Baru-baru ini di berbagai media muncul lagi pro dan kontra atas anggota DPR RI yang memperoleh uang pensiun seumur hidup. Aturan ini sebenarnya sudah lama berlaku, jadi bukan lagi sekadar wacana.
Sebagai contoh, sebanyak 580 anggota DPR RI periode 2024-2029 dipastikan akan mendapatkan uang pensiun seumur hidup, mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 1980.
UU tersebut mengatur tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara.Â
Khusus terkait uang pensiun itu diatur dalam pasal 13 beleid tersebut yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut ini.
"Besarnya pensiun pokok sebulan adalah 1 persen dari dasar pensiun untuk tiap-tiap satu bulan masa jabatan dengan ketentuan bahwa besarnya pensiun pokok sekurang-kurangnya 6 persen dan sebanyak-banyaknya 75 persen dari dasar pensiun," yang tertulis pada pasal 13 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 1980.
Dasar pensiun tersebut adalah gaji pokok bulanan saat menjadi anggota DPR. Untuk saat ini gaji pokok aggota DPR yang merangkap ketua sebesar Rp 5,04 juta per bulan.Â
Bila menjabat selama satu periode (5 tahun atau sama dengan 60 bulan), maka pensiunnya per bulan sebesar 60 persen dari Rp 5,04 juta, yakni Rp 3,02 juta.
Anggota DPR yang merangkap wakil ketua punya gaji pokok bulanan Rp 4,62 juta, dan anggota DPR yang tidak merangkap jabatan punya gaji pokok Rp 4,20 juta per bulan.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa anggota DPR yang berhenti dengan hormat dari jabatannya, atau masa jabatan selama periode tersebut telah berakhir, berhak memperoleh pensiun selama seumur hidup sampai ia meninggal dunia.
Namun, jika yang bersangkutan terpilih kembali menjadi pimpinan atau anggota DPR, makan pembayaran pensiunnya dihentikan, hingga yang bersangkutan berhenti kembali dengan hormat dari jabatannya.Â
Ketika itulah yang bersangkutan akan diberikan uang pensiun kembali, dengan memperhitungkan lama masa jabatannya.Â
Jika akumulasi masa jabatan katakanlah 10 tahun atau 2 periode, maka pensiunnya adalah yang maksimal (75 persen dari dasar pensiun).
Lamanya pemberian pensiun adalah hingga yang bersangkutan meninggal dunia. Sekiranya ada janda/duda yang ditinggalkannya, janda/duda tersebut menjadi pelanjut penerima uang pensiun, sampai ia meninggal dunia atau menikah lagi.
Jika janda/duda tersebut telah meninggal dunia, dan punya anak yang belum berusia 25 tahun, belum bekerja, dan atau belum pernah menikah, uang pensiun bulanan akan diterima anaknya.
Perlu diketahui, untuk anggota DPRD di daerah manapun di Indonesia tidak mendapat pensiun seperti anggota DPR RI, sehingga terkadang hal ini menimbulkan kecemburuan.
Tapi, menurut masyarakat yang kontra, justru yang betul adalah anggota DPRD. Artinya, seharusnya anggota DPR pun tidak dapat pensiun.
Alasannya jelas, yakni lebih terfokus pada aspek keadilan. Masak hanya bekerja satu periode selama 5 tahun saja, fasilitas uang pensiunnya seumur hidup, bahkan hingga pensiun janda dan anak.
Padahal, Pegawai Negeri Sipil (PNS) bekerja rata-rata sekitar 30 tahun. Pengabdiannya sangat lama dan memang layak dapat pensun bulanan hingga akhir hayatnya.
Lagipula, untuk membayar pensiun anggota DPR itu, sangat besar tekanannya terhadap anggaran pengeluaran negara. Bukankah setiap periodenya banyak anggota DPR baru, sehingga menambah jumlah penerima pensiun?
Sumber uang pensiun anggota DPR adalah melalui mekanisme Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), seperti juga pensiunan bagi PNS.
Sebagai catatan, bagi pekerja perusahaan swasta dan juga pekerja di perusahaan milik negara, uang pensiunnya berasal dari dana yang dikelola Lembaga Dana Pensiun di masing-masing perusahaan, atau diserahkan ke Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK).
Di negara kita ada banyak DPLK yang beroperasi, lazimnya menjadi unit bisnis di bank-bank papan atas atau di lembaga keuangan pengelola investasi.
Adapun mereka yang pro atas pemberian pensiun anggota DPR, ya, tentu anggota DPR itu sendiri dan para politisi lainnya. Mereka menyatakan tidak bisa memperbandingkan DPR dengan PNS.
Sebetulnya, ada jalan keluar yang pantas dicoba, yakni anggota DPR tetap dapat uang pensiun. Tapi, dengan mekanisme DPLK, tanpa menjadi beban APBN.
Besar kecilnya uang pensiun yang akan diterima bisa dibahas dengan pengelola Lembaga DPLK yang dipercaya, yang akan disesuaikan dengan besar kecilnya potongan gaji setiap anggota DPR yang disetor ke DPLK.Â
Mudah-mudahan ide di atas bisa menggelinding dan ketentuan terkait dengan pemberian pensiun anggota DPR dapat direvisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H