Mohon tunggu...
Irza Triamanda
Irza Triamanda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta

Hanya untuk bersenang-senang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menilik Rendahnya Length of Stay di Daerah Istimewa

21 September 2023   15:01 Diperbarui: 21 September 2023   15:14 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Yogyakarta pernah mendapatkan penghargaan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebagai Kota Tujuan Wisata Favorit di Indonesia. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan destinasi wisata yang banyak dikunjungi wisatawan karena memiliki budaya yang adiluhung meliputi 1 kota yaitu Yogyakarta dan 4 kabupaten yaitu Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Sleman, Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Bantul.

Kelebihan dan potensi wisata yang dimiliki Yogyakarta tetap saja terdapat kelemahan. Kurangnya kesadaran pariwisata yang dimiliki masyarakat menjadi salah satu kelemahan yang sangat menonjol. Karena kurang sadarnya masyarakat akan pariwisata tentu berdampak besar terhadap wisatawan yang mendapatkan perlakuan langsung ataupun tidak langsung dari masyarakat. Sehingga timbul keluhan dari para wisatawan yang tidak mendapatkan pelayanan yang memuaskan dari masyarakat. Keluhan yang dilontarkan oleh wisatawan antara lain kurang ramahnya para pelaku wisata seperti tukang becak dan pedagang kaki lima, tarif parkir yang menjengkelkan dan tidak sesuai dengan peraturan daerah yang berlaku.

Permasalahan yang tidak kalah pentingnya adalah Yogyakarta tidak lagi menjadi tujuan wisata kedua setelah Bali khususnya bagi wisatawan mancanegara. Walaupun setiap tahun wisatawan mancanegara selalu mengalami peningkatan, namun jumlah tersebut masih terbilang rendah bila dibandingkan dengan Lombok yang hampir berdekatan dengan wilayah Bali. Ternyata yang menjadi titik permasalahan adalah harga tiket masuk wisata yang mahal dibandingkan dengan kota lainnya. Permasalahan pariwisata yang ada di Yogyakarta bersifat kompleks dan melibatkan seluruh stakeholders yang ada.

Hal tersebut tentunya akan menghambat pengembangan pariwisata Kota Yogyakarta, maka sinergitas dan peran aktif dari seluruh stakeholder yang ada yaitu masyarakat, pemerintah dan swasta harus bekerja sama dengan baik terutama masyarakat sebagai pelaksana dan subjek pengembangan pariwisata untuk mengatasi permasalahan pariwisata yang ada di Yogyakarta. Karena untuk mengatasi masalah yang begitu kompleks tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja.

Berbagai upaya harus dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta sebagai pihak pemerintah yang bertanggung jawab dalam bidang pariwisata. Hal tersebut menjadi kewajiban instansi pemerintah bidang pariwisata untuk menciptakan iklim yang kondusif dan pasrtisipasi masyarakat yang aktif dalam rangka pencapaian good tourism governance atau tata kelola kepariwisataan yang baik. Tata kelola kepariwisataan yang baik merupakan harapan maupun cita-cita dari seluruh pihak baik pemerintah, masyarakat maupun swasta agar pariwisata di Yogyakarta bisa meningkat dari segi length of stay.

Interaksi antara Kebudayaan Jawa, Islam, dan pengaruh Kolonial Belanda, DIY telah menciptakan identitas pariwisata yang unik. Keberagaman etnis dan agama yang ada telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kekayaan pariwisata di kota ini. 

Penduduk DIY berasal dari berbagai etnis, seperti Jawa, Sunda, Betawi, dan Tionghoa yang membawa kekayaan budaya mereka sendiri. Mereka juga menganut beragam agama dengan mayoritas beragama islam, tetapi juga terdapat komunitas kristen, hindu, dan buddha yang cukup besar. Kehidupan beragama yang harmonis dan saling menghormati telah menciptakan suasana toleransi yang kuat di kota ini dan menjadikan DIY sebagai destinasi yang menarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.

Jogja juga dikenal dengan warisan budaya yang sangat kaya, salah satunya yang adalah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yaitu tempat tinggal sultan dan keluarganya. Keraton ini merupakan salah satu simbol kekuasaan dan warisan sejarah dari kerajaan Mataram Islam. Di dalam kompleks keraton, wisatawan dapat menemukan berbagai peninggalan budaya, seperti bangunan-bangunan bersejarah, tari-tarian tradisional, seni ukir, dan karya seni lainnya.

Selain keraton, ada juga Candi Prambanan yang merupakan salah satu situs warisan bersejarah di DIY. Candi Prambanan adalah kompleks candi indu terbesar di Indonesia yang mengimplementasikan arsitektur dan seni hindu yang megah. Terdapat pertunjukan Sendratari Ramayana di Candi Prambanan pada malam hari sesuai yang telah dijadwalkan. Pertunjukan ini merupakan salah satu hal yang cukup banyak diminati wisatawan domestik maupun mancanegara.

Bukan hanya kaya akan budaya, DIY juga memiliki keindahan alam yang menakjubkan. Hal tersebut dapat dilihat dari pantai-pantai yang indah, seperti Parangtritis di Bantul dan Indrayanti di Gunung Kidul, hingga kawasan pegunungan seperti Gunung Merapi, DIY menawarkan pemandangan alam yang memukau. Wisatawan dapat menikmati kegiatan, seperti hiking, bersepeda, atau mengeksplorasi gua-gua alam yang menakjubkan.

Keberagaman alam ini menambah daya tarik DIY sebagai tujuan wisata yang serba lengkap. Akan tetapi, keberagaman pariwisata di Jogja juga menimbulkan tantangan. pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan dan pelestarian budaya menjadi perhatian utama agar pariwisata DIY terus berkembang.

DIY menjadi salah satu daerah tujuan wisata yang banyak dikunjungi wisatawan. Akhir pekan dan musim liburan, sejumlah destinasi wisata selalu terlihat penuh. Akan tetapi lama tinggal (length of stay) wisatawan hanya berkisar selama satu sampai dua hari saja, dan dikatakan belum maksimal. Length of stay, jumlah wisatawan, dan belanja wisatawan adalah indikator keberhasilan pariwisata. ketiganya saling terkait, yaitu apabila jumlah wisatawan yang banyak akan menimbulkan potensi length of stay yang lebih tinggi serta belanja wisatawan yang otomatis juga lebih banyak.

Berdasarkan data Bappeda DIY, lama tinggal wisatawan domestik di DIY di angka 1,3--1,6 hari. Jumlah tersebut tidak jauh berbeda dengan tiga tahun sebelumnya yaitu 2022 di angka 1,41 hari kemudian 2021 di angka 1,40 hari dan pada 2020 juga di angka 1,90 hari. Sedangkan untuk wisatawan mancanegara selama lima tahun terakhir rata-rata di angka 2 hari, termasuk hasil rekapitulasi pada tahun 2022 mencapai angka 2,04 hari.

Johan Don Charles selaku Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata DIY mengatakan salah satu penyebab minimnya lama tinggal wisatawan di Yogyakarta adalah karena kondisi wilayah yang tergolong kecil menyebabkan sejumlah destinasi wisata dari satu daerah ke daerah lain tergolong dekat. Akibatnya wisatawan dapat menjangkau dalam waktu sehari dan memilih tinggal hanya sehari atau menginap semalam kemudian meninggalkan wilayah Yogyakarta.

"Length of stay wisatawan Yogyakarta tergolong masih sangat kecil sekali, karena belum mencapai waktu selama tiga hari. Padahal lama kunjungan wisatawan sangat diharapkan lebih lama agar dapat memutar roda perekonomian di daerah," kata Johan saat ditemui langsung di Dinas Pariwisata DIY, Senin (15/5/2023).

Masyarakat memiliki peran sentral sebagai pelaku pengembangan pariwisata. Secara umum, masyarakat sebagai tuan rumah bersentuhan langsung dengan wisatawan yang berkunjung ke Daerah Istimewa Yogyakarta seperti menjaga ketertiban, memberikan pelayanan jasa, dan kenyamanan kawasan wisata. Masyarakat diposisikan menjadi bagian dari kerjasama antar stakeholder yang ada bersamaan dengan pihak swasta untuk mengembangkan pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta, karena dinas tidak bisa berdiri sendiri dan senantiasa membutuhkan.

Namun, karakter akan kurangnya kesadaran pariwisata yang dimiliki masyarakat menjadi salah satu titik kelemahan yang sangat menonjol. Tentu berdampak besar terhadap wisatawan yang mendapat perlakuan langsung ataupun tidak langsung dari kurang sadarnya masyarakat.

Penyedia informasi di pusat Malioboro mengatakan hal serupa, masih adanya keluhan wisatawan yang menjumpai untuk protes akan pelayanan yang tidak memenuhi atau kenyamanan yang menganggu, hingga sulitnya mencari akses fasilitas umum. "Keluhan yang dilontarkan oleh wisatawan biasanya kurang ramahnya para pelaku wisata seperti tukang becak, Pedagang kaki lima atau asongan yang berada di sekitar jalan, jarang tidak menjaga kebersihan lingkungan dan sifatnya menganggu. Memungkinkan sekitar lingkungan objek wisata terlihat kumuh dan kotor", ungkap Lindu, selaku pegawai pada pusat informasi Malioboro.

Fasilitas umum yang kurang memadai seperti belum tersedianya toilet umum menjadi tidak memenuhi standar kelayakan untuk wisatawan. Hingga diberlakukannya tarif parkir yang menjengkelkan, tidak sesuai dengan peraturan daerah yang berlaku menjadi alasan menurunnya daya tarik wisatawan. Hal ini turut berpengaruh terhadap length of stay di Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu sarana dan prasarana juga bisa menjadi ukuran optimal atau tidaknya pemerintah untuk melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat.

Dalam melihat corak pariwisata terdapat sedikit perbedaan antara Bali dan Yogyakarta yaitu, corak pariwisata Bali lebih ke "tinggal di" sedangkan Yogyakarta lebih ke "pergi ke". Wisatawan "pergi ke" Keraton, candi, Malioboro, Tamansari, dan lain-lain saat diJogja sedangkan di Bali para wisatawan "tinggal di" Ubud, Sanur, Kuta dan lain-lain. Hal tersebut yang menyebabkan mengapa sebagian wisatawan lebih memilih Yogyakarta sebagai tempat singgah dalam kegiatan wisatanya, bukan sebagai destinasi atau tujuan wisata utamanya.

Hingga akhirnya hal ini berdampak pada masih rendahnya tingkat lama tinggal wisatawan (length of stay di Daerah Istimewa Yogyakarta ) yang masih dalam angka kurang dari dua hari. Maka dari itu dibutuhkan inovasi-inovasi baru dalam meningkatkan lama tinggal wisatawan di D.I Yogyakarta. Pemerintah harus memanfaatkan seluruh potensi yang ada agar dapat melakukan inovasi-inovasi tersebut.

Johan Don Charles selaku Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata DIY mengatakan saat ini yang sedang digencarkan adalah acara-acara atau event budaya dengan diadakanya pertunjukan atau pementasan-pementasan di panggung terbuka seperti di kawasan padat wisatawan seperti Malioboro atau kawasan lainya.

"D.I Yogyakarta sendiri mempunyai banyak seniman-seniman muda bahkan seniman- seniman yang sudah besar namanya, potensi-potensi tersebut akan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mendongkrak kemajuan pariwisata. Selain dapat menajadikan pertunjukan seni menjadi landmark baru yang dapat menarik dan menahan wisatawan untuk tinggal lebih lama", ungkapnya.

Mengadakan sebuah event pariwisata menjadi solusi dalam menjawab tantangan terkait daya tarik terhadap kunjungan wisman ke daerah Yogyakarta. Hal tersebut termasuk dalam meningkatkan belanja dan lama tinggal (length of stay) wisatawan di Yogyakarta.

"Kami menyadari bahwa salah satu daya tarik yang dimiliki Yogyakarta dengan terus memompa kunjungan wisatawan itu dengan penyelenggaraan berbagai event. Saat ini sudah kita mulai sejak pandemi berakhir dan nanti akan terus kita adakan," kata Johan Don Charles, Kabid Pemasaran di Dinas Pariwisata DIY, Senin (15/5/2023).

Setidaknya, Dispar sudah mencatat total kunjungan wisatawan hingga akhir 2022 sebanyak 3,9 juta kunjungan. Jumlah ini belum termasuk mereka yang melakukan perjalanan hanya sehari (one day trip). Dari 3,9 juta kunjungan tersebut, 10 persennya merupakan wisman. "Ini patut diapresiasi, tapi tetap memberikan tantangan bagi kita untuk terus mempertahankan kondisi ini agar terus menghadirkan daya tarik bagi wisman," ujar Johan.

Dinas Pariwisata Provinsi DIY Dalam Melakukan Pemasaran Daya Tarik Wisata

Yogyakarta sebagai salah satu kota pariwisata di Indonesia yang kaya akan beragam wisata di dalamnya. Yang menjadi fokus dalam daya tarik wisata di Yogyakarta adalah wisata alam dan wisata budaya atau wisata heritage. Namun, masih ditemukannya fenomena yang terjadi dari tahun ke tahun yaitu kenaikan jumlah kunjungan wisatawan tersebut tidak dapat menyebabkan length of stay wisatawan di Yogyakarta meningkat.

Yogyakarta dengan luas administratif wilayah yang cukup kecil menyebabkan adanya paket wisata yang dipromosikan antar obyek wisata yang terletak berdekatan. Paket tersebut terjadi melalui mouth by mouth promotion. Dalam pelaksanaan dan pengembangan, umumnya wisatawan akan mengikuti paket wisata tersebut, baik karena upaya promosi dari agen perjalanan, maupun dari kerabat atau media lainnya.

Benny Sapti sebagai Pranata Humas DIY mengatakan bahwa komunikasi pemasaran yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata Provinsi DIY sudah cukup baik. Hanya saja perlu adanya perluasan pasar dan inovasi dalam mempromosikan pariwisata Yogyakarta untuk meningkatkan length of stay wisatawan dan terus menaikkan jumlah kunjungan wisatawan.

"Yang menjadi nilai ketertarikan kuat adalah atraksi yang ditawarkan berupa perpaduan antara keunikan budaya dan konservasi natural. Saat ini juga ada wisata minat khusus berupa kampung wisata sebagai salah satu alternatif atraksi," ungkap Benny.

