Mohon tunggu...
Isa Mardiyanto
Isa Mardiyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta

Membahas fenomena sosial politik sambil mengopi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Implikasi Kemanusiaan dan Tantangan Keamanan: Analisis Imigran Rohingya terhadap Stabilitas Sosial dan Politik Indonesia

3 Desember 2023   20:43 Diperbarui: 3 Desember 2023   20:58 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam era globalisasi yang terus berkembang, ancaman terhadap keamanan suatu negara tidak lagi terbatas pada bentuk-bentuk tradisional. Imigrasi ilegal, sebagai salah satu ancaman non-tradisional, membawa konsekuensi serius yang mencakup aspek keamanan nasional, stabilitas sosial, dan tatanan politik.

 

Ancaman non-tradisional semakin menjadi fokus perhatian, dan imigrasi ilegal menjadi salah satu faktor yang merambah dimensi keamanan dengan cara yang tidak konvensional. Kehadiran imigran ilegal tidak hanya menggoyahkan integritas batas negara, tetapi juga memunculkan tantangan baru terkait keamanan internal.

 

Baru-baru ini, Indonesia dihebohkan dengan terdamparnya pengungsi Rohingya di Aceh. Sebanyak 256 pengungsi Rohingya mendarat di Desa Lapang Barat, Kabupaten Bireuen, Aceh. Pengungsi Rohingya tersebut dipindahkan ke penampungan sementara di bekas kantor imigrasi di Kota Lhokseumawe.

 

Namun, kedatangan pengungsi Rohingya ke Indonesia memunculkan polemik bagi masyarkat Indonesia. Banyak masyarakat Aceh tidak menerima kehadiran pengungsi Rohingya tersebut akibat dari kejadian masa lampau. Sikap masyarakat Aceh yang menolak pengungsi Rohingya ini lantaran karena pengalaman tidak menyenangkan dari hubungan interaksi dengan pengungsi Rohingya selama bertahun-tahun.

 

Secara khusus, imigran bebas dari etnis Rohingya yang merambah Indonesia membawa tantangan serius terhadap keamanan nasional dan harmoni sosial. Kehadiran mereka menciptakan kompleksitas dalam dinamika sosial, ekonomi, dan politik tanah air.

 

Perjalanan panjang pengungsi Rohingya ke Indonesia dimulai pada tanggal 7 Januari 2009, ketika 193 orang pertama kali tiba di Aceh. Mereka membawa cerita tragis ke negara ini, yang kemudian diikuti oleh 198 pengungsi pada 3 Februari 2009. Puncaknya, pada 31 Maret 2015, gelombang besar pengungsi Rohingya kembali mencapai Indonesia. Para pengungsi ini tersebar di berbagai wilayah, termasuk Aceh, Medan, Tanjung Pinang, dan Batam, menciptakan tantangan kompleks bagi Indonesia.

 

Indonesia, atas dasar kemanusiaan, merespons kedatangan pengungsi Rohingya dengan membuka kamp-kamp pengungsian dan rumah detensi. Langkah ini mencerminkan kepedulian negara terhadap kondisi sulit yang dihadapi oleh etnis Rohingya. Meskipun demikian, di balik tindakan kemanusiaan ini, muncul dampak yang signifikan terhadap stabilitas keamanan di Indonesia.

 

Para pengungsi Rohingya membawa beban psikologis yang berat, terpicu oleh diskriminasi dan intimidasi yang mereka alami di Myanmar. Kondisi jiwa yang belum stabil ini, sayangnya, dapat merusak ketenangan di tanah air. Kebiasaan-kebiasaan yang terbentuk akibat perlakuan kasar di negara asal terus membayangi kehidupan mereka di Indonesia, membawa ancaman baru yang mengintai.

 

Penting untuk diakui bahwa upaya Indonesia dalam memberikan perlindungan dan bantuan kemanusiaan adalah suatu tindakan mulia. Namun, keberlanjutan dari dampak buruk terhadap keamanan, seperti insiden pelecehan seksual terhadap seorang relawan di Aceh.

 

Ancaman utama dari pengungsi Rohingya bagi stabilitas keamanan sosial dan politik Indonesia adalah karena terdapat beberapa kapal pengungsi yang luput dari pengawasan TNI dan akhirnya sampai ke daratan Indonesia. Masuknya pengungsi Rohingya dalam jumlah yang banyak dapat menganggu stabilitas keamanan dan membawa dampak negatif terhadap Indonesia.

 

TNI menolak kedatangan para pengungsi Rohingya lantaran karena pengungsi Rohingya tidak memenuhi hukum positif di Indonesia mengenai larangan masuknya waga negara asing tanpa disertai dokumen-dokumen resmi.

 

Antusiasme masyarakat lokal Aceh yang berbondong-bondong ingin memberikan pertolongan kepada pengungsi Rohingya dikhawatirkan akan menimbulkan kecemburuan sosial terhadap para pengungsi Rohingya. Mengingat bahwa tidak semua masyarakat Aceh hidup berkecukupan sehingga dikhawatirkan akan ada rasa kecemburuan akan bantuan yang diterima oleh pengungsi Rohingya.

 

Permasalahan yang muncul dari pengungsi Rohingya tersebut muncul dari dua sisi. Permasalahan pertama berasal dari posisi Indonesia yang sampai saat ini belum meratifikasi Konvensi 1951 dan protokolnya tahun 1967. Sehingga Indonesia juga belum memiliki kebijakan hukum yang jelas mengenai penanganan pengungsi lintas batas negara dan Indonesia tidak berhak serta tidak memiliki wewenang untuk mengambil tindakan lanjut mengenai penanganan pengungsi lintas batas negara yang ada di Indonesia.

Hal tersebut dikarenakan Indonesia memiliki prinsip keimigrasian yang menyebutkan bahwa imigran atau orang asing yang masuk ke Indonesia harus menguntungkan atau bermanfaat untuk Indonesia sehingga dirasa tidak cocok jika Indonesia terus meratifikasi Konvensi tersebut.

 

Permasalahan selanjutnya adalah Indonesia juga belum meratifikasi Konvensi Wina 1951, di mana Indonesia sebagai masyarakat internasional tidak boleh dengan semena-mena menolak para pencari suaka datang ke Indonesia. Hal inilah yang menjadi pertimbangan Indonesia dalam penanganan imigran ilegal.

 

Ditambah, kedatangan para pengungsi Rohingya tidak semuanya dikatakan sebagai pengungsi Internasional sebagaimana yang sudah tercantum dalam Konvensi Wina 1951 karena untuk mendapatkan status sebagai pengungsi Internasional harus memenuhi standart persyaratatan yang ada. Para pengungsi Rohingya dikatakan sebagai pengungsi yang mencari suaka karena faktor keamanan dari negaranya yang tidak memungkinkan untuk tinggal di negara asal.

 

Dengan ketidakjelasan mengenai status yang disandang oleh pengungsi Rohingya ini menjadi penghambat pihak UNHCR untuk segera melakukan proses assesment terhadap para pengungsi Rohingya. Walaupun sudah ada beberapa negara yang meratifikasi Konvensi Wina 1951, tetap tidak ada yang mau menampung pengungsi Rohingya karena dianggap mengancaman kestabilan negaranya. Begitu juga dengan Indonesia.

 

Permasalahan pengungsi Rohingya tidak hanya sebatas pada status mereka sebagai pengungsi suaka atau imigran ilegal di Indoensia saja, namun banyak dari pengungsi Rohingya yang melakukan pelanggaran hukum dengan melakukan kecurarangan bersama salah satu pihak UNHCR untuk mendapatkan status pengungsi internasional.

Sikap pengungsi Rohingya yang tidak baik pula yang memberikan ancaman bagi Indonesia. Hal tersebut dapat dibuktikan dari pengungsi Rohingya yang merasa tidak puas berada di Rumah Detensi Imigrasi yang berada di wilayah Aceh karena memiliki kondisi yang tidak nyaman. Namun faktaranya para pengungsi Rohingya yang datang ke Indonesia pun tidak memenuhi persyaratan politik yang harus mereka penuhi agar dapat mengungsi di Indonesia.

 

Beberapa permasalahan yang muncul dari adanya pengungsi Rohingya tersebut menjadi permasalahan bagi seluruh bangsa Indonesia. Maka permasalahan tersebut harus dapat segera diselesaikan dengan baik, dan tidak membiarkan permasalah ini menjadi berlarut-larut karena justru akan semakin menambah permasalahan yang ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun