“This is a very argumentative paper, iqbal.” Kamu berkata sambil mengacungkan lembaran artikel itu dengan tangan kirimu.
“So, what do you think, Anja? Is it make sense?” ujarku menyembunyikan bangga atas pujiannya barusan.
“Lah iyalah!” Katamu kemudian.
Caramu membuka pikiran orang mengenai isu-isu penting dibalik gerakan anti-tembakau benar-benar membuka pikiranku. Aku baru tahu kalau ternyata tembakau itu ada berbagai macam dengan segala kandungan tar dan nikotin yang berbeda antara tanah yang satu dengan tanah yang lain. Bahkan caramu mengurai aspek kesejarahannya sudah cukup meyakinkanku bahwa kualitas tembakau sangat ditentukan dengan kualitas tanahnya. Saat itu kau menyebut beberapa daerah dengan akses yang lucu: Jemberw, Madurwa, Soppeeng, Lombouk. Aku tersenyum geli dan kau tak menyadarinya.
Sayangnya, kandungan tarnya memang jauh lebih tinggi dari yang ditentukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia.
“It is not WHO actually,” kataku, “tapi para pengusaha rokok putih itu yang mengaturnya. Mereka memproduksi rokok putih dengan tembakau Virginia yang tarnya rendah, jadi dengan mengglobalkan aturan soal kandungan tar, maka akan banyak negara meninggalkan tembakau lokalnya dan mengimpor tembakau AS kalau mau memproduksi rokok.”
Lanjutku lagi, “i am not really believes WHO, Anja,” kataku pelan.
“One of its founder said that in WHO is only 10% doing Health, the rest is Politics!” kamu tertawa mendengar kesinisanku.
Rupanya dia menangkap di mana pikiranku berdiri dan berpihak.
"Indonesian Tobacco tar contains higher than Virginia tobacco. So if the Framework Convention on Tobacco Control regulates cigarette tar according to Virginia tobacco less than 10 milligrams then the Kretek will end up. Raw materials of Kretek are containing no less than 96 percent of local raw materials planted by farmers. Then slowly farmers will become proletariats" Dia mengemukakannya sambil membaca satu kalimat dalam artikelku.
“So, Kretek is the real Indonesia, Iqbal. That’s why you put the title here is the Kretek War!”