Mohon tunggu...
ishak salim
ishak salim Mohon Tunggu... -

Peneliti Sosial - Politik Active Society Institute, Makassar Alumni Institute of Social Studies, The Netherlands

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Catatan Atas Sejumlah Cacat Pemilu 2014

12 April 2014   08:24 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:46 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13972411711997986814

PEMILU 2014 SUDAH berlangsung dengan penuh gegap gempita. Beberapa jam setelah pencoblosan selesai sejumlah televisi nasional merilis perhitungan suara cepat oleh beberapa lembaga survei ternama. Jutaan pasang mata memandangi partai mana gerangan yang meraup suara terbanyak. Tulisan ini tidak ingin menambah pembahasan siapa menang siapa kalah. Jika bagi Imelda Marcos “win or lose in election, we go shoping!” maka bagi pemilih difabel pernyataannya “siapapun pemenang dalam pemilu, pemilu belum aksesibel bagi penyandang disabilitas”.

Foto: Armin Hari, Lokasi: Salah satu TPS di Kabupaten Sleman DI Yogyakarta saat Pemilu 2014 berlangsung.

Saat hari pencoblosan, di 4 daerah meliputi provinsi Sulawesi Selatan, Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Kalimantan Timur, Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) bersama sejumlah organisasi penyandang disabilitas melakukan pemantauan pemilu. Fokus pemantauan tertuju pada seberapa aksesibel pemilu kali ini berlangsung. Isu disabilitas dalam pemilu memang sudah menguat sejak satu dekade lalu. Sejak tahun 2004, pemilu saat itu sudah memasukkan isu pentingnya mempertimbangkan aspek aksesibilitas pemilu. Namun pemilu 2014, sepuluh tahun sejak isu disabilitas digaungkan, perhelatan pemilu belum beranjak dari ketidakberpihakan pada difabel.

Petugas KPPS tak sensitif disabilitas

Di hari pencoblosan, pemantau mengamati bagaimana petugas KPPS bekerja. Jauh sebelumnya, organisasi penyandang disabilitas berhubungan dengan KPU dan Bawaslu baik di tingkat pusat maupun daerah. Hari H Pencoblosan, amatan pemantau tertuju pada bagaimana petugas KPPS menyiapkan TPS dan bekerja melayani pemilih.

Dari hasil pantauan, setidaknya terdapat sejumlah kelemahan KPPS dalam menfasilitasi pemilih . Kelemahan itu dapat diklasifikasi ke dalam beberapa kategori, yakni Petugas KPPS kurang memiliki perspektif difabilitas, kurang teliti, dan kurang ramah.

Petugas KPPS umumnya kurang memiliki kepekaan terhadap isu disabilitas. Hal ini berimplikasi pada cara mereka menata ruang dan mempersiapkan segala kebutuhan pemilih saat proses pencoblosan berlangsung. Hal yang paling nyata terlihat saat memasuki lokasi TPS adalah adanya tangga yang harus dilewati pemilih. Tangga selalu menjadi hambatan fisik utama pengguna kursi roda, pengguna kruk, dan orang tua yang telah renta. Namun kekurangpekaan bahwa kebutuhan setiap orang berbeda membuat desain TPS menjadi tidak aksesibel. Akibatnya pemilih dengan disabilitas daksa yang merupakan pemilih difabel terbesar di negeri ini menjadi pemilih yang harus siap menerima jasa baik orang lain yang seharusnya tak perlu.

Terkadang bahkan hambatan itu berlapis-lapis. Di Yogyarta, tepatnya di salah satu TPS di kelurahan Bangun Kerto, Sleman ketidakaksesibilitas itu tampak mulai saat pemilih hendak menyerahkan surat pemilih di bagian pendaftaran. Nyaris seluruh pemilih rentan seperti orang tua jompo yang sudah bungkuk dan difabel dengan kursi roda atau tongkat, dan orang buta terpaksa meminta tolong atau dibantu seseorang untuk meletakkan surat pilihnya dan mengantri secara normal.

Dalam beberapa temuan di sejumlah TPS, sejumlah kekurangtelitian petugas KPPS juga terlihat. Contoh kecil soal perlunya menyodorkan form C3 bagi setiap pendamping yang bersedia membantu seorang pemilih difabel atau pemilih lansia memilih. Akibatnya, setiap pendamping akan kehilangan tuntutan pidana jika sewaktu-waktu ia membocorkan rahasia seseorang. Hal ini masuk kategori ketidaktelitian petugas dalam melihat segala perlengkapan pemilihan untuk pemilih. Bantuan memperagakan alat bantu mencoblos bagi pemilih netra kerap lewat begitu saja tanpa pemberitahuan sama sekali.

Dalam beberapa kasus, jika bukan karena pemilih netra yang memintanya (dimana pemilih pernah mengikuti sosialisasi penggunaan template atau setidaknya mengetahui informasi tentang itu) maka penggunaan alat bantu mencoblos itu tak akan berguna sama sekali. Di satu sisi, KPU sebenarnya juga hanya menyediakan alat bantu mencoblos bagi kertas suara DPD RI dan tidak bagi tiga kertas suara lainnya. Di Makassar, berdasarkan pantauan di sana, keberadaan alat bantu mencoblos bagi DPD RI bahkan tak sampai ke TPS sama sekali. Lagi-lagi difabel harus didampingi bahkan dengan pendampingan tanpa kerahasiaan (Form C3 tidak diberikan apalagi ditandatangani).

Sikap KPPS yang kurang ramah terhadap pemilih [maupun pemantau] juga ditemukan di lokasi pemantauan. Suasana pencoblosan menjadi tak nyaman karena terkadang pemilih diminta untuk buru-buru melakukan pencoblosan dengan alasan antria yang cukup panjang. Pengalaman lain sikap KPPS berubah masam begitu mengetahui di wilayahnya ada tim pemantau. Beberapa tim pemantau SIGAB di daerah menyatakan bahwa mereka terkesan dicurigai sedang melakukan investigasi atau hendak membongkar segala kekurangan mereka.

Sikap KPPS yang demikian sepatutnya tidak terjadi dan sudah seyogianya terjalin kerjasama yang erat antara pelaksana, pengawas, saksi, dan pemantau.

Form C3 yang diabaikan
Bagi pemilih difabel, pilihan antara memilih secara mandiri atau didampingi kerap jatuh pada pilihan kedua. Bagi kebanyakan orang, pendampingan dianggap sebagai bentuk kesukarelawanan, namun bagi kaum difabel pendampingan bisa pula berarti kebergantungan atau bahkan ketidakberuntungan. Ketiadakberuntungan pertama bahwa pilihannya menjadi bukan rahasia lagi. Memang ada form C3 yang menjamin pilihan seorang difabel atau pemilih renta dan rentan akan dirahasiakan oleh pendamping, namun sayangnya form ini justru yang paling sering diabaikan oleh petugas KPPS. Pengabaian ini terjadi dengan berbagai alasan, dua diantaranya karena memang petugas KPPS mengabaikannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja, maupun karena si petugas tak peka terhadap hak-hak penyandang disabilitas.

Kurangnya sosialisasi Form C3 menambah daftar panjang rendahnya tingkat sosialisasi pemilu oleh KPU. Sejumlah pemilih rentan lainnya dalam proses pemantauan memperlihatkan bagaimana pemilih perempuan di desa-desa yang sudah berusia antara 40 - 60 tahun tak tahu apa-apa soal pilihan dan cara memilih.

Data pemantauan menunjukkan bahwa untuk alat coblos yang disediakan oleh KPU RI sekalipun, yakni di tingkat DPD, ketersediaanya di TPS, khususnya di TPS di mana pemantauan berlangsung hanyalah 58%. Itu berarti pemilih difabel netra nyaris setengahnya tetap tak bisa menikmati dengan kemampuan sendiri melakukan pencoblosan sebagaimana laiknya pemilih lain.

KPU Pusat sebenarnya tidak menyediakan alat bantu mencoblos selain bagi kertas suara DPD - RI. Maka, jika dalam tabel itu terlihat data adanya template di tingkat DPR-RI, DPRD Provinsi dan kabupaten/kota, maka dipastikan data itu berasal dari DI Yogyakarta di mana ada sejumlah daerah (kota dan kabupaten) yang anggota KPU nya berinisiatif membuatkannya. Untuk KPUD yang telah mengambil diskresi membuat alat bantu mencoblos, kami mengucapkan salut atas kinerja itu betapapun masih ada sejumlah kekurangan, dan berharap pada pemilu mendatang ketersediaan alat bantu ini sudah semakin massif dan terlaksana dengan baik.

Pemilih yang [harus] merangkak ke TPS

Banyak TPS di wilayah pemantauan tidak aksesibel bagi pemilih difabel. Jika terpaksa tidak bisa melakukan sendiri, maka mereka akan dipapah. Tetapi pemilih difabel yang menganggap kemandirian adalah yang utama akan rela merangkak menuju bilik suara. Tetapi pemilih yang benar-benar menyerah dengan lingkungan yang tidak didesain secara aksesibel harus menunjuk salah satu pendamping yang tersedia.

Dari data pantauan, ketidakaksesibilitas TPS tergambar dari lantainya yang berumput tebal, atau aksesnya bertangga-tangga, licin, serta terdapat selokan tanpa titian. Belum lagi jika pemilih harus menuju kotak suara yang relatif tinggi bagi pengguna kursi roda yang sulit berdiri. Biasanya, jika petugas KPPS tidak menurunkan posisi kotak suara maka lagi-lagi petugas harus membantunya.

Selain berundak-undak dan berumput tebal, salah satu kebutuhan pemilih dengan kursi roda adalah ruang yang lapang. Ada banyak TPS yang tidak didesain secara lapang sehingga pengguna kursi sulit bergerak. Jarak antara bilik satu dengan bilik lainnya tidak disesuaikan dengan lebar kursi roda yang membutuhkan sekurang-kurangnya 80 cm.

Pilihan Anda Tak Terjamin Kerahasiaannya

Sejumlah TPS memiliki bilik suara yang saling berdekatan antara satu dengan lainnya. Ada pula bilik suara yang tanpa sekat sehingga dari sisi lain pilihan seseorang dengan mudah dilihat orang lain. Sebenanrya kerahasiaan pilihan ini tak begitu bermasalah jika kita hidup dalam alam masyarakat yang terbuka. Sayangnya, bagi banyak masyarakat Indonesia, peristiwa politik adalah peristiwa yang tabu dan menjadi sangat pribadi. Ini karena zaman orde baru lalu menempatkan politik dan berpolitik sebagai tindakan yang berbahaya, sehingga kekuasaan ini meredam orang untuk tak perlu berpolitik dan fokus saya kepada pekerjaan dan dunia profesionalitas lainnya. Jadi dalam alam demokrasi kita yang belum begitu jauh beranjak dari alam otoritarian, maka kerahasiaan pilihan menjadi penting adanya.

Berikut sejumlah bentuk ketidakaksesaan TPS, meliputi [1] Desain Bilik suara yang berdekatan satu sama lain, [2] Desain bilik suara tanpa sekat, [3] TPS berada di lorong pemukiman yang sempit, [4] Meja pencoblosan di bilik suara tidak kokoh sementara pemilih difabel daksa tertentu membutuhkan tumpuan berpengangan yang relatif kokoh. Dan [5] Desain kotak suara yang terlalu tingi bagi pemilih difabel daksa.

Mana Alat Bantu Mencoblos, saya?

Pemilih difabel netra punya cara sendiri melakukan pencoblosan dan pihak KPU punya sejumlah alasan untuk meniadakan alat bantu. Hilanglah manfaat satu pengetahuan manusia, yakni pengetahuan para difabel netra dalam pemilu. Mereka dapat membaca dan menulis, bahkan mencoblos sekalipun.

Mengapa KPU tidak menyediakan alat bantu mencoblos? Ini adalah pertanyaan sederhana dengan sejumlah jawaban apologetik dari pihak KPU. Mulai dari alasan teknis pembuatan (yang tentu saja bukan ranah pengetahuannya) sampai pada soal ketiadaan anggaran menjadi alasan pihak KPU untuk melanggar ketentuan hukumnya sendiri. Pemilu menjadi tidak aksesibel bagi pemilih difabel. Ini adalah bentuk ketidakpedulian anggota KPU kepada pemilih difabel.

Parahnya, ketidakpedulian ini merembet ke jajaran KPU di bawahnya hingga tingkat TPS. Dalam pemantauan kami, tampak bahwa hanya 36,90% petugas KPPS menawarkan bantuan pendampingan dan 42,86% yang memberi keleluasaan kepada pemilih difabel untuk menentukan sendiri pendampingnya. Sayangnya, angka kesiagaan petugas KPPS dalam menyediakan form C3 kepada pendamping pemilih netra amat rendah. Hanya 30,95% pendamping yang disodori form C3 untuk berikrar atau bersumpah menjaga rahasia pilihan dampingannya. Juga pada angka yang sama yakni 30,95% petugas KPPS memberitahukan kepada pemilih netra mengenai ketersediaan alat bantu mencoblos dan cara memakainya.

Sejumlah temuan lain yang juga penting adalah kualitas alat bantu mencoblos yang sudah disediakan oleh KPU dan beberapa KPU Daerah rupanya masih menyimpan sejumlah kelemahan, yakni ketidaksesuain antara besara kertas suara dengan template sehingga memungkinkan titik coblos bergeser dari yang diinginkan.

Aku Bukan Tontonan!

Pemilih dengan disabilitas daksa punya cara yang berbeda-beda memasuki lokasi TPS. Ada yang menggunkan kursi roda, ada yang menggukana kruk, ada yang memakai tongkat kayu, dan ada pula yang merangkak. Perhatian pemilih pada umumnya tertuju kepada mereka saat memasuki lokasi TPS. Pandangan semakin terpusat ketika pemilih difabel daksa tampak berupaya keras melampaui hambatan-hambatan di depannya. Rumput tebal, jalan becek, selokan tanpa titian, dan jalan berundak-undak harus mereka lewati satu persatu. Pun demikian saat memasuki bilik suara. Mencoblos di hari pemilu membuat mereka jadi tontonan.

Mengapa hal ini terjadi? Jelas karena lokasi TPS yang tidak didesain dengan baik dan aksesibel. Jika TPS didesain dengan baik, maka kemudahan demi kemudahan tak akan membuat mereka jadi tontonan karena mereka akan mudah melewati seluruh tahap menuju bilik suara sebagaimana laiknya pemilih lain. Ketidakaksesibilitas juga memungkinkan pilihan mereka tidak rahasia. Meja pencoblosan yang tinggi membuat mereka mencoblos kertas suara yang diletakkan di atas pahanya. Tentu akan mudah terlihat oleh pemilih lain di bilik suara berbeda.

Data pemantauan menunjukkan bahwa mayoritas pemilih difabel daksa kesulitan mengikuti pencoblosan. Terdapat 75% mengalami kesulitan dan hanya 25% diantara yang tidak menemui kesulitan. Tingkat kemudahan melakukan pencoblosan tentu berdasarkan dengan tingkat keparahan difabilitas seseorang. Namun seharusnya pemilu ini menggunakan desain universal di mana semua orang dengan tingkat kesulitan apapun dapat memilih tanpa kendala. Itulah tugas penyelenggara pemilu. Semua orang berhak atas kemudahan akses dalam pemilu sekalipun.

Mengenai form C3 bagi pendamping pemilih dengan difabel daksa angkanya sama negatifnya dengan pemilih difabel netra. Kerahasiaan mereka tetap tidak terjamin karena form C3 lebih kerap diabaikan dari pada diajukan.

Colek saja, atau beri bahasa Isyarat!

Pemilih difabel Rungu/wicara tak begitu menyolok dibandingkan dengan pemilih difabel lainnya. Namun bukan karena itu maka tidak ada temuan pelanggaran bagi mereka. Hambatan pemilih difabel rungu/wicara umumnya muncul di tahap-tahap awal pemilu. Hambatan informasi merupakan hambatan besar mereka, khususnya jika pilihan informasi mengandalkan pada visual dan audio. Kampanye terbuka tabpa penterjemah bahasa isyarat adalah kampanye senyap bagi difabel rungu wicara. Begitupula gegap gempita kampanye dan perdebatan politik para kandidat di televisi tak ada ubahnya gelap gulita bagi difabel netra. Untuk itu kurangnya ragam media komunikasi dalam sosialisasi pemilu, kampanye pemilu dan lain sebagainya bagi seluruh jenis disabilitas pemilih difabel akan menambah angka diskriminasi politik di Indonesia.

Jika sudah di lokasi TPS, maka pihak KPPS yang telah mengetahui keberadaan pemilih difabel rungu wicara dapat sekadar menunjukkan tulisan namanya di sebuah kertas HVS atau memberinya isyara dari jauh, tau bila perlu bangkitlah dan colek punggungnya atau beri tepukan lembut dipunggungnya. Itulah bahasa pemanggilan yang santu bagi difabel rungu-wicara ketimbang teriakan keras-keras yang mengundang tawa pemilih lainnya.

Pemilih yang tak [diharapkan] memilih

Pemilih difabel Mental Intelektual dan pemilih difabel gangguan sosial merupakan corak pemilih yang tak banyak mendapat perhatian. Jika ketiga jenis disabilitas sebelumnya banyak mendapat perhatian dalam pemilu ini, maka kedua jenis disabilitas ini sering hilang dalam program pemilu, baik dari aspek pendidikan politik pemilih maupun tata cara melakuakn pencoblosan.

Dalam pemantauan ini, tak banyak informasi yang bisa diperoleh dengan kategori pemilih dengan jenis disabilitas keduanya. Di Makassar, salah satu wilayah pemantauan yang menjadi fokus adalah di Rumah Sakit Daerah atau yang biasa dikenal dengan Rumah Sakit Jiwa Dadi. Di rumah sakit ini, terdapat sejumlah pasien dengan difabilitas mental intelektual dan gangguan sosial. Sayangnya KPU daerah memutuskan tak ada TPS di rumah sakit, termasuk di rumah sakit terbesar di Makassar, RS Wahidin Soedirohusodo. Rahman, aktifis Faham Penca dan seorang difabel netra di Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa setidaknya lebih 2000 pasien tidak menggunkan hak pilihnya di hari H pencoblosan.

