Sementara di sebuah desa terpencil atau tepatnya di sebuah pondok pesantren salafiyah, Ema sedang khusuk mendengarkan cermah kiai. Rambut sebahu berwarna kemerah-merahan tak lagi melambai di tiup angin. Sebab, Â kini ia telah berjilbab. Sinar kecantikannya terpancar sempurna, sangat memesona.
Ia belajar bagaimana mengolah kemarahan menjadi kesabaran, Â bekerja ikhlas, Â menjaga mulut, Â menjaga hati, menjaga pikiran, Â menjaga perbuatan. Â Apa yang dilakukan Arman membuka mata hatinya. Ia menjadi sadar bagaimana kondisi pegawainya setelah ia maki-maki.
Dalam waktu satu minggu, Â perempuan bengis, Â suka meledek, Â menghina, Â memaki-maki itu telah berubah 100 derajat. Â Ia meyakini Ema yang dulu telah mati, kini lahir Ema baru.
"Kita harus berkompromi pada ilmu baru agar tidak kaku seperti robot. Tidak peka terhadap lingkungan, Â tidak peduli perasaan orang lain, " tuturnya dalam hati. Â
Perubahan Ema sangat terasa pada kali pertama dirinya masuk kerja dengan penampilan baru. Berjilbab dan berbaju panjang. Â Menutup seluruh aurat. Â
Di depan ruangan, Â Ema meminta Noni mengumpulkan Arman dan tim untuk rapat. Â Mereka wajib mempresentasikan kajian mereka kembali. Â
Mas Arman, Â kata Noni, Â mengagetkan Arman yang tengah terkesima dengan penampilan Ema. Â
"Mas, Â ibu minta Mas Arman dan tim untuk rapat, Â sekarang, " kata Noni.
"Oke, Â siapa takut, " katanya.
Arman pun bergegas mendatangi ruangan Ema. Sebelum melangkah lebih jauh. Tangan Arman ditarik Noni.
"Bawa berkas proposal Sukabumi, " katanya.