Namun, menurut si suami, kelemahan istrinya adalah cenderung boros dan sangat gampang tergoda dengan iklan di media sosial, makanya si suami sangat hati-hati memberi uang ke istrinya.
Kalau suami istri tersebut bisa dengan lapang hati menerima kelemahan pasangannya, maka tidak jadi masalah. Yang penting, keluhan atau keberatan masing-masing pihak diungkapkan dengan baik.
Kedua, jika kelemahan pasangan sudah pada tahap cukup mengganggu, tapi pasangan tersebut masih ada keinginan untuk memperbaiki diri.
Kembali ke contoh sebelumnya, dalam hal ini si suami betul-betul pelit di mata istrinya dan si istri betul-betul boros di mata suaminya.
Namun, setelah keduanya saling mengungkapkan keluhannya, keduanya bersedia memperbaiki diri.
Titik komprominya, istri lebih selektif berbelanja, dan suaminya bersedia memberi uang ekstra setelah mengetahui istrinya sudah bijak dalam berbelanja.
Ketiga, kelemahan pasangan terasa cukup mengganggu dan pasangan tersebut tidak ada keinginan untuk memperbaiki diri.
Masih meneruskan contoh di atas, dalam hal ini sikap pelit si suami tidak tergoyahkan sama sekali. Tentu, ini pendapat si istri. Si suami sendiri merasa ia tidak pelit.
Demikian pula sikap boros si istri juga tidak tergoyahkan sama sekali. Tentu, ini pendapat si suami. Si istri sendiri merasa ia tidak boros.
Ini sudah tahap yang berbahaya karena kelemahan pasangan itu akhirnya jadi sangat mengganggu dan tak dapat diterima lagi.
Jadi, titik kritisnya berada di tahap kedua. Kalau tahap kedua tidak terwujud, dalam arti keluhan pasangan tidak menemukan solusi perbaikan, maka otomatis terjerumus ke tahap ketiga.