Melihat asap kretek mengepul dari mulutku kau pun membauinya berusaha menangkap aroma tembakau Srintil asal Temanggung dan bunga cengkeh dari kepulan asap itu.
Jika sudah membauinya, kau lantas menyalakan sebatang rokokmu. Oh tidak, kini kau tak merokok lagi. Kini kau mengkretek.
Aku ingat, suatu siang saat kita keluar dari ruang kelas untuk rehat sejenak sambil menunggu waktu mata kuliah rural livelihood and global change tiba. Di anak tangga kampus yang menghadap kanal, kamu tersadar kehabisan batang-batang rokok putihmu dan aku menawarkan kretek yang sengaja kubawa dari Indonesia. Lalu kaupun mencoba sebatang kretekku.
Kau mengeluarkan korek kayu made in Holland dari dalam tasmu. Mengambil sebatang kayu api itu menggeseknya di sisi kiri kotaknya. Begitu lidah api menjilat ujung kretek itu, kau menghisapnya dalam-dalam. Kau hampir saja terbatuk-batuk merasakan kerasnya aromanya. Ada suara gemeretak yang mampir di telingamu dan spontan kau terkejut nyaris berteriak, “what a funny voice!” Katamu tertawa heran.
“Itu suara bunga cengkeh kering terbakar. Itulah kenapa kami menyebutnya ‘kretek’. Yah karena suara itu. Rokok putihmu hanya tembakau dengan sedikit campuran daun mint. Sehingga suara daun tembakau terbakar lebih senyap nyaris tanpa suara.
Rupanya kau menyukainya. Amat menyukainya. Aromanya eksotik katamu. Lalu kau putuskan mengganti rokok putihmu dan beralih ke kretek. Membuatmu sedikit kesal mengingat harganya di toko tiga kali lipat dari harga rokokmu. Jika ke toko kau selalu menunjuk ke lemari kaca yang terkunci dan berkata, “Indonesian cigarette!”
Suatu hari di musim dingin, saat jalan dan taman di penuhi putih salju yang saling berjatuhan dari lautan awan putih di angkasa yang kontras dengan siluet hitam pepohonan yang telanjang tanpa dedaunan rindang. Kita duduk berhadapan di coffee lounge kampus. Kau menemaniku mengerjakan sebuah paper yang ditugaskan oleh Professor Des Gasper pada mata kuliah yang kita ambil bersama. Saat itu aku sedang menyelesaikan makalah tentang perseteruan kelompok seputar penerapan Syariat Islam di Bulukumba.
Sebuah headset berwarna putih menempel di kedua daun telingamu yang berbulu halus. Dari jenjang lehermu aku merasakan aroma melati menyeruak menyamankan perasaanku. Kamu melirik paper yang baru saja kucetak dari mata kuliah yang lain dan siap kukumpul di akhir menit pukul lima sore ini.
Kamu mengeja judulnya, “Kretek War: An overview on the political economy perspective” dan buru-buru meraihnya. Aku tahu kau begitu tertarik dengan judul itu dan ingin membacanya. Aku membiarkan kau meraihnya dan mengulum senyum tanpa mengalihkan pandang dari layar laptopku.
Suasana di coffee lounge kampus ISS sunyi sekian menit tanpa suaramu. Kau tenggelam dalam bacaanmu tentang ‘Perang kretek’.
Saat itu, nyaris seluruh lembar saham PT HM Sampoerna sudah beralih ke tangan pengusaha rokok putih raksasa, ‘Philip Morris’ milik pengusaha asal Amerika Serikat. Sebuah peralihan yang menyakitkan. Walau aku tak punya sedikitpun keterkaitan dengan perusahaan kretek itu, miris rasanya menyadari hajat hidup orang banyak ini beralih ke tangan orang asing. Pemilik Sampoerna memang seorang Tionghoa dari Kudus. Tapi walau ia seorang Tionghoa, dia berkebangsaan Indonesia.