Kelima, ijtihad. Poin ini belum ada penjelasan secara rinci. Disebutkan,Â
(a) bahwa dasar mutlak untuk berhukum dalam agama Islam adalah al-Qur'an dan al-Hadis,Â
(b) bahwa dalam menghadapi persoalan yang telah terjadi dan sangat dibutuhkan untuk diamalkan, mengenai hal-hal yang tidak bersangkutan dengan ibadah mahdlah, padahal untuk alasan atasnya tidak terdapat nash sharih dalam al-Qur'an dan al-Sunnah, maka dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istimbath dari nash yang ada, melalui persamaan illat, sebagaimana dilakukan oleh ulama salaf dan khalaf.
Dari Masailul Khomsa ini terdapat gambaran yang melukiskan gerakan dakwah Muhammadiyah adalah sebuah gerakan dakwah rasional yang emosional kekinian di dalam rangka membangun tata kehidupan manusia yang lebih beradab dan nasionalis. Bahkan gerakan dakwah Muhammadiyah disebut juga Gerakan dakwah Amar ma'ruf nahi munkar dan simbol amal ma'ruf nahi mungkar ini menjadi yang terdepan di dalam membangun Muhammadiyah.Â
Bila dibandingkan dengan aliran mu'tazilah ada hal-hal yang serupa di dalam gerakan dakwah Muhammadiyah seperti mengandalkan kekuatan yang rasional dan dinamis dan lebih pada konsep mengedepankan akal sebagai pilihan untuk menolak semua yang bersifat tidak rasional, mulai dari permasalahan teologi sehingga masalah-masalah yang berkaitan dengan eksistensi manusia.
Muktazilah berangkat dari narasumber washil bin Atha' , orang pertama yang melahirkan gagasan memisahkan diri dari kelompok besar yang dikenal dengan Ahlussunnah Wal Jamaah. Cikal bakal mu'tazilah ini adalah salah seorang murid dari Hasan Al bashri, Â yang melahirkan rawi-rawi mu'tazilah sampai kepada Al Juba'i. Dia adalah seorang lawan debat dari Abu Hasan Al Asy'ari yang awalnya juga merupakan darah daging dari mu'tazilah dan pada akhirnya menjadi orang yang bertobat lalu kembali ke pangkuan Ahlussunnah Wal Jamaah.Â
Dalam beberapa buku dan media sosial dapat dirinci tentang perjalanan aliran mu'tazilah mulai dari zaman Washil bin Atha:
Washil bin 'Atha
Washil bin 'Atha lahir di Madinah pada tahun 70 H. Ia belajar kepada Hasan Al-Bashri di Basrah. Washil bin 'Atha menyatakan bahwa seorang muslim yang berbuat dosa besar dihukumi tidak mukmin dan tidak kafir, tapi fasiq. Keberadaan orang tersebut adalah di antara mukmin dan kafir. Ada dugaan bahwa sikap Washil bin 'Atha yang demikian adalah untuk mengambil jalan tengah antara Khawarij dan Murji'ah. Dia tidak mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu kafir sebagaimana dikatakan oleh Kawarij, dan tidak pula mengatakan mukmin sebagaimana keyakinan Murji'ah, melainkan berada di dua posisi.
Mengenai perbuatan manusia, Washil berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan, kemampuan dan kekuasaan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Kebebasan memilih, kekuasaan dan kemampuan untuk berbuat yang terdapat dalam diri manusia adalah pemberian dari Allah. Karena itu, manusialah yang menciptakan perbuatannya dan harus bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut.
Tentang sifat Allah, Washil menolak paham bahwa Allah memiliki sifat. Menurutnya, Allah tidak memiliki sifat dan hanya memiliki zat. Tuhan mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya adalah zat-Nya. Tuhan mendengar dengan pendengaran-Nya dan pendengaran-Nya adalah zat-Nya, demikian seterusnya.