Kedua pemilih difabel ini memang membutuhkan pendekatan khusus dalam meningkatkan kapasitas pengetahuan politik mereka. Sayangnya, sedikitpun KPU memiliki konsep untuk menyediakan sebuah model pendidikan pemilih bagi kedua jenis disabilitas ini. Kendala lain juga berasal dari keluarga kedua jenis disabilitas ini yang memiliki keterbatasan dalam memberikan pendidikan politik dalam keluarga, khususnya dan pendidikan sosial pada umumnya. Dampaknya dapat dirasakan saat beberapa diantara mereka datang ke TPS dengan maksud mencoblos. Setiba di lokasi TPS, ada pemilih dengan mental intelektual lari meninggalkan TPS karena sejumlah alasan yang tidak diketahui. Ada pula seorang tuna grahita bernama Fitri yang terdaftar sebagai pemilih namun tidak datang ke TPS karena pihak keluarganya tidak menemaninya dan di sisi lain pihak KPPS tidak pro-aktif menemuinya atau setidaknya menyediakan TPS keliling.

Mayoritas pemilih difabel mental intelektual dan difabel psiko sosial memilih golput, bukan karena soal motivasi yang rendah akan politik, namun karena sistem yang membuat mereka memilih dengan cara tak datang ke TPS atau lari dari TPS.

Sejumlah Rekomendasi

Temuan di atas menunjukkan betapa jaminan aksesibilitas masih sangat kurang dalam penyelenggaraan PILLEG 2014. Berdasarkan temuan di atas, beberapa rekomendasi di bawah ini hendaknya bisa menjadi pertimbangan:

Pertama, Penyelenggara PEMILU hendaknya lebih aktif dalam memastikan penempatan TPS pada lokasi yang aksesibel dan mudah terjangkau oleh difabel. Sosialisasi tentang aksesibilitas PEMILU yang berdasarkan pemantauan terrasa sangat kurang hendaknya dapat lebih ditingkatkan dan dipastikan untuk sampai kepada KPPS. Selain itu, peran Badan Pengawas PEMILU (BAWASLU) dalam memastikan prosedur pemilihan lokasi tPS yang aksesible juga hendaknya ditingkatkan. Sampai sekarang ini, peran BAWASLU hampir tak terlihat dalam memastikan terpenuhinya penyelenggaraan PEMILU yang aksesibel.

Kedua, Penyelenggara PEMILU hendaknya bersungguh-sungguh dalam mengimplementasikan PEMILU aksesibel melalui pengadaan berbagai kebutuhan logistic seperti alat bantu pencoblosan pada setiap kertas suara. Ketersediaan template yang hanya pada kertas suara DPD dengan distribusi yang tidak merata membuktikan bahwa penyelenggara PEMILU, dalam hal ini terutama KPU masih setengah hati dalam menjamin pemenuhan hak politik Difabel sebagaimana jelas tercantum dalam Undang-Undang ratifikasi CRPD No.19 tahun 2011, Undang-Undang HAM, serta Undang-Undang no.8 tahun 2012. Artinya, ini berarti bahwa KPU menghianati mandate yang sebenarnya secara konstitusi dibebankan kepadanya.

Ketiga, Penting kiranya agar dilakukan perbaikan sistemik dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Di luar temuan-temuan yang secara spesifik diperoleh dari pemantauan ini, berbagai tahapan masih sangat mengesampingkan Difabel mulai dari pendataan pemilih dan seterusnya hingga pada tahap pencoblosan. Beberapa contoh inisiatif seperti pengadaan template DPRRI oleh KPUD DIY, serta template DPRD Kota oleh KPUD Kota Yogya hanya merupakan solusi responsive yang tidak menjawab permasalahan yang mendasar. Sementara itu, keterlibatan Difabel mulai dari perencanaan hingga proses pelaksanaan PEMILU masih sangat minim. Dengan banyaknya permasalahan yang dari PEMILU ke PEMILU terus terjadi tan belum terjawab, keterlibatan Difabel kiranya penting untuk dipertimbangkan.

Keempat, Penyelenggara PEMILU hendaknya juga lebih terbuka dengan ide-ide inovatif terkait system dan penyelenggaraan PEMILU yang inklusif untuk dapat memastikan peningkatan partisipasi semua masyarakat dalam PEMILU mendatang[].

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun