Mohon tunggu...
ishak salim
ishak salim Mohon Tunggu... -

Peneliti Sosial - Politik Active Society Institute, Makassar Alumni Institute of Social Studies, The Netherlands

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kakao, Cokelat dan Beberapa Pertanyaan yang Rumit

29 Desember 2015   00:01 Diperbarui: 4 April 2017   16:43 2536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orang-orang Lombok pembuat bata merah pun diuntungkan oleh pilihan negara ini membangun bangsa dengan mengandalkan bangunan-bangunan dan pagar-pagar batu yang membutuhkan barisan batu-bata yang dibuat dengan membakar berjuta pepohonan yang diambil dari hutan entah di mana. Orang-orang kampung selalu saja terjebak untuk larut menuruti nasihat atau ‘paksaan’ dari orang-orang yang bermimpi mengubah keadaan menjadi lebih baik di luar sana.

Tanahpun semakin kepayahan di tengah nafsu orang-orang yang mendambakan rumah dan istana yang mentereng, aneka penganan dari cokelat yang mewah dan penuh gengsi. Petani kakao dan pembuat batu merah mengikuti nafsu-nafsu itu dan lalu seperti tak mau berhenti meracuni dan membakar tanah. Jika itu tidak dilakukan, hampir mustahil orang-orang ini bisa bertahan hidup. Ilmu mereka sepertinya hanya mumpuni soal tanah dan tanaman berikut bagaimana meracuni dan membakarnya. Kemampuan perlakuan secara organik terhadap tanah dan tanaman nyaris menjadi mantra yang kehilangan kemujaraban.

Lebih miris lagi kalau petani mengucapkannya dengan bergumam atau bahkan sudah tak percaya sama sekali. Padahal jika petani mau dan ada pihak yang bersedia bersamanya untuk sekian waktu yang agak panjang, mereka sesungguhnya punya seperangkat pengetahuan dan dapat menguak permasalahan seputar tanah, tanaman dan rumah tangganya sampai merumuskan langkah-langkah untuk mengatasinya berdasarkan kemampuan yang ada pada diri mereka sendiri. Sayangnya, kekuatan ini berserakan dan menunggu ada pihak yang kiranya mampu merekatkannya satu persatu.

Di luar mereka, ada beratus-ratus orang sekampung bergantung kepada pola produksi yang mereka lakoni dan ribuan atau jutaan orang di luar kampung mereka. Kakao kering membutuhkan truk-truk pengangkut plus para sopir dan kernetnya, pabrik-pabrik pengolahan kakao dan para pegawai maupun buruhnya, pabrik-pabrik produsen cokelat berikut pegawai dan buruhnya, toko-toko minimarket sampai hypermarket yang menjajakan berbagai jenis rasa cokelat oleh berjuta penjaga tokonya, dan tak hanya itu juga beribu kapal dan pesawat pengangkut cokelat dan membawanya ke berbagai belahan dunia. Mereka saling menghidupi dalam rantai produksi dan pemasaran yang panjang ini.

Sepanjang orang-orang di Benua Eropa, Amerika dan Australia serta orang-orang kota di Republik ini masih ingin menikmati manisnya rasa cokelat tanpa kepedulian, maka jangan harap penyiksaan atas tanah berhenti di desa ini dan desa-desa sekitarnya. Beruntung Indonesia masih tak separah negara Pantai Gading dan beberapa negara di Afrika yang juga memproduksi buah kakao. Konon, untuk memacu produksi pohon kakao, anak-anak dari desa-desa miskin diperdagangkan dan hidup di tanah-tanah perkebunan yang jauh dari kampung mereka dalam situasi kerja paksa yang melelahkan.

Di Cendana Hijau, ada delapan kelompok tani. Setiap kelompok memiliki sedikitnya 20 sampai 40 petani. Total luas lahan untuk tanaman kakao mencapai 256,25 hektar. Itu baru kelompok tani kakao, belum termasuk kelompok tani sawah dan palawija, kelompok ternak, dan kelompok petambak. Menurut seorang petani kakao asal Bugis, bukan hanya petani kakao rakus akan pupuk kimia, para petambak bahkan jauh lebih rakus menabur pupuk kimiawi di tambak-tambak mereka.

Besaran pupuk yang mereka butuhkan dalam sekali tabur adalah 76,1 ton untuk Urea, 152,5 ton untuk pupuk NPK, berates ton untuk pupuk jenis lain seperti kapur dan berkilo-kilo liter cairan pestisida atau herbisida. Dalam setahun mereka setidaknya melakukannya paling sedikit tiga kali. Mereka memang juga membutuhkan pupuk organik yang ramah terhadap tanah, tetapi tingkat kepercayaan mereka terhadap sentuhan organik sudah jauh menurun.

“Memang tidak ada kalah kalau pupuk dari toko,” begitu kata seorang petani di sana.

Ada anekdot di kalangan petani kakao yang sudah menjadi pengetahuan umum.

“Kalau bukan Pundakmu yang keras, buah kakaomu yang keras!”

Maksudnya, jika engkau rajin memanggul tangki semprotan kimia untuk meracuni pepohonan kakao-mu sampai pundakmu mengeras karena terbiasa menahan beban tangki, maka kakaomu terhindar hama dan penyakit dan akan lembek dan berharga mahal. Namun, jika pundakmu tetap lembek akibat kurang memanggul tangki untuk penyemperotan, maka buah-buah kakaomulah yang mengeras dan tak berharga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun