Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Hindari Lonely Marriage, Komunikasi Jadi Kata Kunci

27 Oktober 2024   07:28 Diperbarui: 27 Oktober 2024   07:50 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dok. lgfamilylawyers.co.uk

Dalam sebuah pernikahan yang normal, pastilah tujuannya untuk mendatangkan kebahagiaan bagi pasangan suami istri (pasutri) yang telah mengucapkan ikrar dan menandatangani akta nikah.

Mungkin ada pernikahan yang tidak normal yang terjadi karena salah satu pihak merasa terpaksa, umpamanya karena memenuhi kehendak orang tua, atau karena membalas budi, dan sebagainya. 

Termasuk tidak normal juga bila yang menikah tersebut masih belum cukup umur sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pendek kata, bila salah satu pihak yang terikat dalam pernikahan diperlakukan sebagai "korban", maka ini dari awal sudah ada tendensi tidak akan bahagia.

Yang disebut bahagia itu adalah bila selama usia pernikahan kedua pihak (suami dan istri) sama-sama menikmati hari demi hari, saling menghargai, dan tentu saja saling mencintai.

Hal itu bisa terjadi bagi pasutri yang satu sama lainnya sudah sangat mengenal pribadi pasangannya, tahu hal disukai dan yang tidak disukai pasangannya, juga tahu harapan dan impiannya.

Masalahnya, tak ada manusia yang sempurna, dan setiap kita pasti punya kelemahan. Nah, terhadap kelemahan ini, apakah akan jadi pengganjal kebahagiaan? 

Jawabannya belum tentu, tergantung seberapa mengganggu kelemahan tersebut terhadap pasangannya. Paling tidak, ada 3 kemungkinan yang terjadi.

Pertama, jika kelemahan pasangan tidaklah mengganggu dan masih dapat diterima. Misalnya, suami punya kelemahan agak pelit, padahal istrinya tahu suaminya punya uang.

Hanya untuk kebutuhan primer si suami dengan tulus memberikan uang. Untuk keutuhan sekunder, seperti membeli pakaian, tas, dan sebagainya, si suami sering menolak.

Namun, menurut si suami, kelemahan istrinya adalah cenderung boros dan sangat gampang tergoda dengan iklan di media sosial, makanya si suami sangat hati-hati memberi uang ke istrinya.

Kalau suami istri tersebut bisa dengan lapang hati menerima kelemahan pasangannya, maka tidak jadi masalah. Yang penting, keluhan atau keberatan masing-masing pihak diungkapkan dengan baik.

Kedua, jika kelemahan pasangan sudah pada tahap cukup mengganggu, tapi pasangan tersebut masih ada keinginan untuk memperbaiki diri.

Kembali ke contoh sebelumnya, dalam hal ini si suami betul-betul pelit di mata istrinya dan si istri betul-betul boros di mata suaminya.

Namun, setelah keduanya saling mengungkapkan keluhannya, keduanya bersedia memperbaiki diri.

Titik komprominya,  istri lebih selektif berbelanja, dan suaminya bersedia memberi uang ekstra setelah mengetahui istrinya sudah bijak dalam berbelanja.

Ketiga, kelemahan pasangan terasa cukup mengganggu dan pasangan tersebut tidak ada keinginan untuk memperbaiki diri.

Masih meneruskan contoh di atas, dalam hal ini sikap pelit si suami tidak tergoyahkan sama sekali. Tentu, ini pendapat si istri. Si suami sendiri merasa ia tidak pelit.

Demikian pula sikap boros si istri juga tidak tergoyahkan sama sekali. Tentu, ini pendapat si suami. Si istri sendiri merasa ia tidak boros.

Ini sudah tahap yang berbahaya karena kelemahan pasangan itu akhirnya jadi sangat mengganggu dan tak dapat diterima lagi.

Jadi, titik kritisnya berada di tahap kedua. Kalau tahap kedua tidak terwujud, dalam arti keluhan pasangan tidak menemukan solusi perbaikan, maka otomatis terjerumus ke tahap ketiga.

Kata kuncinya, komunikasi yang terbuka, ungkapkan kelemahan pasangan dengan cara yang baik, dan komunikasi itu bersifat timbal balik.

Maksudnya, komunikasi itu saling mendengarkan dengan sepenuh hati, tidak hanya sekadar mengungkapkan keluhan atau ketidaksenangan.

Kalau pakai emosi atau masing-masing mau menang sendiri, tak ada take and give, maka terjadilah lonely marriage. Ini sangat menyiksa batin.

Mau bercerai mungkin cemas  dengan nasib anak-anak, atau takut omongan negatif orang lain. Atau yang perempuan mungkin akan tidak nyaman bila menjadi janda. 

Padahal, kalau memang sudah tertutup sama sekali pintu komunikasi dua arah, pasutri hanya saling mendiamkan, barangkali perceraian layak untuk dipertimbangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun