ADAPTABILITAS PENDIDIKAN DI ERA VUCA
Pandemi Covid-19 telah menghadirkan banyak fenomena baru di masyarakat. Bekerja dari rumah, belajar dari rumah, berbelanja online serta aktivitas lain berbasis digital telah menjadi pola baru dalam kehidupan sehari-hari. Pembiasaan pola baru dalam beberapa aktivitas tersebut, awalnya menjadi sesuatu yang aneh, tetapi perlahan sudah menjadi kebiasaan.
Situasi akhir-akhir ini yang disebut dengan new normal, mulai dapat diadaptasi meski disikapi masyarakat dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang mudah menyesuaikan keadaan, ada pula yang sulit mengadaptasi kondisi. Dinamika baru acap kali membuat 'kejutan' bagi sebagian kalangan, dan 'kejutan' itu tidak jarang dianggap sebagai permasalahan.
Respon yang beragam dari masyarakat adalah sebuah kewajaran, karena tidak semua kalangan memiliki persiapan untuk mengantisipasi hadirnya perubahan. Ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi perubahan yang tidak terprediksi, patut menjadi atensi bagi pemangku kebijakan, organisasi, individu maupun kelompok yang saling terkait dalam ekosistem kehidupan masyarakat.
Â
Generasi Z dan Era VUCA
Selama dalam kondisi pandemi Covid-19, mungkin kita pernah mendengar istilah "We live in VUCA Era." VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) adalah gambaran situasi di dunia saat ini terutama di bidang ekonomi dan bisnis. Istilah VUCA menggambarkan tentang lingkungan yang fluktuatif, kompleks, penuh ketidakpastian yang disebabkan kenormalan baru (Posma Sariguna Johnson Kennedy, 2021).
Berbicara tentang VUCA saat ini, tentu dapat dikaitkan dengan Generasi Z (generasi yang lahir antara tahun 1997-2012). Menurut data sensus penduduk tahun 2020 oleh Badan Pusat Statistik, sebanyak 38,82 persen penduduk Indonesia adalah Gen-Z dan post Gen-Z. Generasi Z merupakan generasi pembicaraan dunia karena akan mendominasi populasi manusia di masa depan, dan generasi ini yang akan berjuang di dalam dinamika Revolusi Industri 4.0 (Astuti, 2021).
Generasi ini yang harus disiapkan untuk menghadapi situasi yang berubah dengan cepat, penuh ketidakpastian, kompleksitas, dan tidak jelas (ambigu). Dunia pendidikan berada di garis depan era digital yang disertai disrupsi teknologi. Melihat perubahan tren keterampilan yang berbeda di tiap masa, dapat dikatakan bahwa pendidikan Indonesia berada di era VUCA.
Lembaga pendidikan khususnya SMK, yang dalam hal ini mendidik generasi Z, diharapkan dapat mengambil peran dalam mencetak sumber daya manusia yang mandiri, kreatif, produktif, multitasking dan memiliki etos kerja tinggi.
Â
Kemandirian dan Multi-skill
Membentuk siswa agar memiliki kualitas sumber daya manusia yang kompetitif di era VUCA memang bukan perkara mudah. Dibutuhkan perjuangan dan kerja keras dari semua pihak yang terkait dengan proses pembelajaran. Penyamaan visi dan misi, serta perubahan mindset adalah modal dasar untuk mengerjakan misi yang besar.
Guru atau pendidik di sekolah adalah sebagai garda terdepan untuk melakukan perubahan. Oleh sebab itu pendidik perlu memiliki pola pikir maju dan menyadari pentingnya bekal keterampilan yang siap menghadapi perubahan bagi siswanya.
Di era yang serba tidak pasti, perlu disiapkan generasi yang peka terhadap perubahan, kaya ide, dan memiliki banyak keterampilan. Agar memiliki keterampilan yang bervariasi, siswa perlu dilatih untuk menguasai lebih dari satu bahasa asing, selain pada pekerjaan-pekerjaan baru yang harus tanggap terhadap hal-hal baru di sekitarnya. Generasi Z perlu dibekali dengan keterampilan-keterampilan tambahan untuk menghadapi transisi kehidupan.
Tren pekerjaan dan keterampilan baru adalah salah satu yang perlu diperhatikan di era VUCA. Generasi Z yang saat ini sedang menempuh pendidikan di SMK, tentu tidak memiliki jaminan terhadap keterserapan kerja pasca lulus. Oleh sebab itu anak-anak SMK perlu dibekali dengan skill entrepreneurship sejak dini.
Sekolah dapat melakukan pemetaan terhadap potensi dan bakat siswa di bidang entrepreneur, kemudian diberikan pembelajaran berbasis proyek yang fleksibel dan mudah diaplikasikan. Untuk meningkatkan skill entrepreneurship siswa, tentu siswa perlu memperoleh mentoring dari pelaku bisnis yang representatif.
Skill entrepreneurship adalah keterampilan tambahan yang dapat dikuatkan agar siswa memiliki kemandirian dan siap menghadapi tantangan serta persaingan.
Â
 Capacity Building
Peran sekolah dalam mencetak Generasi Z yang mandiri, kreatif, produktif, multitasking dan memiliki etos kerja tinggi dipengaruhi oleh kapasitas pendidik atau mentor belajarnya di sekolah.
Kualitas pendidik juga menjadi aspek penting dalam pembentukan karakter, mentalitas tangguh serta etos siswa. Sebagaimana siswanya, pendidik juga harus memiliki kesadaran untuk terus mengembangkan diri agar dapat menjadi mentor yang tepat bagi siswanya.
Untuk mendidik generasi yang hidup di zaman teknologi, pendidik juga perlu memiliki beragam keterampilan dan penguasaan IT yang handal. Pendidik generasi Z tidak cukup dapat mengetik dan presentasi, namun juga terampil mengoperasikan aplikasi lain yang menunjang proses pembelajaran berbasis online dan kreatif membuat konten pembelajaran. Penguasaan IT juga bermanfaat untuk mengarahkan siswa dalam mengoptimalkan penggunaan media sosial menjadi media berkarya dan mengasah kemampuan yang lebih baik.
Capacity building pendidik dalam membentuk mentalitas siswa juga perlu diperhatikan. Generasi yang hebat dan senang belajar dan mengembangkan diri hanya akan lahir dari pendidik yang hebat dan senang belajar. Pendidik adalah agen perubahan bagi masa depan pendidikan.
Peran pendidik sebagai motor perubahan memiliki andil besar dalam menanamkan kebiasaan positif bagi siswanya. Kapasitas pendidik sebagai motivator bagi siswa, juga menjadi faktor penting. Siswa yang memiliki motivator akan memiliki kepercayaan diri dan keberanian untuk mencoba hal-hal baru, aktif dalam keorganisasian sekolah, ekstrakurikuler, keikutsertaan dalam kompetisi lokal, nasional maupun internasional. Pengalaman-pengalaman bersosialisasi dan beraktivitas di luar kelas akan memberi penguatan pada ranah softskill siswa.
Menurut Babay Hendri (2021) bagi Generasi Z, penekanan softskill menjadi sangat krusial, karena 80 persen keterampilan yang dibutuhkan Revolusi Industri 4.0 adalah softskill, sedangkan kemampuan technical skill hanya 12 persen saja. Seorang pekerja harus memiliki kemampuan yang tidak dapat dilakukan oleh mesin agar dapat beradaptasi dengan perubahan (Kompas.com, 2018)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H