Secara etimologis, kata aji sebenarnya merupakan manifestasi dari ilmu pengetahuan. Kata ini dapat diartikan sebagai "kitab suci/Weda". Hal ini sebagaimana disebutkan dalam cuplikan- cuplikan pada sastra dan susastra Hindu yang sering menuliskan kata "ling ning aji" untuk menyatakan "kata atau sabda Weda". Lalu kata "saka" berasal dari akar kata "sak" yang berarti "membawa". Kata "saka" sendiri dapat diartikan sebagai "tonggak atau tiang". Pada perumahan Jawa tempo dulu dan juga rumah adat Bali, saka adalah tiang yang digunakan sebagai penyangga rumah.Â
Dengan demikian maka kata "aji saka" dapat dimaknai sebagai "orang yang membawa, mengemban dan memegang teguh kitab suci atau ilmu pengetahuan sebagai tiang penyangga kehidupannya". Hindu memandang orang yang demikian dikatakan sebagai orang yang selalu bertongkatkan sastra (ateken ring sastra).
Di samping itu, dalam cerita Aji Saka ini terdapat beberapa nama tokoh, setting dan instrumen yang mempunyai makna filosofis terkait OEJ. Adapun nama-nama yang dimaksud adalah Medang Kamulan, Dewata Cengkar, destar pandita atau brahmana, Dora Sembada, Duga Prayoga dan Aksara. Berikut penjelasan dari masing-masing nama tersebut.
Medang Kemulan, berasal dari kata "meda" yang berarti "kebutaan atau nafsu" dan "mula" yang berarti "asal". Artinya pada mulanya negara ini adalah negara yang penuh dengan kebutaan atau kegelapan (awidya) sebelum kedatangan Aji Saka.
Dewata Cengkar melambangkan orang yang telah memisahkan diri atau melakukan perbuatan makar terhadap dewata (Tuhan). Hal ini sebagaimana arti asal kata "cengkar" berarti "cerai-berai, makar " dan kata "dewata" yang berarti "Tuhan beserta manifestasi- Nya".
Destar dari brahmana yang bernama Aji Saka ini mengisyaratkan pada buddhi atau kecerdasan itu sendiri. Dengan buddhi maka Dewata Cengkar dapat dikalahkan. Kemudian kata "brahmana" mengandung maksud orang yang selalu mencari pengetahuan untuk mencapai jiwa tertinggi.
Dora oleh masyarakat Jawa sudah divonis sebagai orang yang jahat dan suka menipu. Penafsiran semacam ini perlu diluruskan karena tidak mungkin brahmana sekaliber Aji Saka mau menerima murid seperti Dora. Dan tidak ada tradisi Parampara di India yang menerima murid tanpa melihat dedikasi mereka terlebih dahulu (Lihat Cerita Bhagawan Dhomya dan ketiga muridnya dalam Adiparwa).
Kata "dora" ini bertalian secara filologis dengan kata Sanskerta "dora" yang berarti "sebuah tali". Sementara itu kata "sembada" berkaitan erat sengan kata Sanskerta "sambadha" yang berarti "tekanan, sukar" dan kata "sambodha" yang artinya "kesenangan". Jadi sesungguhnya tali yang mengikat manusia dalam kehidupan itu berupa kesenangan duniawi yang sukar untuk dihilangkan. Namun setelah Dora dan Sembada tewas dalam pertempuran timbulah aksara Jawa. Ini merupakan pralambang bahwa untuk mencapai kehidupan yang kekal atau abadi maka seseorang perlu meninggalkan ikatan yang berupa kesenangan indriawi.
Kata duga prayoga dalam pemahaman masyarakat Jawa saat ini mempunyai makna sopan santun. Akan tetapi terkait dengan makna filosofis matinya Dora Sembada dan penciptaan aksara Jawa, secara harfiah kata "duga" dapat diartikan "hasil akhir" (dari kata Sanskerta "dugha"). Sedangkan kata prayoga berasal dari dua kata para dan yoga. Kata "para" dapat diartikan "jauh atau paling tinggi". Sementara kata "yoga" dapat diartikan sebagai "penyatuan, hubungan atau kontak." Dengan demikian kata prayoga di sini bisa diartikan sebagai penyatuan atau hubungan mistis yang tertinggi (manunggaling kawula lan gusti).
Secara filosofis Duga dan Prayoga tersebut mengisyaratkan hasil akhir (sesuai dengan makna yang terkandung pada namanya) dari pencarian ilmu pengetahuan bagi seorang brahmana yang bernama Aji Saka. Buktinya pada cerita Aji Saka tersebut, mereka hanya disebut-sebut pada akhir cerita setelah kematian Dora dan Sembada yang dimaknai sebagai lenyapnya kesenangan indrawi pada orang yang selalu menggunakan pengetahuan suci sebagai tongkat atau tiangnya (Aji Saka).
Instrumen yang terakhir adalah aksara. Kata ini berasal dari kata Sanskerta "aksara" yang berarti "abadi, kekal atau kebahagiaan". Aksara adalah suatu kebahagiaan dalam kehidupan di alam maya ini. Ia juga lambang kehidupan yang abadi.
Jika dirangkaikan dari awal hingga akhir maka cerita Aji Saka tersebut melambangkan pendakian puncak keabadian (aksara) oleh seorang pencari ilmu pengetahuan (brahmana) yang selalu berpedoman pada sastra suci (Weda) sebagai pegangan hidupnya (aji saka). Pendakian ini diawali dengan melenyapkan ketidakpercayaan terhadap Tuhan (Dewata Cengkar) atau atheisme dan selalu mengendalikan kebutaan nafsu (medang kamulan). Kemudian yang terakhir adalah dengan melenyapkan kesenangan indrawi sebagai ikatan duniawi (dora -- sembada). Barulah ia dapat mencapai hasil akhir yang berupa penyatuan mistis atau manunggal dengan Gusti atau Tuhannya (duga --prayoga).