Bentuk atraksi yang dimiliki Yogyakarta dapat dibagi menjadi daya tarik alam, bangunan dan benda bersejarah, tradisi dan budaya lokal, serta bentuk atraksi lainnya. Bentuk tradisi dan budaya lokal yang dimaksud adalah atraksi kesenian lokal, permainan tradisional, tari tradisional, dan event budaya. Sedangkan bentuk atraksi lainnya dapat berupa pemasaran dan hasil kerajinan tangan atau kegiatan lain yang dilakukan wisatawan ketika berkunjung ke obyek wisata.

Namun disisi lain, obyek daya tarik wisata Yogyakarta belum memiliki hubungan keterkaitan yang kuat karena banyaknya kemiripan atraksi antar obyek wisata satu dengan lainnya. Hal tersebut juga didukung oleh promosi atau paket wisata yang hanya terjadi pada obyek yang berdekatan, sehingga upaya promosi masih kurang mencakup seluruh obyek di daerah Yogyakarta.

Salah satu cara yang digunakan pemerintah kota Yogyakarta, khususnya Dinas Pariwisata adalah dengan bertransformasi ke platform digital. transformasi digital bertujuan untuk memberikan pasar yang lebih luas dan lebih mudah dijangkau oleh wisatawan. mayoritas wisatawan yang berkunjung di Yogyakarta akan berkunjung ke kawasan malioboro. hal ini membuktikan bahwa promosi yang kurang efektif.

Perlu diketahui bahwa otoritas dari kawasan Malioboro dan sekitarnya adalah otoritas Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta. karena Malioboro menjadi simbol kota Yogyakarta yang banyak dikenal oleh wisatawan sekaligus menjadi warisan leluhur yang dimiliki oleh Yogyakarta yang harus dilestarikan. Wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara saat berkunjung di Yogyakarta kebanyakan akan berkunjung di kawasan kota Yogyakarta khususnya di Malioboro.

RTH. Pardede, selaku Kepala Sub bagian Tata Usaha UPT pengelolaan kawasan cagar budaya Malioboro mengatakan jika kawasan Tugu, Malioboro dan Keraton merupakan sumbu filosofi Jogja. oleh karena itu dalam pemberdayaan dan pengembangan yang dilakukan pemasaran dengan menekankan citra natural dan eksklusif yang dimiliki oleh keraton Yogyakarta. "Tugas kita, tugas pemprov adalah sebagai fasilitator, citra yang kita bangun terhadap kawasan kota jogja dan   kawasan   malioboro   adalah   kawasan   yang premium," Jelasnya.

Untuk mewujudkan cita-cita tersebut salah satunya adalah dengan memanfaatkan media digital sebagai alat untuk menarik wisatawan untuk berkunjung di Yogyakarta. Pemerintah Kota Yogyakarta mengawali dengan membuat website pariwisata Jogja. website yang dirintis pertama kali oleh dinas pariwisata DIY dengan nama pelesiran Yogyakarta. namun mengalami perubahan karena menyesuaikan dengan website yang dibuat oleh dinas pariwisata.

Berawal dari website sehingga menjadi aplikasi yang mengintegrasikan berbagai kemudahan penunjang pariwisata. Terdapat beragam menu yang bisa dipilih sesuai keinginan wisatawan di antaranya wisata, akomodasi, kuliner, oleh-oleh, desa wisata, event, peta wisata, info wisata, hingga media sosial Visiting Jogja. Ada juga informasi cuaca yang mengabarkan keadaan cuaca terkini di empat kabupaten dan satu kota di DIY.

Mewujudkan Yogyakarta sebagai kota wisata tidak akan maksimal jika tidak ada dukungan dari berbagai pihak dan kerjasama dari berbagai instansi. tentu pemerintah kota yogyakarta memiliki peraturan tersendiri terkait otoritas pengelolaanya.

Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Kota Yogyakarta 2015 -- 2025

Pada Pasal 10 dijelaskan bahwa Arah Kebijakan dan Strategi Pembangunan Destinasi Pariwisata meliputi: pembangunan pariwisata berbasis wilayah, pembangunan daya tarik wisata, pembangunan fasilitas umum pariwisata, pembangunan aksesibilitas transportasi, pemberdayaan masyarakat melalui kepariwisataan dan pengembangan investasi di bidang pariwisata.

Strategi tersebut tentunya sebagai sarana untuk meningkatkan jumlah kunjungan serta lama tinggal wisatawan di Kota Yogyakarta. Selain itu, pariwisata Kota Yogyakarta juga mengembangkan Kampung wisata sebagai daya tarik wisata. Pada pasal 19 dijelaskan bahwa pembangunan kampung wisata dilaksanakan melalui perintisan kampung wisata, pengembangan potensi yang menjadi ciri khas kampung wisata dan peningkatan kualitas dan daya saing produk wisata. Dengan semakin meningkatkan standar produk, pengelolaan dan pelayanan di kampung wisata tentunya juga menjadi salah satu meningkatkan lama tinggal wisatawan.

Masing-masing kampung wisata di Yogyakyarta memiliki koordinasi dengan dinas pariwisata. semua elemen pariwisata terintegrasi dan masif berkomunikasi perihal perkembangan periwisata. walaupun di sepanjang kawasan wisata banyak hotel atau homestay yang dimiliki oleh swasta atau bahkan perseorangan, semuanya memiliki alur koordinasi yang puncaknya kepada dinas pariwisata setempat. kawasan-kawasan wisata biasanya dipimpin oleh kutua kelompok sadar wisata (Pokdarwis). kemudian Pokdarwis ini yang melakukan koordinasi.

Grand Design Integrasi Pariwisata

Wisatawan menjadi kunci utama bagi sejumlah destinasi pariwisata di seluruh daerah Indonesia, khusunya wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara umum menurut informasi dari Dinas Pariwisata DIY, karakteristik pariwisata menjadi salah satu faktor utama penyebab length of stay di Yogyakarta tidak kunjung naik dari tahun ke tahun. Dikatakan bahwa profil dan karakteristik wisatawan nusantara hanya memiliki lama tinggal yang pendek sekitar 1-2 hari. Kebanyakan dari mereka tinggal di rumah saudara atau kerabat, sehingga sangat sedikit yang menggunakan fasilitas akomodasi.

"Motivasi utama para wisatawan nusantara adalah sekedar jalan-jalan, kemudian lebih menyukai menggunakan kendaraan pribadi dan mengatur perjalanannya sendiri atau tidak menggunakan jasa agen perjalanan," kata Johan Don Charles, Kabid Pemasaran di Dinas Pariwisata DIY, Senin (15/5/2023).

Pertimbangan aksesibilitas, fasilitas dan harga menjadi yang berpengaruh pada motivasi perjalanan. Adapun minat terhadap tipe daya tarik wisata adalah jenis wisata alam, yang bisa dikunjungi dalam waktu tidak mencapai sehari.

Dalam pelaksanaannya, akses pariwisata di Yogyakarta dan sekitarnya masih dijalankan dengan sistem tradisional. Sebagai salah satu contoh akses dari Kota Yogyakarta ke daerah Gunung Kidul, para wisatawan mancanegara terjebak dengan akses apabila berpergian tanpa memilih paket wisata yang biasa disediakan oleh hotel atau guide dan sebagainya. Walaupun sebenarnya daerah Gunung Kidul banyak ditemukan berbagai pantai yang tidak kalah indah dengan Bali dan Lombok.

Dalam pengembangan pariwisata saat ini terdapat pergeseran kecenderungan wisatawan dari dimensi alam seperti pantai ke dimensi tradisional berupa budaya dan masyarakat lokal. Kota Yogyakarta dengan potensi tersebut juga terkena dampak berupa peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara. Namun, terdapat permasalahan berupa distribusi kunjungan wisatawan mancanegara yang masih belum merata antara di pusat dan pinggir kota. Oleh karena itu, diperlukan integrasi untuk pemerataan kunjungan yang didasarkan pada preferensi wisatawan sebagai bentuk perencanaan kebutuhan pasar.

Ashrofi sebagai Koor Lapangan Gunung Kidul dari Dinas Pariwisata DIY juga mengatakan bahwa wisatawan mancanegara masih tergolong rendah, masih banyak dari mereka yang belum mengetahui daerah wisata alam di Gunung Kidul. Akses kendaraan yang tidak terpenuhi menjadi salah satu faktor penghambat bagi wisatawan mancanegara.

Wisatawan mancanegara cenderung berpergian wisata dengan jenis backpacker, kendala akomodasi seperti kendaraan menjadi penghambat bagi wisatawan mancanegara yang tanpa menggunakan tour guide. Di antara pernyataan yang diberikan oleh koor dari Dinas Pariwisata di bagian Gunung Kidul, mengatakan bahwa tidak terdapat penyewaan atau jasa yang menyediakan mengenai kendaraan.

"Secara akses jalan memang sudah lancar dan baik, tapi untuk menghubungkan antar wilayah memang susah apabila tidak menggunakan kendaraan pribadi ataupun menggunakan jasa travel. Sehingga wisatawan mancanegara masih kurang mengetahui keberadaan wilayah Gunung Kidul secara luas", ungkap Ashrofi.

Sedangkan Benny Sapti sebagai Pranata Humas DIY mengatakan yang berbeda sebaliknya. "Semua akses kendaraan sudah dipermudah dan apa saja bisa dicari melalui aplikasi visiting jogja", kata Benny.

Namun, pada kenyataan, akomodasi di wilayah Gunung Kidul memang belum memadahi dari segi kendaraan dan sebagainya. Sehingga integrasi antar wilayah masih terdapat kendala untuk menghubungkan.

Jogja -- Solo: Kompetisi atau Kolaborasi

Dinas Pariwisata DIY mempunyai misi jangka menengah. salah satu misi yang tengah dilaksanakan adalah menjalin kerjasama dengan kota wisata lain. Solo menjadi kota yang tak jauh dari kota yogyakarta. hal ini menjadikan solo menjadi kawasan wisata strategis yang mempunyai potensi mengalahkan Yogyakarta. Namun sebaliknya, Dinas Pariwisata melalui Badan Promosi Pariwisata DIY menjalin kerjasama dengan solo dan juga Semarang (Joglosemar). kerjasama tersebut juga tidak lepas dari kerjasama transportasi. salah satu misi yang telah direalisasikan adalah dengan mengintegrasikan transportasi Jogja dan Solo. Prayudi selaku pengamat wisata mengatakan "Jogja -- Solo bisa untuk berkolaborasi dan bersinergi, tidak untuk dibanding-bandingkan. Saling mengisi, bukannya bersaing." Ujarnya

Sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi wisatawan untuk berkunjung di tempat wisata. salah satunya adalah kejenuhan dalam berkunjung di tempat wisata. diketahui jika melihat kebelakang wisata Jogja lebih jaya terlebih dahulu. kemudian Solo mulai mengembangkan sektor pariwisata. Prayudi mengatakan jika akomodasi dan infrastruktur akan mempengaruhi wisatawan dalam memilih kota "Kita harus saling bantu. Kita kompetisi dalam hal tertentu. Itu kan memudahkan akses dari Solo ke Jogja dan sebaliknya. Bisa jadi tinggalnya di Jogja, tetapi mainnya ke Solo. Solo berbenah, seperti Masjid Syech Zayed itu. Kalau Jogja tidak berbenah, lama-lama bisa terlindas dari Solo. Meskipun karakternya berbeda, Solo kota Belanja dan Jogja kota Kreatif. Intinya kita perlu waspada agar wisatawan tidak lebih memilih Solo," Jelasnya.

Wisata malam juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi LOS di kawasan wisata. yogyakarta mempunyai kawasan yang dialokasikan khusus untuk menjadi kawasan wisata malam. jika mengacu pada misi yang tertulis pada Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Yogyakarta pada point (b) disebutkan bahwa, salah satu misi dinas pariwisata adalah menumbuhkembangkan wisata malam. RTH. Pardede Selaku Kasubag Tata Usaha UPT Malioboro mengatakan jika gagasan tentang wisarta malam sudah diinisiasi sejak lama. "Dulu memang ada gagasan dari pemerintah bahwa jogja itu panggung. Titik mana saja bisa dijadikan panggung besar gitu lo. Jika dari sisi kebudayaan ada pusaka, jogja punya potensi kota pusaka," Ungkapnya.

Hal serupa juga terjadi di kota solo. Solo menjadi salah satu tujuan wisata khususnya malam hari. hal ini juga tak lepas dari kepemimpinan walikota solo yang sangat memperhatikan perkembangan pariwisata. beberapa kebijakan terkait pariwisata yang ditentukan oleh pemerintah daerah solo terbukti efektif mendongkrak wisatawan untuk berkunjung di solo.

Pemerintah Kota Yogyakarta membentuk Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap dengan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Kota Yogyakarta. Pembentukan lembaga UPTSA diharapkan bisa menjawab tuntutan dari masyarakat umum dan dunia usaha agar pemerintah Kota Yogyakarta bisa melayani perizinan yang diajukan oleh mereka dengan proses yang tidak berbelit-belit, tidak berbiaya tinggi, dan lebih transparan. UPTSA langsung berkoordinasi dengan pemimpin daerah yang dapat mempercepat alur koordinasi pengembangan wisata.

Libatkan Pengamat Pariwisata dengan Konsep Pentahelix 

Konsep pariwisata berkelanjutan secara konsisten memerlukan kerjasama antara para pemangku kepentingan agar secara praktik dapat berjalan dan terpantau oleh Pemerintah Daerah dan seluruh pihak yang berkepentingan sebagai indikator kunci yang strategis.

Sementara itu, Prayudi, Dosen Ilmu Komunikasi UPN "Veteran" Yogyakarta yang juga menjadi pengamat pariwisata lebih menyoroti tentang permasalahan pariwisata di Yogyakarta. Prayudi mengungkapkan bahwa diperlukan peran untuk   menggandeng   civitas akademika utamanya Perguruan Tinggi agar dapat mengkaji berbagai permasalahan sosial di masyarakat salah satunya mengenai konflik pada sektor pariwisata. Ditambahkan oleh Prayudi perlu dibentuk organisasi lokal seperti Paguyuban dengan tujuan menguatkan masyarakat lokal, karena potensi wisata meningkat bisa ditimbulkan dari desa ke desa. Sehingga, keterlibatan   masyarakat sebagai stakeholder dalam pembangunan pariwisata perlu ditingkatkan.

Dalam melihat perkembangan pariwisata Yogyakarta agar berjalan optimal, maka Dinas Pariwisata perlu melakukan pertemuan rutin dari seluruh stakeholder sebagai wujud koordinasi, monitoring dan evaluasi bersama terhadap peta permasalahan pariwisata di Yogyakarta. Mengingat masalah bidang pariwisata Yogyakarta tidak bisa hanya diselesaikan oleh satu pihak saja, melainkan seluruh stakeholder pariwisata yang ada.

Dengan mengajak kolaborasi dengan sisi akademik, potensi dalam memperbaiki dan mengembangkan infrastruktur akan saling berhubungan sesuai dengan pemasaran masing- masing kabupaten/kota. Mereka akan menganalisis dari segi market tiap-tiap daerah wisata untuk saling terintegrasi, sehingga dapat menghasilkan rekomendasi ke pemangku kebijakan. Seperti contoh pariwisata di Bali, konsep dan market tiap daerah wisata memilikin konsep yang berbeda dan dilindungi oleh regulasi agar tidak saling tabrakan.

Tempat nyaman untuk berkumpul ini belum ditemukan di Jogja. LOS memang menjadi challenge, tetapi perilaku melayani harus tetap diutamakan bahwa Jogja adalah kota wisata. Harus bisa memetakan stakeholdernya siapa saja yang terlibat, seperti masyarakat, penjual, aparat pemerintah di Dispar. Mereka harus berkolaborasi. Kalau jalan sendiri-sendiri tujuannya tidak lebih besar daripada berkolaborasi. Hal ini karena LOS adalah tanggung jawab bersama. Akademik memberikan pelatihan-pelatihan seperti pelayanan, pengemasan sehingga tidak akan ada kejadian viral yang menghancurkan semua, seperti "nuthuk" harga. Yang kedua adalah transportasi kenyamanan.

Bukan hanya civitas akademika saja, tetapi semua unsur Pentahelix harus dikolaborasikan secara maksimal. Konsep Pentahelix dalam pariwisata adalah salah satu opsi terkait pengembangan pariwisata di Indonesia. Terdapat lima pihak didalamnya, yaitu civitas akademika, bisnis, komunitas, pemerintah, dan media. Sebagai contoh, dalam praktiknya, civitas akademika bisa memberikan pelatihan-pelatihan, seperti tentang bagaimana pelayanan yang baik bagi para wisatawan.

Hal ini bertujuan untuk menghindari kejadian yang kurang menyenangkan, seperti mematuk harga yang tinggi untuk kuliner ataupun parkir. Ketidaknyamanan tersebut dapat membuat wisatawan enggan untuk kembali ke tempat wisata. Menurut Prayudi, semua pihak dalam pentahelix bertanggung jawab tentang tingkat length of stay ini. "Kalau jalan sendiri- sendiri, tujuan yang dicapai tidak akan lebih besar daripada ketika berkolaborasi," ucapnya.

Persoalan lain tentang wisatawan yang hanya datang ke tempat itu-itu saja menjadi perhatian bagi pengambil kebijakan, mengenai infrastruktur atau fasilitas yang belum lengkap di destinasi. Terutama perhatian untuk wisatawan asing.

Salah satu hal yang dicari wisatawan untuk memilih tinggal lama di suatu daerah wisata adalah pengalaman. Pengalaman akan memberikan kesan yang tidak mudah hilang dari seseorang, berbeda ketika hanya berfoto saja di tempat wisata. "Kunci sukses wisata ya harus melibatkan pengunjung," ungkap Prayudi.

Wisatawan nusantara akan menjadikan pengalaman yang didapatkan dari daerahnya masing-masing sebagai sebuah acuan untuk memilih berwisata di Jogja. Budaya sebagai sebuah ciri khas pariwisata di Jogja bisa menjadi sebuah tujuan itu. Sebagai contoh, wisatawan yang berasal dari Bandung lebih tertarik pada wisata bentuk heritage di Jogja karena sesuai dengan apa yang mereka nikmati di kotanya.

Berbeda dengan wisatawan mancanegara lebih tertarik pada hal yang tidak ditemukan di negara asalnya. Hijaunya persawahan desa-desa di Jogja cukup menarik bagi mereka. Hal tersebut dapat dijadikan sebuah ide awal untuk mengembangkan program desa wisata di setiap kabupaten/kota. Keunikan setiap desa harus digali sebagai ciri khas untuk mampu menarik perhatian wisatawan. Jika tidak ditemukan hal itu, maka desa wisata bisa menciptakan sesuatu yang baru dan menjadikannya sebagai ciri khas.

Pemerintah sebagai regulator bisa mengawali hal ini, salah satunya dengan membina komunitas kreatif yang ada di Jogja. Kedepannya, mereka yang akan mampu mengadakan berbagai acara dan menawarkan hasil produk masyarakat lokal untuk meningkatkan daya tarik wisatawan. Konsep gandeng-gendong, dimana semua sektor saling membantu dalam pariwisata, dapat diterapkan dalam membangun desa wisata ini. Salah satu contohnya adalah setiap desa wisata dapat menggandeng hotel-hotel di sekitarnya sebagai perantara wisatawan untuk mendatangi desa tersebut. 

