"Bapa Mama, tolong ee agak di rem semangat ngobrol dan candanya. Â Jangan sampai terlalu semangat bikin tensi kelewat tinggi. Serba salah ee, ini jadinya kalau lama tidak bersua"
Itulah lelucon dari sejawat dosen yang jadi koordinator dan pengarah acara pelayanan vaksinasi, mengamati antusiasme pengantri vaksinasi.
Proses pemeriksan berjalan, benar adanya. Tidak ada yang hasil ukur tensinya normal. Dari obrolan simpang siur, yang menyebar dari satu kursi ke kursi antrian, ternyata banyak para dosen yang tensinya diatas 160 mmHg. Wadidaww...
Semua, tidak sepuluh dua puluh. Okelah ralat, 'hampir' semua saling membagi cerita data tensinya jauh membumbung tinggi di atas rata-rata. Ini bukan prestasi. Yang pasti bikin galau di hati dan pucat pasi.
Kemarin, pas hadir di ijab qobul pernikahan anaknya salah satu tetangga, dapat cerita langsung dari sejawat prodi lain, yang tidak saya sebut namanya.
"Tensi saya 150 mmHg, denyut 110 bpm. Naik, mungkin nervous, karena dada saya terasa berdebar. Biasanya ga segitunya".
Padahal 2 hari sebelum divaksinasi beliau sudah mengurangi aktivitas untuk cukup istirahat, katanya di jauh hari sebelumnya.
Mahasiswa kalau membaca ini pasti tertawa puas, "Hahaha, itulah 'karma', nikmatilah". Kalau biasanya mahasiswa yang harus berdebar-debar saat akan konsultasi atau bertemu dosen, kali ini dosen keki ketemu vaksinasi.Â
Dosen itu manusia biasa. Sama dengan mahasiswa. Yang memang diberi kelebihan sedikit lipat usia, sedikit kritis, sedikit cerewet, pamer logika, koar paradigma, ceriwis struktur kata, pelit literasi bahkan sering ngomel daftar pustaka. Dalam dunia pendidikan hanya ada dua sisi, potensi atau ironi. Jadi kecerewetan itu tujuannya baik, melatih kedewasaan. Jadi santai saja.
Trus kenapa berdebar saat divaksinasi ?Â