Kedua, orang daerah yang dapat pekerjaan di Jakarta. Mulanya mereka mengontrak rumah yang relatif dekat dengan tempat mereka bekerja dan kemudian berhasil mendapatkan KTP Jakarta.Â
Setelah mereka punya tabungan dan bermaksud membeli rumah sendiri, kebetulan anggaran yang dipunyainya (termasuk bila membeli secara kredit) lebih pas untuk rumah di kota satelit.
Namun demikian, mereka tetap merasa sebagai orang Jakarta, karena beraktivitas tiap hari di ibu kota. Oleh karena itu, banyak di antaranya yang tak mau berganti KTP.
Artinya, mereka masih terdaftar di tempat tinggal mereka sebelumnya. Konsekuensinya, mereka ikut pemilu pun di lokasi tempat tinggal lama tersebut.
Mereka berpikir buat apa ganti KTP, toh mereka hanya sekadar numpang tidur di kota satelit. Udara yang mereka hirup adalah udara Jakarta, meskipun dengan tingkat polusi yang tinggi.
Ya, mereka tetap bekerja di Jakarta. Hanya tempat tidurnya yang di kota satelit. Mereka tidak melihat matahari di tempat tinggalnya, karena meninggalkan rumah di waktu subuh dan masuk rumah lagi di malam hari.
Mereka dijuluki sebagai orang yang tua di jalan, bahkan ada yang bilang mereka yang jompo di usia muda. Julukan ini rasanya berlebihan, dan anggap saja sebagai candaan.
Tapi, terlepas dari soal "tua di jalan", mari kita lihat, kenapa banyak warga kota satelit yang masih ber-KTP Jakarta?Â
Pertama, mungkin karena ada alasan sentimental dan ingin memelihara kebanggaan punya KTP Jakarta. Bukankah status ibu kota negara terasa menjadi "sesuatu", meskipun tidak lama lagi ibu kota akan pindah.
Kedua, pemegang KTP Jakarta mendapat berbagai fasilitas atau lebih mudah dalam mengakses pelayanan publik di wilayah Jakarta.
Misalnya, dapat naik Bus Transjakarta secara gratis bagi yang usianya di atas 60 tahun, setelah mengurus administrasimya di kantor manajemen Transjakarta.