"Ayok, minum dulu wedang jahenya. Hidup itu dinamis. Beda pendapat biasa. Yang tidak boleh, menghakimi pendapat orang lain. Kebenaran dunia itu relatif. Kebenaran Allah itu yang haqiqi".
Perkataan Kaji Sukri 2 hari lalu menenangkan. Kami semua saat itu menyeruput wedang jahe dengan nada harmonis. Bersahut-sahutan seperti hentakan perkusi.
Malam ini sehabis kenduri di rumah salah satu warga, kami berlima secara kebetulan berkumpul kembali. Masih dengan formasi duduk seperti malam itu. Masih dengan sajian wedang jahe hangat. Orang yang sama. Yang beda hanya hari dan warna baju.
Kulirik sesaat Kaji Liba, sambil menyeruput wedang di gelas. Air mukanya serius. Sesaat beliau menarik nafas. Saya terstimulasi membuang nafas. Oesse dan Matta malah bersamaan menghela nafas. Nafas-nafas kami dalam hening pendopo kampung Ngalimin ini menjadi kian jelas. Hanya satu yang tak terdeteksi, Kaji Sukri yang tampak menahan nafas.
Sesaat Kaji Sukri menghempas nafas, Kaji Liba berujar, "Jadi setelah ane amati kondisi di tengah warga saat ini, ane bisa rangkum seperti ini"
"(1) Beberapa orang dusun Guyub mencanangkan pembuatan gardu sendiri, yang bahkan saya dengar diberi nama gardu Guyup Cihuii, yang kemarin siang buat acara rembug dusun Guyup di pendopo ini"
"(2) Sementara sebagian lain yang dari awal berada di panitia pembuatan gardu Rindu, ada yang dari dusun Guyup, dusun Rukun bahkan dusun lain, yang lebih sreg dengan universalisasi fungsi gardu Rindu, tidak dibatasi hanya untuk eksistensi dusun tertentu, saat ini sedang hibernasi. Penggerak organisasinya sedang memanaskan energi kalori kembali untuk berkomitmen menindaklanjuti pembuatan gardu Rindu. Begitukah ?"
Hening. Kami saling pandang. Bahasa kalimat Kaji Liba malam ini lebih tenang, ngebass, tampak berwibawa bahkan intelektual.
"Dengan adanya 2 rencana pembuatan gardu jaga, Apakah warga kedua dusun masih tetap bersenandung lagu Rindu?"
Kami terkaget lagi dengan pilihan diksi Kaji Liba yang puitis menari-nari. Sedang kesambet atau habis kontemplasi, kayaknya.