Sikap KPPS yang kurang ramah terhadap pemilih [maupun pemantau] juga ditemukan di lokasi pemantauan. Suasana pencoblosan menjadi tak nyaman karena terkadang pemilih diminta untuk buru-buru melakukan pencoblosan dengan alasan antria yang cukup panjang. Pengalaman lain sikap KPPS berubah masam begitu mengetahui di wilayahnya ada tim pemantau. Beberapa tim pemantau SIGAB di daerah menyatakan bahwa mereka terkesan dicurigai sedang melakukan investigasi atau hendak membongkar segala kekurangan mereka.
Sikap KPPS yang demikian sepatutnya tidak terjadi dan sudah seyogianya terjalin kerjasama yang erat antara pelaksana, pengawas, saksi, dan pemantau.
Form C3 yang diabaikan
Bagi pemilih difabel, pilihan antara memilih secara mandiri atau didampingi kerap jatuh pada pilihan kedua. Bagi kebanyakan orang, pendampingan dianggap sebagai bentuk kesukarelawanan, namun bagi kaum difabel pendampingan bisa pula berarti kebergantungan atau bahkan ketidakberuntungan. Ketiadakberuntungan pertama bahwa pilihannya menjadi bukan rahasia lagi. Memang ada form C3 yang menjamin pilihan seorang difabel atau pemilih renta dan rentan akan dirahasiakan oleh pendamping, namun sayangnya form ini justru yang paling sering diabaikan oleh petugas KPPS. Pengabaian ini terjadi dengan berbagai alasan, dua diantaranya karena memang petugas KPPS mengabaikannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja, maupun karena si petugas tak peka terhadap hak-hak penyandang disabilitas.
Kurangnya sosialisasi Form C3 menambah daftar panjang rendahnya tingkat sosialisasi pemilu oleh KPU. Sejumlah pemilih rentan lainnya dalam proses pemantauan memperlihatkan bagaimana pemilih perempuan di desa-desa yang sudah berusia antara 40 - 60 tahun tak tahu apa-apa soal pilihan dan cara memilih.
Data pemantauan menunjukkan bahwa untuk alat coblos yang disediakan oleh KPU RI sekalipun, yakni di tingkat DPD, ketersediaanya di TPS, khususnya di TPS di mana pemantauan berlangsung hanyalah 58%. Itu berarti pemilih difabel netra nyaris setengahnya tetap tak bisa menikmati dengan kemampuan sendiri melakukan pencoblosan sebagaimana laiknya pemilih lain.
KPU Pusat sebenarnya tidak menyediakan alat bantu mencoblos selain bagi kertas suara DPD - RI. Maka, jika dalam tabel itu terlihat data adanya template di tingkat DPR-RI, DPRD Provinsi dan kabupaten/kota, maka dipastikan data itu berasal dari DI Yogyakarta di mana ada sejumlah daerah (kota dan kabupaten) yang anggota KPU nya berinisiatif membuatkannya. Untuk KPUD yang telah mengambil diskresi membuat alat bantu mencoblos, kami mengucapkan salut atas kinerja itu betapapun masih ada sejumlah kekurangan, dan berharap pada pemilu mendatang ketersediaan alat bantu ini sudah semakin massif dan terlaksana dengan baik.
Pemilih yang [harus] merangkak ke TPS
Banyak TPS di wilayah pemantauan tidak aksesibel bagi pemilih difabel. Jika terpaksa tidak bisa melakukan sendiri, maka mereka akan dipapah. Tetapi pemilih difabel yang menganggap kemandirian adalah yang utama akan rela merangkak menuju bilik suara. Tetapi pemilih yang benar-benar menyerah dengan lingkungan yang tidak didesain secara aksesibel harus menunjuk salah satu pendamping yang tersedia.
Dari data pantauan, ketidakaksesibilitas TPS tergambar dari lantainya yang berumput tebal, atau aksesnya bertangga-tangga, licin, serta terdapat selokan tanpa titian. Belum lagi jika pemilih harus menuju kotak suara yang relatif tinggi bagi pengguna kursi roda yang sulit berdiri. Biasanya, jika petugas KPPS tidak menurunkan posisi kotak suara maka lagi-lagi petugas harus membantunya.
Selain berundak-undak dan berumput tebal, salah satu kebutuhan pemilih dengan kursi roda adalah ruang yang lapang. Ada banyak TPS yang tidak didesain secara lapang sehingga pengguna kursi sulit bergerak. Jarak antara bilik satu dengan bilik lainnya tidak disesuaikan dengan lebar kursi roda yang membutuhkan sekurang-kurangnya 80 cm.
Pilihan Anda Tak Terjamin Kerahasiaannya