Sejumlah TPS memiliki bilik suara yang saling berdekatan antara satu dengan lainnya. Ada pula bilik suara yang tanpa sekat sehingga dari sisi lain pilihan seseorang dengan mudah dilihat orang lain. Sebenanrya kerahasiaan pilihan ini tak begitu bermasalah jika kita hidup dalam alam masyarakat yang terbuka. Sayangnya, bagi banyak masyarakat Indonesia, peristiwa politik adalah peristiwa yang tabu dan menjadi sangat pribadi. Ini karena zaman orde baru lalu menempatkan politik dan berpolitik sebagai tindakan yang berbahaya, sehingga kekuasaan ini meredam orang untuk tak perlu berpolitik dan fokus saya kepada pekerjaan dan dunia profesionalitas lainnya. Jadi dalam alam demokrasi kita yang belum begitu jauh beranjak dari alam otoritarian, maka kerahasiaan pilihan menjadi penting adanya.
Berikut sejumlah bentuk ketidakaksesaan TPS, meliputi [1] Desain Bilik suara yang berdekatan satu sama lain, [2] Desain bilik suara tanpa sekat, [3] TPS berada di lorong pemukiman yang sempit, [4] Meja pencoblosan di bilik suara tidak kokoh sementara pemilih difabel daksa tertentu membutuhkan tumpuan berpengangan yang relatif kokoh. Dan [5] Desain kotak suara yang terlalu tingi bagi pemilih difabel daksa.
Mana Alat Bantu Mencoblos, saya?
Pemilih difabel netra punya cara sendiri melakukan pencoblosan dan pihak KPU punya sejumlah alasan untuk meniadakan alat bantu. Hilanglah manfaat satu pengetahuan manusia, yakni pengetahuan para difabel netra dalam pemilu. Mereka dapat membaca dan menulis, bahkan mencoblos sekalipun.
Mengapa KPU tidak menyediakan alat bantu mencoblos? Ini adalah pertanyaan sederhana dengan sejumlah jawaban apologetik dari pihak KPU. Mulai dari alasan teknis pembuatan (yang tentu saja bukan ranah pengetahuannya) sampai pada soal ketiadaan anggaran menjadi alasan pihak KPU untuk melanggar ketentuan hukumnya sendiri. Pemilu menjadi tidak aksesibel bagi pemilih difabel. Ini adalah bentuk ketidakpedulian anggota KPU kepada pemilih difabel.
Parahnya, ketidakpedulian ini merembet ke jajaran KPU di bawahnya hingga tingkat TPS. Dalam pemantauan kami, tampak bahwa hanya 36,90% petugas KPPS menawarkan bantuan pendampingan dan 42,86% yang memberi keleluasaan kepada pemilih difabel untuk menentukan sendiri pendampingnya. Sayangnya, angka kesiagaan petugas KPPS dalam menyediakan form C3 kepada pendamping pemilih netra amat rendah. Hanya 30,95% pendamping yang disodori form C3 untuk berikrar atau bersumpah menjaga rahasia pilihan dampingannya. Juga pada angka yang sama yakni 30,95% petugas KPPS memberitahukan kepada pemilih netra mengenai ketersediaan alat bantu mencoblos dan cara memakainya.
Sejumlah temuan lain yang juga penting adalah kualitas alat bantu mencoblos yang sudah disediakan oleh KPU dan beberapa KPU Daerah rupanya masih menyimpan sejumlah kelemahan, yakni ketidaksesuain antara besara kertas suara dengan template sehingga memungkinkan titik coblos bergeser dari yang diinginkan.
Aku Bukan Tontonan!
Pemilih dengan disabilitas daksa punya cara yang berbeda-beda memasuki lokasi TPS. Ada yang menggunkan kursi roda, ada yang menggukana kruk, ada yang memakai tongkat kayu, dan ada pula yang merangkak. Perhatian pemilih pada umumnya tertuju kepada mereka saat memasuki lokasi TPS. Pandangan semakin terpusat ketika pemilih difabel daksa tampak berupaya keras melampaui hambatan-hambatan di depannya. Rumput tebal, jalan becek, selokan tanpa titian, dan jalan berundak-undak harus mereka lewati satu persatu. Pun demikian saat memasuki bilik suara. Mencoblos di hari pemilu membuat mereka jadi tontonan.
Mengapa hal ini terjadi? Jelas karena lokasi TPS yang tidak didesain dengan baik dan aksesibel. Jika TPS didesain dengan baik, maka kemudahan demi kemudahan tak akan membuat mereka jadi tontonan karena mereka akan mudah melewati seluruh tahap menuju bilik suara sebagaimana laiknya pemilih lain. Ketidakaksesibilitas juga memungkinkan pilihan mereka tidak rahasia. Meja pencoblosan yang tinggi membuat mereka mencoblos kertas suara yang diletakkan di atas pahanya. Tentu akan mudah terlihat oleh pemilih lain di bilik suara berbeda.
Data pemantauan menunjukkan bahwa mayoritas pemilih difabel daksa kesulitan mengikuti pencoblosan. Terdapat 75% mengalami kesulitan dan hanya 25% diantara yang tidak menemui kesulitan. Tingkat kemudahan melakukan pencoblosan tentu berdasarkan dengan tingkat keparahan difabilitas seseorang. Namun seharusnya pemilu ini menggunakan desain universal di mana semua orang dengan tingkat kesulitan apapun dapat memilih tanpa kendala. Itulah tugas penyelenggara pemilu. Semua orang berhak atas kemudahan akses dalam pemilu sekalipun.