Wisatawan yang menginap di sana diarahkan untuk datang ke desa wisata dan disediakan pilihan berbagai paket wisata yang sesuai dengan keinginan mereka. Untuk wisatawan mancanegara bisa sekadar di ajak berkeliling desa dengan sepeda untuk menikmati suasana sejuk dan damai di sana. Selain itu, mereka bisa ditawarkan wisata pengalaman, seperti belajar membatik dan membajak sawah dengan kerbau.

Peranan kunci dipegang oleh pemerintah. Menurut Prayudi, orang desa cenderung akan malas ketika usahanya tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah, salah satunya desa wisata ini. Perhatian itu dapat diwujudkan dengan pemerintah menjadi pintu berbagai pihak terkait untuk berkolaborasi memberikan pembinaan. "Mereka (orang desa) tidak tahu bagaimana cara menarik konsumen, di situ akademisi bisa membantu. Bahkan, perbankan bisa membantu sebagai lembaga keuangan dalam konsep Pentahelix. Kuncinya sekarang adalah sinergi semua kalangan, bagaimana menggandeng semua pihak masuk ke sini," jelasnya dengan lebih konkret.

Pengembangan desa wisata sudah sesuai dengan harapan Presiden Joko Widodo tentang pariwisata Indonesia agar tidak hanya fokus pada sumber daya alam saja. Akan tetapi, bagaimana masyarakat kreatif bisa mengembangkan potensinya dengan pelatihan-pelatihan.

Problematika Tanah Sultan

Tanah sultan merupakan hal yang tidak bisa dihindari karena memang DIY merupakan daerah kesultanan. Akan tetapi, menurut Prayudi, persoalan tanah sultan sejauh ini masih bisa dinegosiasikan. "Pemanfaatan tanah sultan untuk pariwisata, bukan untuk dibangun atau dibeli pihak tertentu," ucapnya.

Menurutnya, dalam pengembangan pariwisata di daerah yang termasuk tanah sultan memang harus tetap berhati-hati. Akan tetapi, jika memang sekiranya berniatan baik dan bisa bermanfaat untuk semua, maka lebih baik untuk dibicarakan secara terbuka dengan mengajukan izin yang resmi.

Menurut Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 33 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten: Tanah Kasultanan adalah tanah hak milik Kasultanan yang meliputi tanah keprabon dan tanah bukan keprabon atau dede keprabon yang terdapat di kabupaten/kota dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Serat Kekancingan adalah surat keputusan tentang pemberian hak atas tanah dari Kasultanan atau Kadipaten kepada masyarakat/institusi yang diberikan dalam jangka waktu tertentu dan dapat diperpanjang/diperbarui. Pasal 51: Penggunaan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten untuk pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial dan/atau kesejahteraan masyarakat harus mendapatkan Serat Kekancingan dari Kasultanan untuk Tanah Kasultanan atau dari Kadipaten untuk Tanah Kadipaten.

Untuk memperoleh Serat Kekancingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, harus mengajukan surat permohonan tertulis kepada Kasultanan untuk penggunaan Tanah Kasultanan atau kepada Kadipaten untuk penggunaan Tanah Kadipaten yang ditanda-tangani oleh pemohon dengan melampirkan dokumen persyaratannya.

Dokumen persyaratan meliputi antara lain rekomendasi kesesuaian rencana tata ruang dari Pemerintah Kabupaten/Kota atau dari Badan Koordinasi Penataan Ruang DIY. Selain itu juga pemerintah kota memiliki regulasi terkait izin pembangunan. Izin pembangunan yang dikeluarkan oleh Dinas Perizinan Pemerintah Kota Yogyakarta mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung, yang mengatur secara detail tentang bangunan gedung di Kota Yogyakarta.

Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung merupakan landasan hukum yang harus ditaati oleh setiap warga negara Indonesia yang akan mendirikan sebuah bangunan, termasuk bangunan hotel. UU ini lahir atas berbagai pertimbangan, salah satunya bahwa bangunan gedung harus diselenggarakan secara tertib, diwujudkan sesuai dengan fungsinya, serta dipenuhinya persyaratan administratif dan teknis. 

Pertimbangan tersebut menegaskan bahwa negara hadir untuk menciptakan ketertiban ditengah-tengah masyarkat terkait dengan persoalan membangun bangunan, baik yang bersifat pribadi seperti tempat tinggal, maupun bangunan yang diperuntukan untuk kegiatan usaha seperti hotel.

Demi terciptanya ketertiban di atas, setiap bangunan gedung harus mempunyai asas, tujuan dan lingkup yang jelas. Hal tersebut seperti yang tertuang pada pasal 2, yakni bangunan gedung diselenggarakan berlandaskan asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, serta keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya.

Liputan kolaborasi ini ditulis oleh:

Irza Triamanda, Destiara Hasna Jayanto, dan Dzika Fajar Alfian Ramadhani

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun