Langkah berani diperlihatkan oleh pemerintah Australia yang secara resmi melarang anak berusia di bawah 16 tahun main media sosial, dengan mengesahkan undang-undang (UU) baru pada Kamis (28/11/2024).
Kebijakan pemerintah Australia ini tergolong berani, karena di banyak negara lain belum seperti itu.
Dapat dikatakan bahwa kebijakan pemerintah Australia menjadi salah satu regulasi paling ketat di dunia, karena berani "menantang" raksasa teknologi dunia.
Tentu, UU pelarangan media sosial bagi anak-anak itu telah memicu perdebatan sengit, tidak hanya di Australia, tapi juga di negara-negara lain.
UU ini mewajibkan platform media sosial seperti Instagram, Facebook, dan TikTok melakukan sesuatu untuk mencegah akses anak-anak di bawah umur.
Pelanggaran terhadap aturan tersebut akan dikenai denda hingga AUD 49,5 juta atau setara dengan Rp 500 miliar. Tahap uji coba penerapan akan dimulai Januari 2025, sebelum larangan penuh berlaku dalam setahun.
Dengan kebijakan tersebut, Australia kini menjadi pelopor dalam membatasi akses media sosial bagi remaja, mengikuti kebijakan negara lain seperti Prancis dan sejumlah negara bagian di Amerika Serikat.
Tapi, peraturan di Australia lebih keras karena bersifat mutlak tanpa adanya pengecualian izin dari orang tua.
Makanya, Australia bisa menjadi model bagi negara lain yang punya kekhawatiran terkait dampak media sosial terhadap kesehatan mental anak-anak dan remaja.
Memang, media sosial ibarat pedang bermata dua, bisa membantu tapi bisa pula menjerumuskan.
Mari kita lihat terlebih dahulu apa saja dampak positif media sosial, yang antara lain sebagai berikut.
Pertama, menjadi sumber informasi dan pengetahuan, di mana media sosial memberikan akses cepat dan mudah ke berbagai link informasi dan pengetahuan.
Pelajar dengan mudah mencari referensi untuk mengerjakan tugas sekolah, mengikuti perkembangan berita terbaru, dan bahkan dapat bergabung dalam kelompok diskusi ilmiah.
Aplikasi seperti YouTube dan Instagram juga menawarkan berbagai tutorial yang dapat membantu pelajar dalam memahami materi pelajaran dengan lebih baik.
Kedua, menjadi sarana pengembangan kreativitas, banyak platform media sosial yang mendukung pelajar untuk mengekspresikan kreativitas mereka.
Misalnya, melalui pembuatan video di TikTok atau YouTube, desain grafis di Instagram, dan menulis di blog Kompasiana. Keterampilan ini dapat berguna dikemudian hari dalam karier mereka.
Ketiga, fungsi koneksi dan kolaborasi, di mana media sosial memungkinkan pelajar untuk terhubung dengan teman-teman, guru, dan expert di berbagai bidang.
Dengan media sosial memudahkan kolaborasi dalam tugas sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler. Grup belajar online di aplikasi seperti WhatsApp atau Telegram juga memberi faslitas untuk berdiskusi terkait materi belajar.
Nah, masalahnya adalah dampak negatif media sosial juga sangat merisaukan para orang tua, diantaranya diuraikan sebagai berikut.
Pertama, timbulnya distraksi dan penurunan produktivitas belajar, karena penggunaan media sosial yang berlebihan dapat mengganggu konsentrasi pelajar.
Waktu yang seharusnya digunakan untuk belajar sering terbuang sia-sia hanya untuk scrolling media sosial tanpa tujuan yang jelas. Hal ini dapat berdampak negatif pada prestasi sekolah mereka.
Kedua, bahaya cyberbullying yang sering mengintai dan dapat berdampak buruk pada kesehatan mental para pelajar. Mereka gampang cemas dan bahkan depresi.
Selain itu, pelajar sering menjadi target penipuan online atau predator siber jika tidak berhati-hati dalam membagikan informasi pribadi.
Ketiga, para pelajar banyak yang tergoda menonton konten bermuatan kekerasan dan pornografi, yang pada gilirannya membuat tingkat kejahatan di kalangan remaja mengalami peningkatan.
Keempat, bagi remaja yang aktif main media sosial, akan ada tekanan untuk selalu tampil sempurna dan mendapatkan banyak “likes” dan “followers”. Ini dapat menjadi beban psikologis yang berat bagi pelajar.
Dalam menghadapi berbagai dampak positif dan dampak negatif media sosial di atas, penting bagi remaja untuk lebih banyak belajar dalam mengelola waktu dan menggunakan media sosial secara bijak.
Orang tua dan guru juga berperan penting dalam memberikan edukasi tentang penggunaan internet yang aman dan sehat. Masalahnya, tak banyak orang tua yang mampu mengedukasi.
Oleh karena itu, kembali kepada kebijakan yang dilakukan oleh Australia, kita akan lihat apakah akan ditiru oleh Indonesia?
Jika melihat para remaja yang makin banyak terpengaruh sisi negatif media sosial, pemerintah Indonesia perlu meniru langkah Australia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H