Sabtu, 28 Januari 2012, pukul 01:30 dini hari.
Ibu berjuang mengatur nafas. Suara tarikan dan hembusannya terdengar jelas, membekas di selang oksigen yang mengalirkan udara langsung ke hidungnya. Mulutnya komat-kamit melafazkan zikir tanpa suara. Saya lihat wajahnya sangat pucat. Mungkin karena gangguan pernafasan itu sangat menyiksa.
Menurut adik, kondisinya itu tidak separah beberapa jam sebelumnya, saat nafasnya benar-benar payah. Tapi melihat ibu kesulitan bernafas seperti itu, saya tidak tega. Saya dekatkan mulut ke telinganya. “Udah, Bu. Ibu tidur dulu. Istirahat dulu,” kata saya pelan sambil mengusap-usap punggungnya.
Tidak ada reaksi. Tapi dia tahu saya datang.
***
Setengah jam sebelumnya.
Adik mengabarkan kondisi ibu memburuk. Sekelebat waktu, saya bergegas ke rumah sakit. Jarum jam menunjukkan pukul satu pagi. Dalam perjalanan dari kantor, untuk ke sekian kalinya, kekhawatiran akan kehilangan ibu kembali muncul. Rasa was-was ini sudah hadir sejak setahun lalu, atau tepatnya saat ibu terkena keropos tulang di bagian pinggul yang dibarengi dengan serangan beberapa penyakit lain seperti asam urat, maag, kolesterol dan jantung—yang sudah lama dideritanya.
Sejak saat itu, kondisi kesehatannya naik-turun. Sekian banyak dokter didatangi untuk mengobati ragam penyakitnya. Sekian kali perawatan dijalani di beberapa rumah sakit. Dan semua upaya itu memberikan hasil yang menggembirakan.
Penyakit keropos tulangnya berangsur pulih. Dari semula tidak bisa duduk sama sekali, ibu lalu bisa duduk dan berjalan di atas kursi roda, sampai akhirnya mampu berjalan di atas kaki sendiri dengan selalu bersandar pada tongkat kayu.
Kesehatannya juga membaik, meski dalam jangka waktu tertentu akan drop lagi. Nafsu makannya sempat meningkat, dan berat badannya sedikit bertambah. Dan sekitar awal Januari lalu, dalam kondisi primanya, dia menggelar acara haul untuk almarhum suaminya, alm H Rohimin, yang dihadiri oleh sekitar 300 orang.
Dua minggu setelahnya, tepatnya hari Sabtu (21/1) lampau, ibu tiba-tiba mengalami sesak nafas. Ditambah serangan batuk dan pilek yang menghebat. Kesehatannya menurun drastis. Setelah berobat ke dokter, kondisinya belum membaik. Kepalanya masih pusing. Batuknya semakin menjadi-jadi. Dan beberapa kali nafasnya tersendat.
Sampai akhirnya, usai shalat Jumat kemarin, nafasnya benar-benar payah. Waktu itu saya kebetulan sedang menemaninya di kamar. Dia minta dirawat di rumah sakit karena sudah tidak sanggup menahan sesak di dada. Dia sempat berpesan agar saya mengikhlaskan kepergiannya dan mendoakannya. Saya mengamininya sambil tetap meyakinkannya akan sembuh seperti sedia kala.
Ibu lalu dibawa ke RS Harapan Bunda.
***
Satu jam berlalu.
Mulut ibu masih komat-kamit. Posisi badannya tidak berubah. Miring ke kanan dengan dua tangan menyatu di bawah kepala. Saya kembali mendekatkan mulut ke telinganya. Ingin memintanya lagi untuk beristirahat sejenak. Karena saya tahu, serangan nafas yang konon disebabkan oleh penyempitan pada paru-paru itu sudah sangat menyiksanya dan membuatnya letih.
Tapi sebelum saya berbisik, tangan kirinya bergerak naik merangkul pundak. Mungkin dia ingin memeluk saya erat, tapi tidak punya cukup tenaga. Mungkin dia ingin mengucapkan sesuatu, tapi tidak ada cukup kuasa.
Akhirnya, setelah sekian puluh detik, dia mengendurkan tangannya dan membiarkannya lepas dari pundak saya.
“Bu. Ibu tidur dulu, ya. Istirahat dulu, Bu.”
Saya tidak punya firasat apa-apa saat mengucapkan kata-kata itu. Karena setiap kali ibu masuk rumah sakit, saya dan sepuluh kakak-adik selalu berdoa dan berharap dia lekas sembuh. Dan alhamdulillah selama menjalani beberapa kali rawat-inap, kesehatannya pulih dan dia selalu pulang ke rumah. Pagi itu pun saya yakin ibu akan pulang ke rumah dan bisa kembali beraktifitas seperti biasa.
Setelah suster memeriksa tensi darahnya sekitar pukul tiga pagi, saya masih menemaninya sampai dia tidur. Saya tatap sosok pejuang itu dengan penuh doa dan zikir untuk kesembuhannya. Setengah jam kemudian, suara nafasnya sudah tidak lagi terdengar. Mulutnya tidak lagi komat-kamit. Dia sudah tertidur pulas. Meski nafasnya masih sangat berat. Hati saya lega melihat ibu tidur. Paling tidak dia bisa beristirahat dan mengembalikan energinya yang terkuras.
Karena di rumah sakit ada empat orang yang sedang menjaganya, saya memutuskan untuk pulang ke rumah dan berniat menjaganya esok malam. Tiba di rumah sekitar jam 03:30, saya baru bisa memejamkan mata usai shalat Subuh.
Tapi belum terlelap tidur, istri tiba-tiba membangunkan sambil berteriak. "Pa, Ibu sudah tidak ada. Ibu sudah meninggal, Pa!" Saya kaget dan langsung bangkit. Berita duka itu terekam kuat di alam bawah sadar yang belum sepenuhnya sadar dari tidur. Kami berpelukan meratapi kepergiannya yang begitu tiba-tiba. Anak-anak ikut bangun mendengar tangisan kami berdua.
Saya lihat jam dinding sudah menunjukkan pukul enam pagi. Dengan segenap kekuatan yang ada, saya berangkat ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, saya berusaha menguatkan hati. Berharap berita itu tidak benar. Menghibur diri bahwa ibu masih terlelap tidur. Tapi begitu tiba di kamar Melati VI, jasad bunda benar-benar terbaring tanpa nyawa. Saya langsung jatuh berlutut di samping jasadnya. Tangisan tak terbentung lagi. Saya cium pipinya dengan penuh kesedihan. Saya sungguh tidak menyangka pagi itu perjuangan ibu melawan sakit akan berakhir. Tidak terbayangkan sebelumnya bahwa ibu akan tidur selamanya. Dan pulang ke rumah dalam keadaan terbujur kaku tanpa nyawa.
Ibu... ibu... saya panggil-panggil namanya. Berharap dia masih bisa mendengar dan menggerakkan bibirnya untuk terus berzikir menyebut asma-Nya. Karena ibu meninggal saat tidur, tidak ada satupun dari kami yang tahu kapan dia menghembuskan nafas terakhir. Tidak juga Syarif Hidayatullah, adik saya yang ketika bangun tidur melihat posisi ibu tidak berubah. Dia baru mengetahui ibu sudah tiada saat ingin membangunkannya untuk shalat Subuh. Tapi ternyata ibu tidak bertemu dengan Subuh.
Menurut dokter, almarhumah sudah meninggal sejak dua jam yang lalu, atau sekitar pukul empat pagi. Saya yakin dan berdoa ibu husnul khatimah.
Sepanjang hidupnya, khususnya selama berjuang di dunia pendidikan selama 34 tahun terakhir, dia selalu khawatir akan shalat. Shalat tahajjud, dhuha, shalat sajadah, shalat wudhu dan banyak amalan shalat sunnah lainnya yang sudah menjadi rutinitas hariannya. Dan menjelang kepergiannya, dia sudah menunaikan shalat Isya dan meninggal dalam keadaan suci. Dia sempat bertayammum di wajah adik sebelum tidur.
Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un. Sesungguhnya kita semua milik Allah dan sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya.
Selamat jalan, Bu....
Sebelumnya:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H