Mohon tunggu...
Isfi Muiz Machmud
Isfi Muiz Machmud Mohon Tunggu... Relawan - Volunteer

Aditya Karya Mahatva Yodha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Otak Etik Jawa dalam Cerita Aji Saka

13 September 2024   15:35 Diperbarui: 13 September 2024   15:38 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 sumber /jhn.co.id

JAKARTA-13/9/2024

isfimuizmachmud

Sejarah Jawa tentu tidak akan mengabaikan cerita Aji Saka yang banyak disebutkan dalam kesusastraan Jawa. Cerita ini memang masih menjadi misteri antara ada dan tiada mengingat nama Aji Saka tidak ada dalam silsilah raja-raja tanah Jawa. Namun demikian cerita Aji Saka ini dianggap sebagai landasan mitologis-historis dari keberadaan aksara Jawa.


Dalam mitologi Aji Saka, Jawa dikatakan masih "kosong" sebelum kedatangan Aji Saka atau yang juga dikenal sebagai Empu Sengkala. Ki Ranggawarsita dalam Serat Paramayoga menuliskan bahwa mulanya Aji Saka adalah seorang raja dari negeri Surati di Hindustan pada masa Pancamakala. Setelah madeg pandita beliau bergelar Empu Sengkala (Berg, 1974).


Empu Sengkala mempunyai 2 orang murid yang bernama Dora dan Sembada. Dalam banyak tulisan tentang Jawa, Dora disebutkan sebagai murid yang suka berbohong, sedangkan Sembada dikenal sebagai murid yang setia dan jujur. Setelah mendapat petunjuk dari para dewa agar melaksanakan dharmayatra ke Jawa, Sang Empu pun berangkat bersama muridnya yang bernama Dora demi tugas suci tersebut. Namun, sebelum berangkat ia memberikan mandat kepada Sembada untuk menjaga keris pusakanya. Ia berpesan agar keris itu jangan diberikan kepada orang lain selain dirinya sendiri. 


Ketika Empu Sengkala melaksanakan perjalanan suci tersebut, Pulau Jawa kala itu dikuasai oleh raja berwatak raksasa yang kejam dan suka makan manusia. Raja ini dikenal dengan nama Dewatacengkar. Sesampainya di Jawa Empu Sengkala tergerak untuk membebaskan tanah Jawa dari hegemoni kekuasaan raja tersebut. Singkat cerita, Empu Sengkala berhasil mengalahkan Dewatacengkar berkat destar-nya.


Setelah berhasil mengalahkan Dewatacengkar, Empu Sengkala pun naik tahta menjadi raja tanah Jawa dan bergelar Prabu Aji Saka. Dalam waktu yang tidak lama Prabu Aji Saka berhasil menata perikehidupan di tanah Jawa. Selanjutnya, karena kesibukannya sebagai raja, maka Sang Aji Saka mengutus Dora untuk mengambil keris pusakanya pada Sembada. Tetapi ia lupa akan pesannya pada Sembada agar keris itu tidak diberikan kepada orang lain selain dirinya sendiri.


Sembada tidak mau menyerahkan keris pusaka dengan alasan untuk menjaga mandat sang Guru. Akhirnya, terjadilah peperangan sengit antara Dora dan Sembada yang sama-sama mendapat tugas dari Aji Saka. Peperangan ini berlangsung selama berhari-hari dan berakhir dengan kematian kedua utusan itu.


Merasa khawatir setelah sekian lama tak ada kabar dari kedua muridnya maka Aji Saka mengutus dua orang punggawanya, Duga dan Prayoga untuk membawa Dora dan Sembada menghadap Aji Saka. Duga dan Prayoga pun berangkat untuk menemui Dora dan Sembada. Namun mereka menemukan keduanya sudah meninggal. Lalu mereka pulang dan menyampaikannya kabar kematian kedua murid Aji Saka itu. Mendengar kabar itu, Aji Saka pun kaget dan merasa bersalah. Dalam suasana kesedihannya itu Sang Aji Saka menandai kematian kedua muridnya itu dengan carakan aksara Denta Wyajana yang kini dikenal sebagai Aksara Jawa.


Carakan aksara Jawa tersebut terdiri atas 20 buah aksara yakni HaNaCaRaKa, DaTaSaWaLa, PaDHaJaYaNYa, MaGaBaTHaNGa. Jika diartikan, maka carakan aksara Jawa tersebut akan menggambarkan cerita tentang Dora dan Sembada sebagai- mana telah diungkap sebelumnya. Kata hanacaraka berarti ada utusan; datasawala berarti terus-menerus (berkelahi); padhajayanya artinya sama-sama kuat; dan magabathanga berarti sama-sama menemui ajalnya.


Jika dikaji lebih lanjut dengan pendekatan Othak Athik Matuk (OAM) Jawa yang merupakan metode dalam epistemologi Jawa, maka cerita Aji Saka ini mempunyai kaitan yang sangat erat dengan Otak Etik Jawa (OEJ) itu sendiri. Karena sebelum kedatangan Aji Saka, Jawa dikatakan masih "kosong" dalam artian peradabannya. Dan Aji Saka-lah yang menjadi otak lahirnya peradaban Jawa itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun