakin hari semakin populer. Kehadirannya menjadi angin segar baik bagi tukang ojek maupun konsumen ojek. Apalagi banyak ketidaknyamanan yang selama ini dirasakan oleh kedua belah pihak. Ditambah semakin banyaknya tukang ojek yang memperketat persaingan, dan semakin parahnya kemacetan di jalan yang menambah stres para komuter di perkotaan.
Kesuksesan Gojek serta-merta mengundang pebisnis lain untuk ikut menikmati gurihnya pengelolaan ojek. Ada GrabBike yang diluncurkan GrabTaxi di Jakarta sejak 20 Mei 2015, dan O’jack, layanan taksi motor yang beroperasi di kawasan Jogja.
Popularitasnya bukan hanya terlihat dari pertumbuhan jumlah penumpang, tapi juga dari semakin banyaknya pemilik sepeda motor dan tukang ojek yang bergabung menjadi bagian dari pengemudi Gojek.
Seperti diberitakan VIVA.co.id, pembukaan lowongan pengemudi Gojek di Depok diserbu ratusan pelamar. Mereka tidak hanya berasal dari tukang ojek, tapi ada juga pelamar yang memiliki ijazah S1 alias bertitel sarjana. Karena banyak pelamar, pihak Gojek Cabang Depok terpaksa membatasi pendaftaran hanya sampai 70 orang, sisanya diminta datang lagi esok harinya.
Mereka tergiur oleh pendapatan yang menjanjikan dan jam kerja yang fleksibel. Khusus untuk tukang ojek, Gojek punya daya tarik karena tidak perlu lagi mangkal sepanjang hari seperti yang dilakukan selama ini.
Lewat Gojek, Nadiem tidak hanya sukses mengubah wajah sektor bisnis informal bernama ojek, tapi juga berhasil merangkul para tukang ojek dan penumpang. Gojek juga secara nyata telah memberikan nilai lebih yang selama ini didampakan oleh kedua belah pihak. Yaitu bertambahnya pendapatan di sisi tukang ojek dan bertambahnya kenyamanan di sisi penumpang.
Tapi tetap, satu pertanyaan masih mengganjal: Akankah ojek dilegalkan dan risiko apa yang akan ditanggung oleh masyarakat begitu pemerintah merevisi UU No 22 Tahun 2009? Karena begitu pemerintah memasukkan sepeda motor sebagai bagian dari angkutan umum, boleh jadi di kemudian hari akan muncul merek-merek ojek lain seumpama Bianglala Ojek, BlueBird Ojek, Mayasari Ojek dan sejenisnya.
Ikuti terus ulasan ini di level IV.
Baca juga:
Menebak Masa Depan Gojek (Level I - Status Ojek)
Menebak Masa Depan Gojek (Level II - Inovasi Hijau)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H