Mohon tunggu...
ishak salim
ishak salim Mohon Tunggu... -

Peneliti Sosial - Politik Active Society Institute, Makassar Alumni Institute of Social Studies, The Netherlands

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepasang Pencinta Kretek di Negeri Kincir Angin

2 September 2016   18:41 Diperbarui: 2 September 2016   19:46 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ya dan jangan kau lupakan cengkehnya, kataku pada Anja. Cengkeh adalah tanaman endemik kepulauan Maluku Anja. Aku hampir saja bercerita tentang sejarah penjajahan atas nama cengkeh kepadanya. Tapi aku urungkan niat itu karena hanya akan membosankan Anja saja.

Aku lalu menceritakan tentang satu kampung di Minahasa. Namanya desa Masarang. Setiap panen raya cengkeh. Kampung ini nyaris kosong. 80 persen penduduknya pergi bekerja sebagai pemetik bunga cengkeh. Orang Minahasa menyebutnya tukang bapete cingke. Mereka pergi berkelompok-kelompok. Besarannya antar 20 – 40 orang perkelompoknya. Kampung mereka terletak di dataran tinggi di mana cengkeh tidak dapat berbunga dengan baik. Jadilah mereka pekerja pemetik bunga cengkeh. Di lahan-lahan perkebunan cengkeh yang luas mereka akan bertemu dengan keluarga-kelurga lain dari berbagai negeri. Ada yang berasal dari Kepulauan Sangihe dan Talaud, dan ada pula dari kepulauan Halmahera. Bahkan, banyak mahasiswa Universitas Sam Ratulangi di kota Manado datang mengais rezeki di bulan panen yang singkat. Mata rantai industri kretek ini teramat panjang Anja, begitu banyak orang bergantung hidup darinya. Jadi ada baiknya kalau upaya pengaturan rokok ini secara global tidak berlaku di Indonesia.

Anja menangkap emosi dari kalimatku yang meletup-letup. Untuk menenangkan diri aku berupaya menggodanya.

 “By the way, you are a part of Indonesia, Anja.” Aku menatapnya pura-pura serius.

“What do you mean, Iqbal?” Ia menatapku serius. Tapi aku tak menemukan ketajaman matanya, aku lagi-lagi menangkap bola mata jenaka itu.

“Remember, Anja. You smoke kretek and you drink Toraja coffee. Your lung and your brain are containing full of Indonesian agricultural commodities.” aku tertawa menggodanya. Tapi rupanya ia senang disebut bagian dari Indonesia. Ia menawarkan mengkretek di luar. Scarf hijau muda tebal melilitnya seolah ular piton sedang meringkuk tidur. Aku merogoh kantung tas punggungku. Meraih sebungkus kretek dan sebuah korek kayu. Kami meninggalkan tas dan laptop itu di meja dan melangkah ke luar gedung. Begitu pintu kampus ini ku tarik, angin musim dingin menyergap tubuh kami berdua.  

Ia seorang gadis Belanda yang tak begitu mengenal Indonesia. Ia bahkan tak begitu tahu atau tak mau tahu bagaimana nenek moyangnya dulu menjajah nenek moyangku. Tapi toh aku juga tak peduli. Masa lalu itu bukanlah masa laluku. Bukan pula masa lalunya. Aku hidup di masa yang mungkin jauh lebih kejam dari masa kelam kolonialisme. Aku tumbuh di masa penguasa terkuat Indonesia pasca kolonialisme Belanda, yaitu masa kolonialisme yang dibangun oleh the smiling general, Soeharto.

Dalam himpitan otoritarianisme rezim orde baru yang dibangun sang jenderal, kami yang mahasiswa saat itu memburu atau diburu, mencemari atau dicemari, menghilang atau dihilangkan. Kami berburu bacaan radikal dan anti kemapanan yang diedarkan secara diam-diam oleh entah siapa. Kami mencerna bacaan itu, mendiskusikannya sesama teman di koridor kampus, dan lalu mereproduksinya menjadi majalah dinding, pamphlet, atau koran kampus. Aku sendiri mencatatkan hari-hari di awal tahun 1998 itu dalam buku harianku.

Tapi sial, suatu hari di tahun 2002, hujan jatuh deras sekali dan air tergenang setinggi dada orang dewasa sekian jam. Aku tak di rumah saat itu dan 4 buku harianku selama kuliah membengkak dan huruf-hurufnya melesap atau membercak. Masa-masa pergerakan kalendestin atau ‘bawah tanah’ itupun tinggal menjadi kenangan yang satu persatu mulai terlupakan. Sesuatu yang tak kulupakan adalah kalimat Foucault bahwa ‘kekuasaan selalu melahirkan anti kekuasaan’. Dan kalimat itu benar adanya. Anti kekuasaan yang kami bangun berbulan-bulan di lokus masing-masing membawa kejatuhan rezim diktator ini. Walaupun aku tak begitu bangga, mengingat sang pemburu sudah cukup uzur saat itu. Keuzuran membawa orang pada kebijakan.

Kami menyalakan kretek bersama. Ia mengisap kretek berfilter dan aku memilih yang tak berfilter. Kretekku dikerjakan dengan tangan oleh perusahaan kretek kelas menengah yang tak diproduksi massal dan ia memilih kretek yang pembuatannya sudah melalui mekanisasi pabrik. Soal cita rasa, tentu nyaris sama. Aroma cengkeh dan aroma ekstrak buah-buah tertentu yang diracik dengan takaran saus tertentu.

Aku memberitahukan kepada Anja kalau akhir tahun lalu, pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau. Rupanya genderang perang kembali ditabuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun