Eneng, Fitri dan Rojak terdiam. Mereka tak tahu harus berkata apa. "Maafkan kami Tuju, kami tidak punya maksud jahat," ujar Fitri.
Tuju membalas pernyataan Fitri dengan senyum getir. "Kalian semua tidak salah. Hanya nenekku yang menganggap kelahiran ku sebagai kesalahan besar ibuku," katanya.
Tapi aku bangga memiliki ibu. Ia selalu ada waktu aku sedih, susah, teraniaya. Ibu selalu berpesan bahwa yang membedakan kita dengan mahluk lainnya adalah akal.
"Gunakan akal mu sebaik mungkin, sejujur mungkin, seluas mungkin, sepandai mungkin, agar kamu bisa menjadi orang sukses," ucapnya.
Orang pintar menurut ibu banyak, orang kaya banyak, orang berilmu banyak, tapi orang yang kaya, pintar, pandai dan berlapang hati hanya sedikit.
"Ibu berharap aku menjadi orang seperti itu. Gunakan hatimu juga  akal mu untuk mengarungi kehidupan ini. Mungkin itu yang dimaksud doa ibu untuk anaknya," katanya.
Neng, Rojak dan Fitri serempak mengangguk. Mereka pun berpelukan seraya berjanji dalam hati untuk saling menjaga satu sama lain.Aku tahu mereka kasihan kepadaku. Belas kasih itu mereka tunjukkan dalam setiap kesempatan. Kalau buku tulis ku habis, Rojak dan Eneng pasti mengajak aku untuk membantu keluarga mereka di kebun. Pulangnya ayah Rojak ataupun Eneng akan memberikan sedikit uang untuk membeli buku.
Sedangkan Fitri selalu ada jika aku kesulitan memahami pelajaran. Ia dengan sabar mengajarkanku sampai benar-benar mengerti dan paham.
"Dia tak pernah sekalipun absen sekolah kecuali sakit keras. Kalau hanya flu dan masuk angin, dianggapnya bukan sakit."
Aku bukan orang yang tak berterimakasih. Ibuku selalu mengingatkan pentingnya berterimakasih. Sekecil apapun orang membantu kita, maka kamu harus mengucapkan terimakasih. Dan itu berlaku kepada siapa pun. Tak mengenal usia maupun strata sosial.
Bentuk terimakasih yang tulus tidak hanya diwakilkan oleh lisan, melainkan bahasa tubuh yang menyatu dalam perbuatan. Senyum dan membungkukkan badan salah satunya.