Mohon tunggu...
Iskandar Mutalib
Iskandar Mutalib Mohon Tunggu... Penulis - Pewarta

Pengabdi Ilmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Nama Hanyalah Nama

10 Agustus 2019   22:03 Diperbarui: 10 Agustus 2019   22:13 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

AKU tidak tahu siapa nama bapakku, dari keluarga apa ia berasal, apa makanan kesukaannya, siapa saja teman-temannya, yang pasti ia dianggap sejarah kelam nenekku. Tanpa aku tahu apa dosa besarnya?.

Sore menjelang Magrib, anak-anak di dusun Gunung Krikit berkumpul di Langgar (musholla), mengaji dan mengkaji ilmu Al-Qur'an serta hadist. Kami selalu senang diajar Ustadz Baim yang memiliki pengetahuan luas, ramah serta penyayang.

Usai mengaji dan mengaji, kami menjalankan ibadah shalat Maghrib berjamaah. Kemudian kembali mengaji ilmu tajwid sampai waktu sholat Isya.

Setelah sholat Isya kami diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing atau bermalam di Langgar, esok baru pulang.

Aku, Fitria, Neng, Rojak memutuskan pulang bareng karena rumah kami berada di jalur yang sama. Walaupun sesungguhnya rumah Rojak tak jauh dari langgar.

Di perjalanan, Fitria membuka pembicaraan dengan bertanya pada Rojak. "Apa arti nama Rojak? Kenapa orangtua mu memberi nama Rojak," tanyanya.

Rojak diambil dari kata bahasa Arab yang artinya rizki. Orangtuaku berharap anaknya memiliki rizki berlimpah.

"Sepertinya doa dan harapan ayah terkabul. Aku dianggap nenek sebagai pembawa rizki," katanya.

Lantas, kata Rojak, apa arti nama Fitri. Apa doa ayah bundamu dengan memberi nama Fitri.

Dengan tangkas Fitri menjawab bahwa Fitri memiliki arti suci yang juga diambil dari bahasa Arab. Orangtuaku berharap anaknya dapat menjaga kesucian diri maupun keluarga.

"Intinya tidak membiat nama keluarga buruk. Kalau kamu apa neng," kata Fitri.

Eneng yang sejak tadi menyimak percakapan Fitri dan Rojak dengan seksama tersenyum mendapat pertanyaan tersebut.

Aku terlahir dari orangtua suku Sunda. Eneng merupakan panggilan kesayangan bagi anak perempuan. Nama itu sengaja dikasih ke namaku dengan harapan semua orang di kampung ini sayang sama Eneng.

"Alhamdulillah, sampai saat ini semua masih sayang Eneng," ucapnya.

"Kalau kamu bagaimana Tuju," tanya Eneng.

Aku diam tak tau menjawab apa. Pertanyaan itu bagai pisau tajam yang ditusukan ke hulu hati. Lidahku kelu. Otakku tak mampu bekerja cepat. Aku tertunduk semakin dalam. Walau aku akhirnya menjawab terbata-bata.

Namaku Tuju Asa Kelam. Jujur aku tak tahu kenapa nenekku memberi nama itu. Yang pasti setiap kali nenekku marah semua nama-nama binatang dilontarkan ke arahku. Babi, anjing busuk, kucing garong, ular piton, bangsat, kecoa, bangkai kurap dan masih banyak lagi.

"Aku sempat berpikir kalau namaku memiliki arti segala jenis binatang itu. Tapi ibuku melarang aku berpikir seperti itu. Buatnya nama adalah nama, hanya pembeda anak yang satu dengan anak lainnya, manusia satu dengan manusia lainnya," tuturnya.

Nenek, lanjut ku, akan murka jika aku bertanya dimana bapak, kemana bapak, siapa namanya, dimana keluarganya. Ibu hanya bisa menangis kalau nenek mulai mengeluarkan sumpah serapah kearahku.

"Ibu selalu berpesan tak usah menanyakan bapak. Ia dan nenek akan menjagaku dengan baik. Bapak ya bapak, tak bisa tergantikan. Tapi untuk saat ini lupakan" katanya.

Jadi, sambung Tuju, aku tidak bisa menjelaskan arti nama Tuju Asa Kelam. Apalagi doa dan harapan yang terkandung di dalam nama ini.

"Mungkin binatang, cacian, omelan dan banyak lagi kata yang lainnya," tuturnya.

Eneng, Fitri dan Rojak terdiam. Mereka tak tahu harus berkata apa. "Maafkan kami Tuju, kami tidak punya maksud jahat," ujar Fitri.

Tuju membalas pernyataan Fitri dengan senyum getir. "Kalian semua tidak salah. Hanya nenekku yang menganggap kelahiran ku sebagai kesalahan besar ibuku," katanya.

Tapi aku bangga memiliki ibu. Ia selalu ada waktu aku sedih, susah, teraniaya. Ibu selalu berpesan bahwa yang membedakan kita dengan mahluk lainnya adalah akal.

"Gunakan akal mu sebaik mungkin, sejujur mungkin, seluas mungkin, sepandai mungkin, agar kamu bisa menjadi orang sukses," ucapnya.

Orang pintar menurut ibu banyak, orang kaya banyak, orang berilmu banyak, tapi orang yang kaya, pintar, pandai dan berlapang hati hanya sedikit.

"Ibu berharap aku menjadi orang seperti itu. Gunakan hatimu juga  akal mu untuk mengarungi kehidupan ini. Mungkin itu yang dimaksud doa ibu untuk anaknya," katanya.

Neng, Rojak dan Fitri serempak mengangguk. Mereka pun berpelukan seraya berjanji dalam hati untuk saling menjaga satu sama lain.Aku tahu mereka kasihan kepadaku. Belas kasih itu mereka tunjukkan dalam setiap kesempatan. Kalau buku tulis ku habis, Rojak dan Eneng pasti mengajak aku untuk membantu keluarga mereka di kebun. Pulangnya ayah Rojak ataupun Eneng akan memberikan sedikit uang untuk membeli buku.

Sedangkan Fitri selalu ada jika aku kesulitan memahami pelajaran. Ia dengan sabar mengajarkanku sampai benar-benar mengerti dan paham.

"Dia tak pernah sekalipun absen sekolah kecuali sakit keras. Kalau hanya flu dan masuk angin, dianggapnya bukan sakit."

Aku bukan orang yang tak berterimakasih. Ibuku selalu mengingatkan pentingnya berterimakasih. Sekecil apapun orang membantu kita, maka kamu harus mengucapkan terimakasih. Dan itu berlaku kepada siapa pun. Tak mengenal usia maupun strata sosial.

Bentuk terimakasih yang tulus tidak hanya diwakilkan oleh lisan, melainkan bahasa tubuh yang menyatu dalam perbuatan. Senyum dan membungkukkan badan salah satunya.

Sewaktu Fitri sakit, ibu selalu mengingatkan ku untuk setiap hari ada di sampingnya. Walaupun nenek kerap kali mencaci maki kehadiranku yang terlambat pulang ke rumah.

"Setiap Fitri membutuhkan bantuan, kamu harus cepat membantu. Kamu gak punya uang, tapi kamu punya tenaga."

Jangan pernah takut kegelapan,karena kamu adalah kegelapan itu sendiri. Jangan pernah malu disuruh keluarga Fitri karena kamu tidak mencuri.

"Ingat, Fitri, Rojak, Eneng tulus bersahabat dengan kamu. Kamu pun harus tulus membantu sebisa kamu. Apapun yang dibutuhkan. Kecuali, mencuri, mencopet, mabuk, mesum, merampok, jangan kau ikuti."

Jadikan mereka saudara, jadikan mereka bapak dalam arti pelindungmu dikala ibu tak bisa hadir di samping mu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun