Mohon tunggu...
Iskandar Mutalib
Iskandar Mutalib Mohon Tunggu... Penulis - Pewarta

Pengabdi Ilmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu Kangen Ayu

15 Agustus 2019   05:05 Diperbarui: 15 Agustus 2019   05:09 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

JARI jemari Rahayu bergerak lincah di atas mesin ketik jadul (jaman dulu) hadiah lomba menulis karangan bebas di sekolah. Jari lentik Rahayu bak menari di atas sebuah panggung pertunjukan, melompat dari satu huruf ke huruf lainnya. Lembut tapi penuh tekanan. 

Dari mesin ketik butut itu telah lahir banyak karya. Baik berbentuk cerpen maupun tulisan ilmiah. Bahkan, mesin ketik tersebut mengantarkan putri ke empat pasangan Irsyad-Hana ke bangku perkuliahan. 

Uang hasil menang lomba penulisan dikumpulin, dan akhirnya cukup untuk membiayai kuliahnya selama tujuh tahun. Itu artinya, Bapak Irsyad dan Ibu Hana tak perlu memikirkan lagi biaya kuliah. Semua tetek bengek pembiayaan perkuliahan sudah selesai sejak Rahayu mendaftarkan diri menjadi mahasiswi.

Persoalan kuliah sudah beres, lantas apa yang menyebabkan perempuan berkerudung itu gundah gulana. Jarinya memang menari-nari di atas mesin ketik, namun tidak ada satu rangkaian kata pun dapat terbaca di sana. Semua serba kacau. 

"Yu, kamu kenapa," ujar Jalewati sambil menepuk bahu kiri sahabat karibnya itu. 

Yang disapa sudah pasti kaget. Lantas berdalih kalau dirinya tengah melatih otot-otot jemarinya yang terasa kaku. 

"Gak papa Jal, lagi melatih otot-otot jari saja. Kamu gak mesen air di kantin," kata Rahayu. 

"Kamu kenapa Yu, gak biasanya kamu ngelamun. Kamu udah ada yang lamar, orangtua gak setuju. Kamu kangen Mas Ismail, lantas kamu kenapa?," tanyanya.

Rahayu menggelengkan kepala berulang kali sebagai isyarat semua yang ditayangkan Jalewati tidak benar.

"Aku cape. Ayo kita main, keluar dari kamar ini. Membosankan," tutur Rahayu sambil menarik tangan Jalewati. 

Di depan sebuah warung kelontong kecil, Rahayu berhenti. Ia memborong lima jenis makanan ringan. Dari mulai jenis biskuit, chiki, wafer sampai beberapa minuman ringan. 

"Ayo kita borong semua. Biar kita bisa ngobrol panjang. Sambil nunggu Tati datang. Tapi bahasannya bukan cinta, tapi cinta deh..tapi bukan cinta sama pasangan," katanya.

Selesai belanja, Rahayu dan Jalewati kembali ke rumah. Saat hendak menutup pintu gerbang, keduanya dikejutkan suara klakson keras sekali.

"Sundel, kalau mau bertamu baik-baik dong," celoteh Rahayu.

Yang dimarahi bukan segera minta maaf malah tertawa. 

"Ya elah gitu aja marah. Malu tuh sama jilbab. Biasanya perempuan berjilbab kelakuannya tuh kalem," ujar Tati sambil cekikikan di dalam mobil sedan warna putih. 

Tati tersenyum puas melihat muka-muka menahan marah dia sahabat karibnya itu.

"Jal, Yu, kalau mau marah, marah aja. Gak usah di tahan-tahan, bisa kena penyakit jomblo seumur hidup," katanya, sembari kembali tertawa. 

Rahayu dan Jalewati saling melirik. Otak jail keduanya mulai bekerja. Diangkatnya tubuh Tati, dibenamkan ke dalam kolam. 

"Biar rasah," tuturnya. 

Yang diceburin bukan marah, justru makin keras tertawa. 

"Kebetulan ogut belum mandi sore. Ini kesempatan ikan lele mandi di kolam keren," ucapnya.

:::::::::::::::::::::::::::
Setelah bercanda, tertawa dan sedikit menangis, Rahayu mulai menceritakan kegundahan selama ini kepada dua temannya. 

Jal, Tat, sejujurnya adakah perubahan sifat diriku dari pertama kali kita berteman sampai saat ini. 

"Tolong bicara jujur. Aku ingin mendapatkan pernyataan tanpa bumbu ketidak jujuran," tuturnya dengan mimik serius. 

"Buatku jawaban itu sangat penting karena aku telah melupakan hal penting dalam hidupku," lanjutnya. 

Jalewati dan Tati yang awalnya senyum-senyum, kemudian menunjukkan muka serius. 

"Kami tak yakin apa yang menjadi kegelisahan kamu. Tapi kami yakin perubahan kamu hanya dua, selebor dan pelupa," tutur Jalewati yang dibenarkan Tati. 

Kalau yang lainnya, lanjut Tati, sama sekali tak ada perubahan. Semuanya masih sama seperti dulu. Masih senang menjomblo, menghabiskan waktu di perpustakaan, segi positif nya masih mau sholat dan ngaji.

"Ya, tidak ada perubahan berarti," tuturnya.

Sebenarnya ada apa Yu, kata Jalewati. Ayu kemudian menceritakan apa yang menjadi pikirannya selama ini. 

"Dua minggu lalu aku mendapat pesan di WhatsApp. Bunyinya, assalamualaikum Yu, ini Bu Hajjah Marinah. Udah lama Ayu gak main ke pesantren," katanya.

Jujur, lanjut Ayu, awalnya pesan tersebut mau aku abaikan. Mungkin orang becanda dengan membawa nama Ibu Hajjah Marinah. Namun, pesan tersebut sangat mengganggu. 

"Aku menjawab pesan tersebut, iya Bu Hj, ini Ayu. Bu Hj dapat nomor Ayu dari siapa," katanya.

Itulah kesalahan fatal, ternyata itu memang Bu Hajjah. Beliau menyebut nama teman sekamarku di pesantren. 

"Sampai sekarang aku merasa berdosa. Kenapa gak aku telepon, kenapa WA. Aku takut sekali dia tersinggung. Dia yang mengajarkan ilmu agama, menulis, membuat puisi, hingga aku seperti ini," tangis Ayu.

Waktu kamu bertanya seperti itu, kata Tati, apa jawaban lengkap Bu Hj Marinah. 

"Dari Maria. Alhamdulillah Ibu bisa silaturahim lagi sama Ayu. Ya sudah...sehat selalu dan semoga rizki mengalir terus. Kalau ada waktu main ya. Ibu kangen," ujar Ayu. 

Lantas apa yang menjadi masalah, kata Jalewati. Toh, Bu Hajjah tidak marah. 

"Kamu gak ngerti. Aku kurang sopan, gak tau diri. Itu ibuku. Orang yang memberiku ilmu pengetahuan. Orang yang memberiku jalan hingga seperti ini. Aku ini jadi pendosa besar kalau sampai beliau itu tersinggung," tegasnya. 

Belas kasih dan pengetahuannya yang luas, kata Ayu, mengantarkan kami santri wati memiliki mental menghadapi masa depan.

"Sekarang beliau terluka. Aku yakin hati lembut beliau tertusuk isi pesan ku," ujar Ayu.

Tenang, kata Tati, solusinya sudah ada dan sudah ditawarkan Bu Hajjah, tinggal kami laksanakan. 

"Apa," sergah Ayu.

"Siapkan waktu mu. Minta cuti, pergi temui orangtua kedua mu itu. Kamu akan tahu guru mu akan apa," tegas Tati.

Ayu mengangguk mendengar pendapat tersebut. "Usul oke. Besok aku cuti. Aku gak mau putus silaturahim sama orang yang memberi jalan kesuksesan itu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun