Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Home Pilihan

Penduduk Kota Satelit yang Enggan Lepas KTP Jakarta

21 Desember 2024   06:30 Diperbarui: 21 Desember 2024   06:30 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota Satelit yang dimaksudkan di sini adalah kota-kota yang  berada di sekitar sebuah kota metropolitan. Untuk Jakarta, yang menjadi satelit adalah Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.

Batas antara kota Jakarta dengan kota-kota satelitnya relatif sulit dipastikan (jika tidak ada gerbang pembatas), karena kota satelit pun sudah bercorak kota besar yang dipenuhi gedung-gedung tinggi.

Cerita kota satelit ini memang penuh dengan suka dan duka bagi penduduknya. Terutama bagi mereka yang mulanya tinggal di Jakarta dan kemudian "tergusur" ke kota satelit, meskipun masih tetap bekerja di Jakarta.

Bukti mereka pernah lama tinggal di Jakarta adalah mereka telah punya Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta, tapi kemudian dengan berbagai pertimbangan mereka pindah ke kota satelit.

Paling tidak, ada dua kelompok besar yang pernah lama menjadi penduduk Jakarta, yang kemudian pindah domisili ke kota satelit.

Pertama, mereka yang berasal dari orang tua yang asli Jakarta. Ketika kedua orang tuanya meninggal, anak-anaknya sepakat untuk menjual rumah warisan tersebut.

Bila anak-anaknya banyak, tentu bagian masing-masing anak relatif kecil, sehingga hanya bisa untuk membeli rumah di kota satelit.

Seperti diketahui, harga rumah di Jakarta jauh lebih mahal dari harga rumah tipe dan ukuran yang sama di kota satelit.

Memang, ada pilihan lain, yakni tinggal di apartemen sederhana di Jakarta yang disebut juga dengan rumah susun.

Tapi, masih banyak orang yang kurang nyaman dan tidak betah untuk hidup sehari-hari dalam jangka panjang di rumah susun.

Kedua, orang daerah yang dapat pekerjaan di Jakarta. Mulanya mereka mengontrak rumah yang relatif dekat dengan tempat mereka bekerja dan kemudian berhasil mendapatkan KTP Jakarta. 

Setelah mereka punya tabungan dan bermaksud membeli rumah sendiri, kebetulan anggaran yang dipunyainya (termasuk bila membeli secara kredit) lebih pas untuk rumah di kota satelit.

Namun demikian, mereka tetap merasa sebagai orang Jakarta, karena beraktivitas tiap hari di ibu kota. Oleh karena itu, banyak di antaranya yang tak mau berganti KTP.

Artinya, mereka masih terdaftar di tempat tinggal mereka sebelumnya. Konsekuensinya, mereka ikut pemilu pun di lokasi tempat tinggal lama tersebut.

Mereka berpikir buat apa ganti KTP, toh mereka hanya sekadar numpang tidur di kota satelit. Udara yang mereka hirup adalah udara Jakarta, meskipun dengan tingkat polusi yang tinggi.

Ya, mereka tetap bekerja di Jakarta. Hanya tempat tidurnya yang di kota satelit. Mereka tidak melihat matahari di tempat tinggalnya, karena meninggalkan rumah di waktu subuh dan masuk rumah lagi di malam hari.

Mereka dijuluki sebagai orang yang tua di jalan, bahkan ada yang bilang mereka yang jompo di usia muda. Julukan ini rasanya berlebihan, dan anggap saja sebagai candaan.

Tapi, terlepas dari soal "tua di jalan", mari kita lihat, kenapa banyak warga kota satelit yang masih ber-KTP Jakarta? 

Pertama, mungkin karena ada alasan sentimental dan ingin memelihara kebanggaan punya KTP Jakarta. Bukankah status ibu kota negara terasa menjadi "sesuatu", meskipun tidak lama lagi ibu kota akan pindah.

Kedua, pemegang KTP Jakarta mendapat berbagai fasilitas atau lebih mudah dalam mengakses pelayanan publik di wilayah Jakarta.

Misalnya, dapat naik Bus Transjakarta secara gratis bagi yang usianya di atas 60 tahun, setelah mengurus administrasimya di kantor manajemen Transjakarta.

Ada pula kemudahan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Sebagai contoh, seorang warga bernama Sita Sari (29 tahun) mengungkapkan alasannya belum mengurus administrasi pindah domisili dari Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, ke Desa Ragajaya, Bojong Gede, Kabupaten Bogor. 

Menurut Sita, memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Jakarta punya beberapa keuntungan. Salah satunya lebih mudah mendapatkan akses fasilitas kesehatan. 

“KTP Jakarta itu enak banget. Yang saya rasakan, itu soal akses kesehatan ya. Misal sakit dan punya BPJS, itu (administrasinya) enggak ribet gitu, tinggal datang ke Puskesmas,” ujar Sita saat dihubungi Kompas.com, Kamis (17/4/2024).

Tapi, kisah yang dialami Sita di atas sulit untuk diulang kembali. Soalnya, Pemprov DKI Jakarta telah menonaktifkan KTP Jakarta bagi pemegangnya yang berdomisili tidak lagi di Jakarta.

Masalahnya, dari sistem yang digunakan pemprov DKI Jakarta tersebut, tetap masih ada yang luput dari pemantauan.

Pertanyaannya, apakah dengan kesadaran sendiri, warga kota satelit yang masih ber-KTP Jakarta mau mengurus pergantian KTP?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Home Selengkapnya
Lihat Home Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun