Selalu ada argumentasi dan selalu 'menang' sendiri. Itulah dosen, termasuk tentang tensi dan vaksinasi (alifis@corner).
07.29 saya meluncur ke RSU Undana untuk ikut vaksinasi. Sengaja datang awal agar tidak terjebak antrian karena ini hari Jum'at dan menghindari sore hari yang saat ini selalu disiram hujan rinai. Sampai jam 07.48 sesaat memarkir motor di kompleks RSU Undana, ternyata di arah lokasi vaksinasi sudah terdengar ramai. Wahh, harus bergegas.
Saat ambil nomor, dapat 23 hijau. Sebelumnya sudah terdistribusi 30 nomor putih. Artinya saya urutan 53. Memang sudah cukup banyak antrian. Yang belakangan niat datang pagi, ternyata memiliki kesamaan persepsi. Hanya kalau start dari rumahnya telat, yang didapat antrian sudah puluhan kali lipat. Sampai nanti sore  tertarget 450 orang akan tercatat. Â
Tempat duduk berjarak yang disediakan penuh hingga antri berdiri. Dosen dan pegawai tumpah ruah semua satu pandangan ke arah layanan. Menunggu panggilan untuk mengikuti alur desk menuju satu keinginan, vaksinasi. Yang datang siang, kaget-kagetan, ternyata proses tidak singkat, melalui tahapan pemeriksaan yang begitu 'ketat'. Ya harus begitu, ini urusan dengan nyawa manusia, apalagi berhadapan dengan para dosen dan pegawai yang tidak lagi remaja, ya bolehlah dibilang agak tua. Hahaha ...
Undana termasuk salah satu institusi di NTT yang lebih dahulu mendapat layanan vaksinasi dibanding yang lain berkat inisiatif kerjasama dengan KKP sebagai badan otoritas distribusi vaksinasi di propinsi ini. Pelayanan  sudah berlangsung di hari selasa, rabu, jum'at hari ini dan terakhir senin pekan depan dengan sasaran 1753 orang, dari Rektor sampai cleaning service. Undana mungkin akan lebih siap untuk blended learning atau full offline semester depan.
Dan, ada-ada saja kejadiannya.
Bisa dibayangkan bagaimana ramainya antrian orang yang ingin 'kebal' dari virus covid, yang menghantui selama setahun terakhir dan belum kelar juga. Tidak peduli Profesor, Doktor sampai yang tanpa titel, semua tunduk dan patuh pada panggilan antrian. Yang di kampus adalah bawahan mereka. Mungkin diluar sepengamatan saya, ada yang beralasan darurat, karena pejabat, bisa menyelip dan diproses lebih singkat.Â
Bisa dibayangkan bagaimana semarak suasana. Para dosen dan sejawat yang bisa jadi setahun lebih tidak bersua. Itu yang beda prodi dan tak pernah satu room di media zoom. Sekalinya berjumpa semua bermasker dan tampak semangat melepas canda. Yang hanya tampak di mata dan suara.
Tema lagi-lagi tentang virus, vaksin, kampus, riset, kuliah, mahasiswa, proposal, project, sedikit-sedikit nyerempet politik. Hal biasanya yang dibincangkan di kampus. Yang paling hangat adalah tentang tekanan darah atau tensi sebagai salah satu syarat bisa tidaknya divaksinasi. Ya, tensi.Â
Tensi Yang Bikin Keki
"Bapa Mama, tolong ee agak di rem semangat ngobrol dan candanya. Â Jangan sampai terlalu semangat bikin tensi kelewat tinggi. Serba salah ee, ini jadinya kalau lama tidak bersua"
Itulah lelucon dari sejawat dosen yang jadi koordinator dan pengarah acara pelayanan vaksinasi, mengamati antusiasme pengantri vaksinasi.
Proses pemeriksan berjalan, benar adanya. Tidak ada yang hasil ukur tensinya normal. Dari obrolan simpang siur, yang menyebar dari satu kursi ke kursi antrian, ternyata banyak para dosen yang tensinya diatas 160 mmHg. Wadidaww...
Semua, tidak sepuluh dua puluh. Okelah ralat, 'hampir' semua saling membagi cerita data tensinya jauh membumbung tinggi di atas rata-rata. Ini bukan prestasi. Yang pasti bikin galau di hati dan pucat pasi.
Kemarin, pas hadir di ijab qobul pernikahan anaknya salah satu tetangga, dapat cerita langsung dari sejawat prodi lain, yang tidak saya sebut namanya.
"Tensi saya 150 mmHg, denyut 110 bpm. Naik, mungkin nervous, karena dada saya terasa berdebar. Biasanya ga segitunya".
Padahal 2 hari sebelum divaksinasi beliau sudah mengurangi aktivitas untuk cukup istirahat, katanya di jauh hari sebelumnya.
Mahasiswa kalau membaca ini pasti tertawa puas, "Hahaha, itulah 'karma', nikmatilah". Kalau biasanya mahasiswa yang harus berdebar-debar saat akan konsultasi atau bertemu dosen, kali ini dosen keki ketemu vaksinasi.Â
Dosen itu manusia biasa. Sama dengan mahasiswa. Yang memang diberi kelebihan sedikit lipat usia, sedikit kritis, sedikit cerewet, pamer logika, koar paradigma, ceriwis struktur kata, pelit literasi bahkan sering ngomel daftar pustaka. Dalam dunia pendidikan hanya ada dua sisi, potensi atau ironi. Jadi kecerewetan itu tujuannya baik, melatih kedewasaan. Jadi santai saja.
Trus kenapa berdebar saat divaksinasi ?Â
Kalau vaksinasi untuk virus covid, wajar dong dosen berdebar-debar, kan belum pernah belajar. Virus yang sangat misterius. Vaksinasi juga baru sekali ini doang. Nah yang vaksinasi yang kedua, insya Allah tidak berdebar.
Jangan berdebat dengan mereka. Selalu ada argumentasi dan selalu menang sendiri. Itulah dosen, termasuk tentang tensi dan vaksinasi.
Saat saya giliran ditensi, saya berujar duluan ke anak muda perawat jaga,
"Wahh, saya agak tegang. Sepertinya tensi naik"
Dianya hanya senyum sambil mencatatkan sesuatu di kertas kecil, yang dibaliknya kemudian dituliskan Nomor phone saya. Hanya sekitar 5 menit, setelahnya diminta untuk antri entri data kertas kecil tadi, di loket lain. Loketnya masih di depan antrian yang kursinya berjejer-jejer  dengan keriuhan obrolan disela sela suara panggilan nomer antrian untuk periksa. Loket ini sebelah menyebelah dengan loket ambil data tensi. Hanya petugasnya didepan komputer.
Kali ini duduknya dideret terdepan antrian, di depan kursi-kursi antrian yang masih riuh rendah dengan obrolan. Sepertinya sampai sore pun obrolan akan tetap berlangsung sambung menyambung seiring dengan datang dan perginya orang.
Sambil duduk saya lihat tulisan dikertas kecil itu. Suhu normal. Saturasi Oksigen normal, tensi memenuhi syarat, denyut nadi 104 okelah, karena berdebar dan sedikit cemas, hahaha. Saya cari obrolan dengan rekan sebelah.Â
"Tensi saya lumayan tinggi, pak berapa?", tanya saya ke pegawai FST yang akrab kukenal.Â
"Lumayan tinggi" ujarnya. Saya lihat 161 mmHg. Wah iya betul. Lebih tinggi dari saya. Sebelah saya lagi duduk dua Doktor senior saya, di prodi yang berbeda.Â
Ketika salah satu pak Doktor  menyebutkan tensinya 154 mmHg. Pak Doktor satunya menimpali,
"Ini mengantri vaksinasi, udah cemas duluan. Akibatnya naik semua tensi". Dan yang tidak saya ketahui, ternyata tensi beliau juga tinggi, sehingga sempat diminta istirahat sejenak untuk dites lagi. Kalau sudah turun, maka bisa berlanjut untuk desk selanjutnya. Â
Setelah dapat panggilan di desk entri data, berlanjut antri di desk screening. Tidak lama, 3 menit mungkin lalu saya dipanggil di kursi yang sudah kosong. Ada 4 lembar isian yang langsung ditanyakan Ibu Dokter ke saya. Diantaranya :Â
Pernah kontak dengan penderita Covid? Punya penyakit lain? Jantung, paru-paru, ginjal, asma? Punya alergi setelah suntik medis? Pernah divaksinasi lain-lain? dan seterusnya.Â
Insya Allah saya sehat, berikutnya saya diminta mengisi dan tanda tangan formulir persetujuan tindakan vaksinasi dengan header surat dari Kemenkes RI, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas III Kupang. Lembaga inilah yang berwewenang dalam pendistribusian vaksin ke masyarakat NTT.Â
Akhirnya Di Vaksinasi
Setelah bu Dokter tandatangan, 2 bundel isian saya bawa untuk masuk ke antrian di depan Ruang Vaksinasi. DIsitu saya melihat bergantian rekan-rekan  masuk lalu keluar ruang tersebut. Tidak lama, saya pun masuk. Ada 3 petugas disana, yang satu merekam berkas yang saya serahkan, yang dua yang mengeksekusi vaksin dengan menyuntikkan lengan kiri atas.
" Naikkan lengan baju yang tinggi ya pak".Â
Saya lakukan permintaan itu. Saya hanya teringat video Jokowi, Raffi Ahmad saat vaksinasi. Yang jarum suntiknya sepertinya panjang dan ditusukkan dalam-dalam. Yah, saya pasarah dan siap-siap saja.
"Rileks saja ya pak, ototnya jangan ditegangkan"
Saya rasakan kulit saya diusap-usap tisu basah. Sama sekali saya tidak melihat jarum tersebut. Memang saya coba alihkan perhatian untuk memandang lekuk meja di depan, sambil dalam hati memaknai kata Allah Maha Besar.
"Sudah pak. Sudah selesai"
"Sudah ya?", saya tidak percaya. Memang saya lihat petugasnya sudah menjauh. Kok, tidak terasa? Kok tidak seperti bayangan saya, ditusukkan dalam-dalam hingga ke otot. Alhamdulillah selesai.Â
" Pak silahkan istirahat dulu, ambil minum dan snack yang disediakan di sana. mohon tunggu 30 menit di ruangan yang disediakan".
"Setelahnya tunggu nanti kalau selesai ada panggilan"
Singkat cerita, selepas 30 menit nama saya dipanggil dan diberi print out Kartu Vaksinasi Covid-19 Â berisi data diri dan riwayat pemberian vaksin covid-19 di hari ini dengan keterangan lanjut vaksin ke 2, 2 pekan yang akan datang. Juga disertai kontak dokter yang bisa dihubungi jika mengalami gejala pasca vaksinasi.
Selesai saya ta lupa berterima asih pada petugas KKP, lalu menyisir antrian untuk pergi pulang. Jam menunjuk 10.05. Hmm, berarti saya 2 jam  berada di RSU Undana dan itu pertama kalinya menginjak kaki disana. Trimakasih RSU Undana.
Menuju parkir saya temui beberapa rekan dosen sedang berteduh menjauh dari keramaian antrian.
" Kok ada disini pak, bu?"
" Iya, diminta istirahat dulu. Tensi kami katanya tinggi. Nanti setelahnya akan dites lagi"
Tak lama, ada ibu dosen lainnya berjalan mendekat hendak mencari sesuatu.
"Cari apa bu ?" rekan disebelah menyapa.
"Air minum, disuruh istirahat dulu sambil minum air putih"
Pak dosen menyorongkan satu botol mineral lebih yang dimiliki, sekaligus menghentikan langkah Ibu utk istirahat bergabung.
Obrolan pun sambung menyambung tentang tensi dan vaksinasi. Dari kejadian hari ini, saya tahu bahwa sebagian besar dosen-dosen memiliki problem kesehatan yang hampir sama, yaitu tensi, tekanan darah yang cenderung tinggi. Tidak hanya dosen, pegawai pun mengalaminya.
"Kemarin teman tensi 180, diminta istirahat sejenak, dicek lagi 160, trus diminta istirahat lebih rileks kembali, setelah santai di ruang AC dengan banyak minum air mineral, bisa turun di 150-an, Nah baru bisa divaksinasi"
Setelah menemani sebentar, saya pamit duluan, ambil motor dan melaju pulang. Di jalanan sambil mikir saya berasumsi, menarik benang merah kejadian pagi ini, efek pandemi ini bikin dosen kurang gerak, banyak duduk hadap laptop dan tak sadar tekanan darah melonjak. Merasa baik-baik saja karena tak kemana-mana. Kerja di rumah saja. Terhindar dari 'angin' covid, tetapi dihinggapi resiko tensi. Dehh...
Atau alat tensi digitalnya belum terkalibrasi ? Ah sudahlah saya tidak mau berspekulasi. Semua hanya asumsi yang berkelebat di otak. Lanjut ku geber motorku di tengah panas mulai menyengat.
Browsing sejenak saat menulis ini, ternyata memang tensi atau hipertensi nama lain dari tekanan darah tinggi, adalah silent killer, sering tidak bergejala. Disamping kurang gerak atau olahraga, ini penyakit lebih disebabkan gangguan metabolisme di dalam tubuh. Dan hipertensi adalah pembunuh nomor wahid. Penyebabnya belum diketahui, tetapi faktor pemicu diantaranya adalah usia, berat badan, jenis makanan dan minuman tertentu, dan lain-lain.
Untuk mencegahnya adalah cek rutin tekanan darah. Dan ini yang biasanya paling malas dilakukan. Paling malas jika mengetahui parameter kesehatan tubuh ada yang tidak beres. Nah, kemalasan ini juga penyakit, tak terkecuali para dosen. Hahaha...
Dengan Vaksinasi ternyata juga mengingatkan akan pentingnya tes rutin tensi. Sebaliknya, mengabaikan 'ilmu kebal' covid setelah vaksinasi. Sudah terbukti, yang sudah vaksinasi masih memungkinkan positif covid. Bukan jaminan untuk bertingkah semaunya. Protokol kesehatan 3M atau 5M tetap harus menjadi budaya di masa pandemi.
Ingat Vaksinasi ingat Tensi, ingat Tensi untuk bisa Vaksinasi. Ahh... sudahlah. Terlalu panjang cerita ini. Ciaoo..
alifis@corner
120321 21:06
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI